TUAN MUDA SOMBONG

4 2 0
                                    

"Sampai aku menikah."

Kinan terkekeh. "Dan setelah itu kau akan mengirimku kembali pada Lusi? Lagian, kenapa kau tidak melakukannya bersama calon istrimu. Kenapa harus mencari kepuasan dari wanita lain?" Apa di dunia ini tidak ada lelaki baik yang setia pada satu wanita saja?

"Dia wanita baik-baik! Aku tidak akan menyentuhnya sebelum pernikahan." Kenyataannya Alva memang tidak ingin menyentuh Luna, bahkan tidak berencana memiliki keturunan dalam waktu dekat jika ia menikah.

"Kamu yakin, kamu orang pertama yang menyentuhnya?" celetuk Kinan. Senakal-nakalnya pria di depannya, ia tidak mau menikah dengan wanita bekas orang lain. Impian Kinan tentang pernikahan sepenuhnya hilang. Ia selalu berharap suatu hari akan menemukan lelaki yang akan menerima dia apa adanya,

"Apa maksudmu?" Alva menaikan suaranya. "Dia berasal dari keluarga terhormat. Dia punya banyak uang jadi dia tidak harus menjual diri
sepertimu." ucapan Kinan mengusik pikirannya. Bisa saja Luna pernah melakukannya dengan orang lain, mengingat hobinya yang suka berpesta dan pergi ke club malam.

"Iya, kau benar," gumam KInan. Ucapan Alva seperti belati tajam yang langsung menusuk hatinya. Matanya mulai terasa panas. "Aku miskin, aku melakukan apapun demi uang. Aku wanita hina!" Kinan menunjuk dirinya sendiri. "Tapi bukan berarti kau bebas menghinaku seperti itu."

"Aku pikir orang sepertimu sudah tidak mementingkan tentang harga diri." Dengan santai Alva mengambil gelas berisi kopi di meja. Meminumnya.

"Bagaimana aku bisa percaya padamu kalau kau tidak akan mengirimku kembali ke tempat itu setelah kau menikah?" tanya Kinan mengalihkan pembicaraan. Orang ini sangat arogan, tapi jika Alva saru-satunya jalan menuju kebebasan, ia akan menghadapinya. Berdoa saja, semoga ucapannya bisa dipegang.

Alva menaruh gelas di meja, sekilas pandangan mereka beradu, Kinan menatapnya penuh harap."Aku akan memberikan apartemen ini padamu, juga sejumlah uang. Kalau kau masih tidak percaya, kita bisa membuat surat perjanjian hitam diatas putih."

***

"Tuan Max, aku lapar." Kinan memanggil Max dari arah dapur ketika ia baru keluar dari ruang kerja setelah bicara dengan Alva.

Apartemen itu tidak terlalu besar, cuma ada dua kamar, salah satunya sudah di alih fungsikan sebagai ruang kerja, ruang tengah yang terhubung ke dapur. Meja makan kecil dan bar mini, juga balkon yang cukup luas.

Alva datang kesana cuma untuk istirahat, hari-harinya lebih banyak dihabiskan di kantor atau luar kota. Sesekali ia pulang ke rumah Oma nya. Asistennya, Maxim. Tingal di gedung yang sama, tapi ia lebih sering berada di luar.

Setelah Kinan bicara dengan Alva tadi, lelaki itu pergi menemui Max di ruang kerja. sementara Kinan berjalan ke dapur, sama seperti kemarin, kulkas masih kosong. "Katanya orang kaya, tapi kulkasnya lebih mengenaskan dari anak kost," gerutunya.

"Panggil saya Max, Nona." Max berjalan mendekat. "Maaf, saya belum sempat membeli kebutuhan dapur."

Kinan melongo tidak percaya. "Kau belanja ke supermarket ... sendirian?"

Max tersenyum. "Tidak, Nona. Saya menyuruh orang untuk belanja, saya hanya mencatat apa yang dibutuhkan Tuan Alva."

Max merogoh saku jas. "Mulai sekarang Nona yang bertanggung jawab atas tempat ini," katanya, ia menyerahkan. Kartu ATM.

"Maksudnya?"

Max menyebutkan apa saja yang disukai dan tidak disukai Alva, mulai dari makanan, cemilan, bahkan pewangi ruangan yang disukai Bosnya itu. Max bilang ia juga harus menyiapkan sarapan atau makan malam jika Alva ada di sana, Kinan juga harus menjaga kebersihan tempat itu.

"Jadi ... aku ini simpanannya yang merangkap jadi pembantu, atau pembantu yang merangkap jadi simpanannya, sih?"

"Dua-duanya!" Kinan dan Max menoleh, Alva berdiri di depan pintu. "Kalau kau sudah selesai, pergilah ke kantor, Max. Aku butuh istirahat. Aku akan menyusul nanti siang. Dan kau_ " katanya pada Kinan. "Pergilah ke supermarket, setelah itu siapkan makan malam untukku."

"Tapi aku mau pergi ke rumah, dari kemarin aku ..."

"Apa kau tidak mendengar apa yang kubilang barusan?" Alva menatap tajam Kinan.

Wanita itu berguman pelan. "Aku kan bukan karyawannya, kenapa dia harus memerintahku seperti itu."

"Lakukan apa yang Tuan katakan, Nona. Jangan membantahnya." Mungkin tidak ada yang lebih mengenal Alva dari pada Max.

Kinan memutar bola mata. "Oke. Tapi aku harus man-" Seketika Kinan melotot dan berlari kedepan pintu kamar ketika melihat Alva berjalan kesana. "Kau mau kemana?" Ia berdiri di depan pintu sambil merentangkan kedua tangan. Melarang Alva untuk masuk. Kinan harus mandi, ganti baju, berdandan, tidak mungkin kalau berada di satu ruangan dengannya.

"Ini tempat tinggalku. Aku bebas pergi kemanapun aku mau. Minggir!" Alva mengibaskan tangan di udara.

Max menggeleng melihat perdebatan mereka, tidak ingin ikut campur, ia berjalan keluar. Pekerjaan sudah menunggunya.

"Bukankah kau sudah memberikannya padaku! Apa kau lupa?" Kinan diam di tempat.

"Oh, ya ampun!" Alva mengusap keningnya. Apa wanita ini masih belum mengerti? "Mendekatlah, akan kuberi tahu sesuatu."

Dengan sikap waspada, Kinan mencondongkan wajahnya. Mungkin dia akan membisikan sesuatu yang rahasia. Dia tidak sadar kalau Max sudah pergi. "Apa?"

Postur tubuh Kinan yang sedikit pendek darinya, membuat Alva harus sedikit membungkuk, menatapnya. Pandangan mereka bertemu. Alva mendekat, membuat jarak diantara mereka semakin terkikis.

Kinan merasa ada aliran listrik yang menyengat tubuhnya ketika embusan nafas lelaki itu menerpa kulit. Kinan menutup mata, jantungnya berdetak cepat. Kenapa bisa seperti ini, ini bukan pertama kalinya ia bersentuhan dengan seorang pria. Tapi kenapa lelaki ini bisa menggetarkan jiwanya cuma dengan hal-hal kecil.

Wangi strobery yang menyegarkan dari tubuh Kinan membuat Alva ingin sekali melepaskan kancing baju Kinan satu persatu, lalu membaringkannya di atas tempat tidur. Ini bukan saat yang tepat! Ia harus menyingkirkan fantasinya itu.

"Aw!" Seketika Kinan membuka matanya, mengusap keningnya yang sakit Karna di sentil Alva. "Sakit, tau!" Dia menatap Alva, cemberut.

Alva semakin gemas, ia harus segera menjauh dari Kinan. "Minggir." Alva mendorongnya kesamping, agar ia bisa masuk ke kamar. Namun wanita itu mengikutinya.

"Aku harus mandi!" Bagaimana caranya agar Alva bisa mengerti. Kinan ingin dia pergi, setidaknya sampai ia selesai mandi dan berpakaian.

Alva melepas jas, melemparkannya ke kursi, "Kau ingin aku memandikanmu? Atau ... " Membuka dua kancing atas kemejanya, Alva berbalik menghadap Kinan dengan senyum nakal, lalu berbisik. "Kau mau kita mandi bersama, Sayang?"

Pipi Kinan bersemu merah, Ia langsung berlari ke kamar mandi. "Nggak!"

Hampir satu jam Kinan ada di kamar mandi, Ia harus memastikan Alva sudah tidur pulas sebelum keluar. Kinan tidak punya baju ganti, kecuali dress dan jaket jeansnya.

Berusaha tidak mengeluarkan suara, Kinan membuka lemari milik Alva, mencari pakaian yang mungkin bisa ia pakai.

Pilihannya jatuh pada kaos hitam over size yang menutupi pahanya, Jaket jeans ia ikat di pinggang.

"Pinjam bajumu sebentar, ya, Tuan." ucapnya dalam hati.








Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 11 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KINANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang