3

3 0 0
                                    

Sekarang lampunya menyala, aku dapat dengan jelas melihat deretan buku yang berjejer rapi di sini. Satu buku yang menarik perhatianku dini hari tadi, judulnya Petrichor. Aku meraihnya, menelaah cover buku dan membuka halaman buku ini. Penulisnya Resnowhy, setidaknya itu yang kudapati di sini. Sebentar ...

Kalau aku perhatikan, jejeran buku di rak putih ini semua penulisnya Rensnowhy. Apa dia sangat suka dengan karya penulis ini ya? Aku jadi penasaran, kalau aku pinjam satu buku saja boleh, kan? Akan aku kembalikan.

Melihat adanya sebuah kursi kayu tak jauh dariku, aku menghampirinya, terduduk di sana dan mulai membuka novel ini lembar demi lembar. Terhanyut dalam diksi ciamik nan apik dalam buku berhalaman 250 an ini, beberapa lembar halamannya bahkan ada ilustrasinya, aku jadi tau bagaimana sosok karakter utama dalam cerita ini. Buku yang menarik, hingga seseorang menarik buku ini dari genggamanku.

"Penyusup," katanya.

Oh, celaka. Aku lupa kalau lantai tiga adalah daerah kuasa milik pria berambut merah ini. Anu, siapa ya namanya?

"Ehe." Aku nyengir, tidak dapat mengelak, kali ini aku benar-benar menyusup.

Dia tidak mengatakan apa-apa, malah menarik kursi dan duduk di sampingku sambil membuku buku yang sebelumnya sedang kubaca itu. Apa dia marah? Hei, tolong katakan sesuatu!

"Sorry, gue enggak bermaksud ..."

"Santai," balasnya. "Lo suka buku ini?" Buku yang semula dia baca itu ditutupnya dan diserahkan padaku.

Ah, ini tidak nyaman, kenapa aku harus lupa namanya sih? Karena 'pria berambut merah' terlalu panjang, jadi aku singkat saja, dan sebut dia 'pram'. Kalau panggilan yang kubuat sendiri harusnya aku tidak akan lupa.

"Baru baca beberapa halaman aja, bang," balasku sambil menerima buku itu. "Punya lo kan, ya?" Aku balik bertanya yang langsung diangguki oleh Pram.

"Biasanya gak ada yang mau ke lantai tiga." Pram memundurkan kursinya dan beranjak pergi, pria itu menggulung lengan bajunya dan menghilang di balik rak buku tanpa menoleh sedikitpun padaku.

Tidak ada yang mau ke lantai tiga? Apa karena hanya ada rak buku di sini?

Kusimpan buku ini kembali ke rak tempat sebelumnya, dan mengikuti Pram, namun dia sudah menghilang entah ke mana. Sejauh mata memandang memang hanya ada rak buku, di sini seperti labirin. Tidak juga sih, aku hanya berlebihan. Ada beberapa kursi dan meja juga. Dan ...

Wow, ada balkon?

Semalam aku tidak melihat ada balkon, atau karena gelap gulita ya? Balkon yang dindingnya hanya dari kaca, aku jadi tahu kalau ada beberapa kursi dan sepertinya itu tempat nyantai. Oh, ada Pram!

Dia sedang melukis?

Aku membuka pintu, dan itu berhasil membuat Pram menoleh. "Ngelukis lagi, bang?" tanyaku.

Dia berbalik dan kembali melulis. "Lo belum selesai tour nya?" tanya Pram, masih membelakangiku.

"Yah ... rumah ini luas banget sih," balasku. Kuhampiri pagar dan bersadar di sana. Ternyata pemandangan di bawah sana mengarah ke taman belakang, aku jadi tahu kalau sekarang ada seorang pria yang sedang mencuci motornya di bawah sana.

Itu siapa ya?

"Lo liatin apa?" Pram berada di sampingku dan ikut menoleh ke bawah sana. "Lorentz?" Dia bergumam.

"Lorentz?" Aku seperti pernah mendengar namanya, tapi di mana?

"Iya, dia yang bersihin rumah ini dari semua makhluk tak kasat mata," jawabnya.

Jadi itu orangnya? Kalau aku tidak salah lihat, dia pria yang wajahnya selalu ditekuk. Selain saat makan, aku tidak pernah melihat dia selain sekarang ini. Apa dia suka mengurung diri? Atau sibuk seperti kak Ales? 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 13 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Petrichor Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang