ClUB MALAM

11 3 0
                                    

"Jadi, bagaimana. Nyonya? Apa kita bisa membuat kesepakatan sekarang?" Maxim duduk tegap, memainkan jarinya yang bertautan di atas meja.

Lusi mengepalkan tangan kiri, tangan kanannya memegang ponsel yang berisi video dirinya yang melakukan tindak kekerasan terhadap Kinan.

"Wanita itu punya banyak hutang padaku!" Lusi menaruh ponsel di meja. "Kau bisa membawanya, asalkan kau bayar semua hutang termasuk bunganya."

"Berapa yang anda minta?"

Lusi menyebutkan nominal yang besar, dua kali lipat dari hutang Kinan. Biar bagaimanapun juga Kinanti adalah primadona di clubnya, walau dia sering membuat masalah, tapi para lelaki itu berani membayar mahal. Lusi tidak akan melepaskan sumber penghasilannya begitu saja.

Maxim menyandarkan punggung ke kursi, tangan menyilang di dada, ia nampak berfikir.
Beberapa detik kemudian ia tersenyum licik. "Coba anda pikirkan. Apa jadinya jika video ini tersebar? Mungkin polisi akan mencari nyonya atas kasus kekerasan, dan setelah itu satu persatu bisnis ilegal anda akan terbongkar." Maxim menggertak. "Bukan cuma prostitusi, tapi juga perdagangan manusia."

"Kau berani mengancamku?" Lusi tertawa sinis. Namun ia juga was-was. Sepertinya lelaki ini bukan orang sembarangan "Mungkin kau lupa sedang berada di mana. Ini daerah kekuasaanku! Kau ga akan bisa keluar dari sini hidup-hidup!"

"Saya sarankan agar nyonya menerima tawaran saya tadi. Agar semuanya selesai dengan baik." Max bicara dengan tenang. Ia sudah biasa menghadapi orang-orang seperti Lusi.

"Jangan mimpi! Aku tidak takut dengan ancamanmu!" Lusi menepuk tangan beberapa kali, namun tidak ada respon. Biasanya dua bodyguard yang selalu berdiri siaga di balik pintu akan masuk.
Kesal, ia menepuk tangan lebih keras, dan tidak juga ada respon.
"Kemana mereka?" gumamnya.

"Anak buahmu tidak ada di sini, Nyonya." Max memperlihatkan video keadaan di club.
Semua pengunjung telah pergi karna ketakutan. Terjadi perkelahian antara anak buah Lusi dan Max.

"Brengsek!" Lusi mengumpat seraya memukul meja. "Apa maumu sekarang?"

"Seperti yang saya katakan tadi."

Setelah terjadi kesepakatan antara mereka, Lusi pergi keluar meninggalkan Max sendiri.

Wanita itu membuka kunci pintu di ruangan sebelah. Kinan duduk di pojok kamar, tangannya memegang botol kaca bekas minuman yang sudah ia pecahkan. Berjaga-jaga jika ada lelaki hidung belang mendekatinya.

Salah satu teman Kinan pernah membuat Lusi marah, wanita kejam itu mengurungnya di kamar. Setelah itu Lusi memasukan beberapa orang Lelaki ke kamar itu. Temannya Kinan digauli beramai-ramai.

Kinanti masih ingat dengan jelas jeritan nya, namun ia dan temannya yang lain tidak bisa berbuat apa-apa.

Temannya itu mengalami gangguan jiwa, dan akhirnya meninggal.

"Kinan!" Panggil Lusi.

**

Waktu menunjukan pukul tiga dini hari. Alva sudah pulang sejak tadi karna ia harus pergi ke luar kota besok pagi untuk urusan pekerjaan.

Sebenarnya Alva ingin dirinya sendiri yang menangani masalah itu, tapi pekerjaan jauh lebih penting.
Makanya ia memerintahkan Maxim untuk mengurus Kinanti.

Beberapa jam yang lalu Alva melihat Kinan yang dikawal dua orang lelaki. "Max itu dia!"

"Siapa, Bos?" Max menoleh ke arah yang ditunjuk Alva, ia tidak melihat hal yang mencurigakan.

"Wanita yang bersama dua lelaki tadi!" Alva berdiri untuk menyusul mereka, ia tidak ingin kehilangan wanita itu lagi.

"Paling dia bikin ulah lagi," celetuk wanita yang ada disamping Alva membuat mereka menoleh.

"Kamu kenal dia?" Selidik Max.

"Mereka mau pergi kemana?" tanya Alva. Matanya mengawasi Kinan yang hampir hilang tidak terlihat karna lampu yang temaram.

Wanita itu pura-pura tidak mendengar, ia memainkan ponselnya. Kesal. Selalu saja Kinan! Dia juga tidak kalah cantik darinya.

"Cepat katakan! Kemana mereka pergi!" bentak Alva. Wanita itu kaget. Alva ingin menyusul Kinan, namun ia juga harus mengorek informasi dari wanita ini.

"Nona, jika kamu mau bicara, kita akan memberikanmu uang," Rayu Maxim. Tanpa di beritahu lelaki ini tahu benar keinginan Bosnya.

"Mereka pergi ke ruangannya Tante Lusi.
Letaknya ada di pojok sana, lalu belok kiri. Ruangannya ada di paling ujung pintu warna coklat."

Alva pergi ke tempat yang di sebutkan secara sembunyi-sembunyi. Ia harus memutar otak agar lelaki yang berdiri di depan pintu itu pergi.
Keberuntungan memihak padanya, lelaki itu pergi setelah mendapat panggilan.

Alvaro mendekat, pintu sedikit terbuka, ia tidak bisa mlihat Kinan dengan jelas karna tertutup badan pria yang ada di belakangnya. Namun, tangisannya, jerit kesakitannya terdengar jelas.

Alva geram. Kinanti adalah miliknya, tidak ada yang boleh menyentuhnya selain dia.

Sementara di tempat lain, Max mengorek informasi tentang Kinan dari wanita itu.

**

Kinan berada di mobil bersama Max. Lelaki itu tidak banyak bicara. Begitu juga dengan Kinan. Tubuhnya sudah sangat lelah, jika lelaki di sampingnya akan berbuat jahat, ia hanya bisa pasrah.

Lusi bilang ia harus ikut lelaki ini dan jangan kembali ke club' itu lagi. Apakah Lusi menjualnya pada lelaki ini? Bagaimana jika dia penjual organ tubuh manusia? Apakah dia akan membunuhnya.

Kinan pernah mendengar tentang Lusi yang menjual wanitanya keluar negri. Apa lelaki ini bekerjasama dengan Lusi? Pikirannya campur aduk. Ia bergidik ngeri membayangkannya.

Mobil berhenti di parkiran apartemen. Max keluar, namun Kinan masih mematung. Ia merasa takut.
"Jangan takut, Nona. Saya bukan orang jahat." Max membukakan pintu untuk Kinan. "Mari ikut saya."

Kinan berjalan mengikuti Max, menaiki lift ke lantai sepuluh., berjalan di lorong.
Sampai tiba di depan pintu. "Silahkan masuk, Nona." Perintah Max setelah membuka kunci.

Kinanti berjalan ragu, matanya menyapu pandangan kesetiap sudut ruangan, sepi. Di sana cuma ada mereka berdua.

"Nona bisa beristirahat di sini. Kalau ada apa-apa nona bisa menghubungi saya." Max memberikan kartu nama. "Tidak perlu takut, Nona aman di sini."

Kinan membaca nama di Kertas itu. "Terimakasih, Tuan Maxim."

"Panggil saya, Max. Nona," ucap Maxim sopan. "Istirahatlah, besok Bos saya akan menemui Nona."

Kinan mengernyit bingung. "Bos? Bos siapa?"

"Besok Nona akan tahu." Max pergi meninggalkan Kinan dengan kebingungannya.

Kinanti melemparkan bokong ke kursi, menyandarkan kepalanya yang terasa berat. Ia masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Siapa bos yang dimaksud?

Kinan masih belum merasa aman, bagaimana jika lelaki bernama Max itu berbohong. Setelah merasa lebih baik, Ia menjelajahi setiap ruangan, mulai dari kamar mandi, balkon, sampai kolong meja makan. "Fiuhh, aman."

Pelan, Kinanti membuka pintu kamar, ruangan itu yang belum ia periksa. Wangi maskulin langsung menusuk hidung, ini kamar seorang lelaki. Kinan. Berjalan ke arah kamar mandi, mengetuk pintu berkali-kali. Mungkin ada seseorang di dalam sana.

Setelah di rasa aman, Kinan melempar jaket jeansnya ke atas kasur dan masuk kedalam selimut Tubuhnya sudah sangat lelah. Tidak butuh lama, alam mimpi sudah menjemputnya.









KINANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang