"Air mata tidak akan menyelesaikan masalah, yang ada kau akan diremehkan karna dianggap cengeng."
**Kinanti Larasati. Gadis dua puluh tahun itu berjalan dengan gontai di lorong rumasakit. Matanya sembab karna menangis sejak tadi.
"Ada gumpalan darah di kepalanya, ibu Lina harus segera dioprasi," ucapan Dokter terus terngiang dikepalanya.
Harusnya ini jadi hari bahagia. Di kampus ia mendapat nilai tinggi,
Ibunya akan sangat senang. Dia selalu berpesan agar putrinya itu rajin belajar."Bagaimanapun caranya kamu harus tetap kuliah. Ibu rela kerja siang malam untuk biayain kamu. Kita bukan orang kaya, tapi kalau kamu sekolah, berpendidikan, orang akan menghargaimu."
Beruntungnya Kinan punya otak yang cerdas. Sejak SMA hingga saat ini menginjak bangku kuliah ia selalu mendapat beasiswa.
Kinanti berlari masuk rumah membawa map biru di tangan. Ia memanggil ibunya, tapi tidak ada jawaban.
"Bu, ibu! Coba liat, aku punya kejutan, ibu di mana?!" Gadis itu membuka pintu kamar. Namun sepi. Ia lalu pergi ke dapur, mungkin ibu sedang masak untuk makan malam pikirnya.
Samping dan belakang rumah tak lupa di jelajahi, di sana cuma ada gerobak usang yang biasa dipake untuk jualan.
Senyum gadis itu memudar, ia tidak juga mendapati ibunya dimana-mana.
Kinan mengambil air di kulkas, duduk di meja makan, sesekali melihat isi pesan di HP sambil menunggu ibunya. Beberapa teman mengucapkan selamat.
Kinan tidak punya banyak teman. Di kampus tempat ia belajar merupakan Universitas ternama dan dikenal mahal. Hanya orang-orang kaya yang kebanyakan belajar di sana.
Setiap tahun, Universitas itu memberikan kesempatan untuk anak-anak berprestasi yang tidak mampu untuk bisa menuntut ilmu di sana.
Berkat bantuan guru SMA nya, Kinan bisa ikut tes dan berhasil."Ibu!" teriak Kinanti histeris. Ia melihat pintu kamar mandi yang sedikit terbuka dan menemukan ibunya tidak sadarkan diri dengan darah yang mengalir dari kepalanya.
**
"Apa ibu Lina mengeluh sakit sebelumnya?" Dokter bertanya ketika Kinanti ada di ruangannya.
"Ibu punya sakit darah tinggi."
"Kemungkinan itu yang menyebabkan bu Lina terjatuh di kamar mandi. Sakitnya kambuh, merasa pusing, lalu hilang keseimbangan."
"Dokter, tolong sembuhkan ibu saya." Kinanti memohon, tanoa sadar ia menggenggam tangan Dokter muda itu.
Dokter Zayn diam, ia merasakan tangan itu begitu dingin juga sedikit gemetar. " Maaf, Dok. Saya gak sengaja." Kinanti menarik tangannya.
Kinanti sangat takut kehilangan ibunya, satu sisi dia juga bingung, dari mana bisa mendapatkan uang banyak dalam waktu singkat.
Mereka bukan orang kaya, ibunya hanya pedagang sayur keliling, dan ayahnya pergi entah kemana. Tidak ada sanak saudara yang bisa di minta tolong.
"Kinan, gimana kondisi ibumu, apa kata dokter?"
Seorang wanita mengusap bahu Kinan yang sejak tadi menutup wajah dengan telapak tangan di bangku ruang tunggu setelah bicara dengan dokter.
Kinan mendongak, matanya sembab, ia tidak bisa berkata-kata, mulutnya seakan terkunci.
Wanita itu duduk di sebelahnya, "Kamu yang sabar, ya. Bu Lina pasti akan baik-baik aja." Wanita itu memeluk Kinan, seolah memberi kekuatan.
"Ibu harus segera dioprasi," tutur Kinan setelah merasa lebih baik "Aku bingung harus cari uang kemana, Mba."
"Mungkin kamu bisa jual barang-barang berharga yang kalian punya." Lastri, tetangga Kinan memberi saran.
"Setau ku ibu gak punya simpanan, Mba tau sendiri gimana. Ibu cuma jual sayur keliling. Penghasilannya gak tentu." Air mata gadis itu kembali luruh.
"Nangis gak akan menyelesaikan masalah, Kinan. Kamu harus tegar!" ucap wanita berambut pirang itu. Penampilannya sedikit mencolok, dengan dress hitam pendek yang menampilkan lekuk tubuh dan riasan yang tebal.
Lastri diam sejenak pura-pura berpikir. "Aku tau gimana caranya agar kamu bisa mendapatkan uang itu."
Kinan menoleh, keningnya berkerut. Mana ada kerjaan yang menghasilkan uang banyak dalam waktu semalam. "Apa, mba?" tanya Kinan penasaran.
Lastri tersenyum dan membisikan sesuatu pada Kinan yang membuat Gadis itu langsung naik darah.
"Mba udah gila?" Kinan berdiri, sedikit menjauh. "Aku gak akan melakukan pekerjaan kotor seperti itu!" Seru Kinanti membuat beberapa orang yang ada di sana menoleh padanya.
Lastri mencengkram lengan Kinan, "Kinan tenang dulu!" Lastri memelankan suara, menoleh Kanan kiri sambil tersenyum pada orang-orang disana "Pelankan suaramu." titah Lastri sambil menarik Kinan ketempat agak sepi.
Kinan menepis tangan Lastri. "Lebih baik mba pergi sebelum kesabaranku habis. Aku gak mau liat mba di sini lagi!"
"Ayolah, Kinan! Emangnya kamu punya cara lain untuk dapat uang itu? Malam ini juga ibumu harus di oprasi. Belum lagi biaya perawatan, obat dan rumasakit. Apa kamu sanggup?" Lastri menaruh kedua tangannya di bahu Kinan, menatap gadis itu lekat. "Kita ini orang susah, mempertahankan harga diri gak akan menghasilkan apa-apa. Jaman sekarang yang penting uang!"
"Aku akan mencari pinjaman," ucap Kinan tidak yakin.
Lastri tertawa. "Emang kamu siapa sampe orang mau ngasih pinjam uang puluhan juta ke kamu? Kamu ga punya apa-apa. Rumah aja masih ngontrak. Gak ada jaminan!" Lastri setengah meledek, tapi begitulah kenyataannya.
Kinan bahkan tidak punya rumah.**
"Kamarnya nomer 301, dia udah nunggu kamu disana."
"Bener, ya. Mba. Sekarang juga mba harus ke rumasakit dan membayar tagihannya."
Lastri memutar bola mata. Sejak ditaksi gadis itu terus saja bicara. "Iya, Kinan, iya!" Emangnya kamu ga percaya sama aku? Aku juga punya uang. Aku gak akan kabur membawa uangmu ini."
Kinanti dan Lastri berada di lobi hotel. Gadis itu terlihat sangat cantik dengan riasan dan gaun merah tanpa lengan yang sedikit terbuka dibagian dada.
Dua jam lalu Lastri membawanya menemui Tante Lusi, wanita paruh baya pemilik salah satu club malam. Koneksinya cukup luas dikalangan pengusaha dan orang penting. Karna bisnis sampingannya sebagai penyedia wanita malam.
Kinanti masih muda, cantik dan masih perawan. Akan banyak pria yang mau mengeluarkan uang banyak untuk mendapatkannya, dan benar saja, belum 1 jam sudah ada yang membayar dengan harga tinggi. Gadis itu sudah seperti barang dagangan.
"Cepat pergi dan jangan buang-buang waktu. Sekarang juga aku akan kerumasakit, dan kamu, selesaikan tugasmu dengan baik. Ingat apa yang aku ajarkan tadi."
Lastri keluar hotel membawa uang puluhan juta di tasnya, sementara Kinan masuk lift, menuju kamar yang disebut tadi.
Di dalam taksi Lastri menghitung uang pemberian Lusi, ia teringat sesuatu. "Tiga kosong satu, apa tiga kosong dua, ya." Lastri memgingat-ingat ucapan Tante Lusi. "Bodo amat lah." Ia kembali menghitung uang.
Pintu itu sudah ada di depan mata,. Kinan menelan ludah. Membayangkan sosok lelaki yang ada di balik pintu itu. Bagaimana dia, apa sudah tua, apa dia akan menyiksanya? Membayangkan tubuhnya dipegang orang asing membuat perutnya sakit.
Seandainya ia tidak ingat ibunya yang terbaring di bankar rumasakit, ia ingin pergi sejauh mungkin dari tempat itu,
Kinan menarik nafas, mencoba membuat dirinya tenang. Tangannya sedikit gemetar, detak jantungnya tidak beraturan. Jujur, ia sangat takut.
Setelah merasa tenang ia mengetuk pintu, Kinan memberanikan diri, ia ingin semuanya cepat selesai agar bisa menemani ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KINANTI
RomanceBagi Alvaro Darka Samudra uang adalah segalanya, wanita tak ubahnya hanya hiburan semata, pemuas nafsu sesaat. Namun, pandangannya berubah setelah bertemu dan tinggal bersama Kinanti. Perempuan yang ia kontrak untuk jadi simpanannya sampai Alvaro m...