1

5 1 0
                                    

Apa yang terlintas di kepalamu saat aku menulis 'Alien'? Apakah monster dengan kepala bercabang dan giginya yang runcing ditambah air liur menjijikan yang keluar dari mulutnya? Atau kepala kotak Adudu? Yang mana saja bisa, bayangan seperti apa pun tentang alien yang muncul di kepalamu bisa jadi memang benar adanya.

Bisa jadi, bentuk alien memang menyeramkan seperti yang kamu bayangkan sekarang ini.

Begitu juga dengan hantu.

Ah, sebelum aku lebih jauh lagi membahas hantu ...

Apakah kamu percaya dengan adanya hantu?

Makhluk tak kasat mata, tidak terlihat, tembus pandang, sudah mati, namun banyak orang—termasuk aku—yang takut pada hantu. Iya, aku takut hantu, dan itu artinya aku percaya kalau 'hantu' itu ada. Rasanya terlalu egois kalau aku berpikir yang tinggal di bumi ini hanya ada manusia dan hewan saja. Dunia ini sangat luas, kan? Tolong jangan marah karena aku percaya kalau hantu itu ada, karena aku tidak akan menghakimi pandangan siapapun—terlebih yang percaya jika hantu tidak ada.

Malam ini udara sangat dingin, aku sampai pakai hoodie di dalam kamar yang tidak terlalu luas ini. Padahal seharusnya Indonesia itu 'panas', tapi saat malam tiba ternyata bisa sedingin ini. Duduk di kursi dan menulis catatan di ponsel ternyata sangat ampuh untuk membunuh waktu bagi aku yang sedang bosan ini.

Sepertinya malam ini akan hujan.

Menurut ramalan cuaca, harusnya hujan. Itu sebabnya aku sudah bersiap di dalam kamar, siap menonton YouTuber gaming kesayanganku. Biar kuberitahu, menonton streamer saat hujan adalah kenikmatan dunia yang sayang untuk dilewatkan, terlebih game yang dimainkan adalah game horor.

"Dek, ayo makan."

Kakak menyembul di balik pintu, wajahnya terlihat heran melihat aku yang duduk di kursi, pakai hoodie, ditambah selimut dengan ponsel di tangan dan laptop di meja.

"Kakak ganggu ya?" Dia memasuki ruangan, matanya mengedar melihat-lihat kamar yang tidak begitu luas ini. "Widihh, cepet juga nih renovasi kamarnya," komentarnya.

Aku meletakkan ponsel di meja, melipat selimut dan menyimpannya di ranjang. Pas sekali perutku lapar, waktunya makan.

"Tapi kenapa semuanya ungu?"

Tanganku terhenti. Di antara banyaknya dekorasi kamar, kenapa warna ungu yang dia komentari?

"Karena suka," balasku. "Lagian, keren juga, kan ungu-nya? Gak kaya janda."

Kakak mengangguk-angguk, nampaknya dia tidak akan memperpanjang percakapan ini. Tangannya beralih meraih bahuku, didekapnya tubuhku hingga aku dapat mencium bau parfumnya. Siapa sangka kakakku suka wangi vanilla?

"Bagus, bagus. Sekarang ayo makan, Clay masak nasi goreng tuh," ujarnya sambil menarikku keluar kamar. "Lo harus coba nasi goreng bikinan Clay, se-nagih itu."

Senyumku terukir kala kakak menunjukkan jempolnya, dia terlihat sangat yakin dengan masakan temannya, ya?

Rumah ini milik kakakku, Aleska. Oh, dia laki-laki, hanya saja aku tidak terbiasa memanggilnya abang, rasanya aneh. Di usianya yang baru 20 an ini, dia sudah memiliki rumah sendiri dan pekerjaan tetap yang bisa dibilang sukses. Yah, itu cukup membanggakan, ralat, sangat membanggakan. Karena Mami berulang kali menyebut namanya ketika sedang memarahi aku. Mami selalu berkata padaku untuk meniru kakak.

Aku tidak benci kakakku, hanya saja ...

"Uhuk! Uhuk! Lagi makan lu jangan bercanda ya, bangsat."

Tanganku refleks memberikan segelas air padanya. "Minum, kak."

Petrichor Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang