"Kenapa ya, kok aku ngerasa kita semakin jauh dari rumah."
"Terus kamu anggap aku ini apa?"
"Kamu manusia, Li. Bukan bangunan, jadi mana bisa aku anggap kamu sebagai rumah."
"Rumah gak selalu berbentuk bangunan, Bel. Buktinya aja aku udah anggap kam...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
<><><>
Belva termenung sambil menatap rintik hujan dari balik jendela kontrakannya, ia masih tak habis pikir dengan Adel yang menyalahkan dirinya atas perceraian kedua orang tua gadis itu disaat dirinya juga sedang dilanda kesedihan akibat kedua orang tuanya yang juga mengalami nasib sama.
Perceraian orang tuanya saja sama sekali bukan kehendak dirinya, apalagi soal perceraian orang tua Adel yang sama sekali tak ia ketahui apa penyebab dibaliknya.
Saat tengah merenung, Belva dikejutkan oleh suara ketukan pada pintu yang membuatnya mau tak mau harus berjalan dan membuka pintu untuk tamunya itu.
"Mungkin Lian." Gumamnya pelan. "Atau Nico?" Belva mengangguk samar, kalau bukan kedua lelaki itu siapa lagi. Karena tak ada yang mengetahui keberadaannya ditempat itu selain Lian dan Nico.
Tanpa banyak bicara, Belva pun membuka pintu. Saat pintu dibuka, betapa terkejutnya ia saat mendapati seseorang yang berdiri dihadapannya. Mata Belva membulat mana kala yang ia lihat bukanlah Lian maupun Nico.
"Papa" walaupun sempat ragu dengan apa yang ia lihat, tapi Belva tak dapat menyangkal. Karena yang tengah berdiri dihadapannya itu memang benar-benar sang papa.
"Ternyata benar kamu ada ditempat ini." Ucap Vincent sambil memperhatikan sekeliling, sambil menatap penuh jijik pada kontrakan yang menjadi tempat tinggal sang putri selama beberapa hari ini. Lebih tepatnya tempat persembunyian setelah kaburnya Belva dari rumah.
"Papa tahu dari mana kalo aku ada disini?"
Vincent tersenyum miring, "Papa punya banyak kaki tangan dan mata-mata, Belva. Jangankan tempat kumuh ini, semua yang kamu lakukan pun papa tahu. Karena papa selalu memantau kamu dari jauh."
Belva terdiam mendengar penuturan sang papa, kemudian ia menatap wajah pria itu lekat. "Papa ada perlu apa repot-repot dateng kesini?" Ucap Belva dengan nada yang berubah dingin.
"Ayo pulang!"
Hanya dua kata saja mampu membuat tubuh Belva memegang.
Pulang katanya.
Ke rumah lama yang sudah memberikan trauma dan kesedihan selama belasan tahun ini atau pulang ke rumah baru yang akan memberikan kesakitan yang baru juga.
Ingin sekali Belva bertanya demikian, tapi ia tak mampu mengatakannya.
"Kenapa Papa nyuruh aku pulang?" Dan hanya kalimat itu yang mampu ia tanyakan pada sang papa.
"Sejak kecil kamu sudah terbiasa hidup dengan kemewahan dan semua fasilitas dari papa, jadi kamu tidak akan bisa tinggal di tempat seperti ini. Tempat ini terlalu kotor untuk kamu yang berkilau."
Tempat ini terlalu kotor untuk Belva yang berkilau katanya. Lucu sekali, jika Belva berkilau layaknya berlian atau emas, lalu kenapa papanya itu tak memperlakukan dirinya bak seorang putri kerajaan atau setidaknya dijaga dan diperhatikan layaknya harta yang paling berharga. Bukan malah diperhatikan sebelah mata dan kadang dianggap kadang tidak.