bonus chapter

76 4 1
                                    

Mark tertatih berjalan memasuki rumahnya, ia tidak tau bagaimana nantinya dia harus bersikap kepada ayah dan mamanya—ibunya chenle. Pria itu melihat keselurahan rumahnya dan untung saja rumahnya sedang sepi. Mark terus berjalan menelusuri sebuah kamar untuk merebahkan tubuhnya. Namum siapa sangka? Kakinya malah terhenti di depan kamar Jeno. Mark menatap agak lama bagaimana ruangan sederhana itu tertata begitu rapi, belum lagi gorden yang sudah lusuh seperti tidak layak untuk dipakai. Seperti yang mark tau, kamar ini adalah kamar lama mereka bertiga, meskipun ada beberapa kamar yang tersisa dirumah ini Jeno bahkan memilih untuk menetap di kamar ini. Bahkan hari telah berlalu pria itu masih betah berdiam diri dikamar adiknya itu. Jika ditanya bagaimana keadaannya sekarang, benar-benar menyedihkan dan sangat memperhatinkan. jika ditanya dimana keberadaan orang-orang dirumah? Mark tidak peduli, manuk bibi dari tadi terus mengetuk-ngetuk pintu kamar, Jeno, dari luar.

Tok, tok, tok

"Aden, sampai kapan Aden mengurung diri seperti itu? Aden sudah tiga hari tidak keluar dari kamar Aden, Jeno. Bibi takut, Aden kenapa-kenapa!"

"Aku baik-baik saja, Bik!" teriak Mark dari dalam sana.

Bibi menghela nafas pelan, lalu berbalik untuk berjalan kearah dapur. untuk kabar Jeno saat ini, Bi Indung, sudah tau, namun Bibi sudah berjanji untuk tidak menceritakan apapun semuanya pada ayah dan juga ibu tiri mereka. mungkin sangat berat untuk Bibi menerima fakta bahwa Jeno sudah tidak ada, mamun kehadiran Juna, juga berhasil membuat Bibi menangis haru.  Semenjak Mark mengurung diri di kamar Jeno, ia sama sekali tidak tau, jika Juna menghampiri rumahnya untuk menghampiri ayahnya, namun Juna malah bertemu dengan seorang art yang tiba-tiba memeluknya.

Flashback

Juna menatap lama rumah, sudah hampir 8 tahun tidak dia kunjungi. Dulu, rumah ini memang memiliki berjuta kenangan bersama ayah, bunda, Mark, dan juga Jeno. Namun, siapa sangka? Waktu berlalu begitu cepat, bahkan rumah yang sudah seperti surga, beralih menjadi sebaliknya. Juna tidak kuasa mendengar cerita betapa menderitanya Jeno untuk tinggal di rumah ini. Ingin rasanya ia menghancurkan semuanya, bahkan dengan orang-orang yang berada di dalamnya sekalian.

Dengan menahan emosi, Juna masuk dengan lantangnya ke dalam rumahnya itu. Untuk beberapa saat, ruangan yang sudah hampir berubah terasa begitu kosong, namun gelak tawa bunda bersama mereka masih terngiang jelas di telinganya. Cukup lama memperhatikan setiap sudut ruangan, lamunannya tersadar saat seseorang yang dia yakini Art, sedikit berlari menghampirinya. Bahkan sangat jelas wajah senang, lega, dan haru terpancar di wajahnya.

"Aden Jeno!?" Bibi benar-benar memeluknya erat dan begitu erat dan hangat. Namun meskipun begitu, juna tidak sama sekali mengelak atau mendorong Bibi itu seperti yang mark, dan Sea lakukan waktu itu padanya.

"Aden dari mana saja! Bibi khawatir" ucap bibi, bahkan disetiap katanya, bibi menekan jelas gerakan bibirnya. Simpul, Juna tersenyum. Setidaknya masih ada yang peduli pada saudaranya itu.

Bibi memeluknya begitu lama sambil mengoceh tidak jelas, padahal Juna yakin, Bibi ini tau kalau Jeno tidak bisa mendengarnya mengoceh. Sampai akhirnya bibi melepaskan pelukannya sebelum berbicara. "Aden mau makan apa? Bibi masakin sekarang"

lagi-lagi Juna tersenyum, sekarang dia bertambah yakin jika, Bibi ini adalah orang yang baik. Tanpa berfikir panjang, Juna langsung mengangguk dan berjalan mengikuti bibi kearah dapur.

"eh. Den, Jeno tunggu disini aja, biar Bibi sendiri aja yang ke dapur" ucap bibi. Tapi bukan Juna namanya jika langsung menurut dengan perkataan Bibi, berbeda dengan Jeno, pria itu pasti langsung mengangguk tanpa pernah membantah ucapan Bibi. Namun kali ini beda, Juna tetaplah Juna, anak itu benar-benar keras kepala. Meskipun begitu bibi sama sekali tidak curiga, mungkin karena wajah mereka mereka begitu identik. bukan hanya bibi, siapapun yang melihat Juna pasti mereka akan mengira kalau itu adalah Jeno.

Tak lama satu persatu lauk pauk sudah berada diatas meja, dengan lembutnya Bibi menuntun Juna untuk duduk di meja makan, terlihat Bibi menghela nafas saat Juna malah membantunya memindahkan makanan ke meja makan, Bi, indung Begitu heran dengan perubahan sikap Juna yang dia kira Adalah Jeno. Bagaimana tidak? Sejak bibi memasak Juna tidak berhenti menawarkan bantuan, tapi bukannya membantu dia malah menciptakan begitu banyak kekacauan. Namun Bi Indung tidak bisa berbuat apa-apa, dia hanya menghela nafas membiarkan Jeno melakukan apapun yang dia mau.

🌙🌊

Juna menatap bulan yang mulai redup tertimpa awan gelap. entah yang keberapa kalinya, ia kembali menghela nafas menunggu kepulangan ayahnya yang entah kapan itu. Agin malam terus melebur menyapa kulitnya yang mulai dingin. Jika kalian mengira Juna merindukan ayahnya kalian salah, jika bukan karena Jeno, ia tidak Sudi untuk menginjakan kakinya dirumah haram ini.

Cahaya mobil berhasil mengalihkan pandangan Juna. Matanya tidak pernah lepas memperhatikan sebuah mobil memasuki garasi. saat itu juga tangganya mengepal kuat, gertakan giginya mulai terdengar saat melihat seorang wanita paruh baya keluar dengan anggunnya dari mobil itu. Bahkan saat wanita itu dia yakin adalah selingkuhan ayahnya itu mendekat kearahnya tatapan tajamnya tidak pernah lepas dari wanita itu. Sedangkan yang ditatap berjalan mendekat. Bahkan hanya dalam hitungan detik kata-kata yang menyakitkan keluar begitu entengnya dari mulutnya.

“heh. Cacat, dari mana saja kamu! Hebat ya, mentang-mentang ayah kamu lagi gaada disini kamu bisa seenak jidatnya berkeluyuran diluar sana. Kenapa nggak mati aja kamu sekalian? Kamu liat tu, rumput udah panjang, cabut tu rumput-rumput.”

Juna mengikuti kemana arah tangan wanita itu. Benar saja rumput-rumput sudah mulai panjang. Jika selama ini yang membersihkan rumput-rumput itu adalah Jeno, berarti Jeno sudah lama tidak pulang sebelum dia pergi untuk selamanya.

“nggak tau di Untung, udah numpang nggak tau diri pula. Mending usah pulang sekalian” lanjut wanita itu tiba-tiba.

Juna yang mendengar kata-kata yang tidak senonoh hampir membunuh wanita yang ada didepannya ini. Untung saja ia berhasil menahan dirinya saat teringat sesuatu. Benar saja wanita yang didepannya bahkan tidak tau dia siapa, dengan begitu ia bisa berpura-pura menjadi Jeno untuk membalaskan dendam saudaranya itu. Tanpa mereka sadari Bu Indung sudah berdiri di depan pintu saat mendengar suara mobil untuk menyambut kepulangan tuan rumah. Namun siapá sangka ia malah mendengar ibu tirinya Jeno memarahinya untuk kesekian kalinya.

Juna hanya bisa berbicara kasar didalam hatinya saat wanita itu meludah disampingnya sebelum masuk kedalam.

“bang*sattttt... Anji*ggggggg... tai... babi, bisa-bisanya gue hanya diam digituin!?... Kalau bukan karena kembaran gue, udah habis itu ceceran dajjal.”

Juna kembali duduk ditempat awal, masih sama, dia masih memandang bulan yang kembali muncul. Entah mulai kapak ia suka memandang bulan seperti ini. Juna tersentak melirik kesamping saat Bi Indung tiba-tiba duduk disampingnya cukup lama sampai akhirnya Bi Indung mulai membuka suara.

“dugaan Bibi benar, ternyata Aden bukanlah den Jeno”

Deg



TBC.

YEY akhirnya ingat juga balik kesini.
Maaf ya ges ya nunggu lama. Maaf juga diatas banyak typo tapi biarin aja dulu.

Btww ini masih lanjut kok, jadi jangan bosan nunggu lanjutannya, oke.???

Yg mau folow2 an Ig cus DM
@Saythename.sciii_ pasti aku follback.

Thanks you and Babay.





Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 06 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cacat (Lee Jeno)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang