01. Pertemuan Pertama

160 30 10
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Sebuah rumah kecil, menjadi pilihan ananta untuk tinggal selama beberapa waktu. Meskipun jauh berbeda dari rumahnya yang dulu, tapi apa boleh buat uangnya tak cukup untuk sekedar menyewa tempat yang lebih layak.

Ananta memegang perut kurusnya, sedari tadi perutnya terus berbunyi memberi pertanda bahwa ingin diisi. Gadis itu membuka dompet kecil yang berada di sampingnya, terlihat uang berwarna hijau yang sudah tak berbentuk, juga uang receh yang dapat ananta hitung hanya tiga ribu rupiah.

"Astaga." Ananta membuang nafasnya kasar, uangnya tinggal dua puluh tiga ribu. "Makan mie instant terus, bisa bisa usus buntu. Mau makan sate, terus besok makan apa?" Bilah bibir gadis itu terlihat terus mengoceh, matanya terlihat berkaca kaca merasa malang pada nasibnya sendiri.
"Padahal dulu, makan ayam sampai bosen. Sekarang sampai mikir berulang kali, takut besok mati kelaparan." Ananta terlihat merebahkan diri, pada sebuah kasur tipis yang diberikan ibu pemilik kontrakan.

Jika mengingat bagaimana kehidupannya dulu, rasanya ananta ingin menangis sejadi jadinya. Lalu berteriak kepada ayah dan ibunya, yang menjadikan dia manusia miskin dengan nasib jelek seperti ini.

Tubuhnya dia lipat sekecil mungkin, berupaya memeluk dirinya sendiri dan kembali memejamkan matanya. Tidak apa, setidaknya upaya ini mampu menunda lapar pada perutnya, meskipun dia harus meremas perutnya beberapa kali.

.
.

Sedangkan di belahan sisi lain, terlihat ke dua pria dengan balutan pakaian yang sudah rapi meski dengan gaya yang berbeda. Sang ayah memakai jas dengan dasi yang sudah tersimpul indah, dan si anak yang memakai kemeja biasa karena berniat datang keacara reuni sekolahnya hari ini.

"Pa, nanti aku naik motor aja ya." Ayden berucap sembari menyuapkan sebuah roti dengan selai strawberry pada mulutnya.

"Bahaya." Singkat, padat dan jelas. Sebuah larangan yang terdengar.

"Aku bisa hati-hati, papa ini terlalu paranoid padahal semuanya pasti baik baik aja kok. Papa ini terlalu—"

"Makan, dan diam."

Ayden mengunyah makanannya dengan perasaan dongkol, menurutnya papa nya ini terlalu kolot. Masa naik motor saja tidak boleh? Padahal ayden sudah dewasa.

"Papa, itu nggak asik." Ayden menyatukan tangannya, membuat tanda seolah dia tengah berdoa. "Tuhan, semoga papa bisa cepet dapet istri. Supaya nanti, waktunya terbagi jadi buat mantau istrinya juga, dan ayden bisa sedikit bebas."

Atlas menatap putranya dengan tajam, alis lebatnya terlihat menukik tanda tak suka. "Ayden!" Saat akan mencubit paha sang anak, ternyata dia sudah lebih dulu melarikan diri sembari membawa kunci motor yang ternyata sudah tergeletak di meja ruang keluarga. "Anak nakal." Geram atlas, sembari menggelengkan kepalanya.

.

Kedua tungkai kaki atlas terlihat berjalan pelan menapaki jalan setapak yang hanya cukup untuk satu motor saja, jika bukan untuk menagih hutang, atlas sungguh tak sudi berjalan lambat layaknya keong karena takut tergelincir di jalan yang licin.

ANANTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang