2

2 1 0
                                    

Temanku pernah berkata, “Lo kalau dikasih permen sama orang gak dikenal kayanya mau-mau aja.” Saat itu aku hanya terkekeh kecil, ikut terhibur meskipun nyatanya aku tidak mengerti maksud perkataannya. Setelah dia menjelaskan, barulah aku mengernyit, memangnya aku sebodoh itu?

Tapi hari ini, aku sangat yakin jika aku memang bodoh.

Aku mengiyakan ajakan Pria Berambut Merah ini tanpa sedikitpun keraguan, berjalan dalam gelap bersamanya tanpa ada sepatah katapun hingga langkah kakinya terhenti di depan sebuah pintu bercat putih. Aku menerka jika ini adalah pintu kamarnya.

Dan benar saj—HEI, KENAPA AKU DIBAWA KE KAMARNYA?

Kupikir dia akan mengantarku ke kamarku? Kenapa jadi ke sini?

“Nih.” Dia menyerahkan senter yang semula dipegangnya itu padaku. “Gak usah dibalikin.”

Hah?

Kerut di dahiku semakin dalam, aku tidak mengerti, ini terlalu cepat. APA MAKSUDNYA?

“Kenapa diem aja? Tadi bukannya lo bilang mau minjem senter?”

Aku mengangguk.

“Nah, itu gue pinjemin. Udah sana balik ke kamar lo!”

Dia mendorongku dan mengunci pintu kamarnya dari dalam. Aku diusir?

Kupandangi senter yang menyala dalam genggaman tangan ini, haruskah kulanjutkan mencari kamar kakak? Atau kembali ke kamar dan menahan dingin? Sepertinya opsi ke dua lebih baik.

Namun entah kenapa tubuhku tidak mampu bekerja sama dengan pikiran, hingga aku berbalik badan dan mengetuk pintu kamar ini. Belum ada tanda-tanda pintu terbuka, aku kembali mengetuknya.

Tidak bisa begini.

Aku tidak mau kembali ke kamar sebelum mendapat jawaban. Sampai sebuah kepala menyembul di balik pintu, barulah aku tersenyum lega.

“Apalagi?” Dia mengernyit. Jujur saja, wajahnya mengerikan, aku takut jika dia tiba-tiba menerkam.

“Gue boleh masuk?”

“Balik ke kamar lo sana!”

“Takut.”

Tidak ada balasan, dia membuka pintu dan membiarkan aku memasuki kamarnya--ternyata di sini terang, dia menyalakan banyak lampu darurat. Kamarnya sangat luas, berkali-kali lipat lebih luas dari kamarku. Namun yang mampu mengalihkan perhatianku adalah lukisan. Ada banyak lukisan di kamarnya, bahkan di lantai kamar ini pun ada kanvas yang dibiarkan begitu saja. Sepertinya pemilik kamar ini seorang seniman. Tapi, kenapa dia hanya melukis objek yang sama?

Semuanya wanita berambut panjang bergelombang dengan mata senada dengan kacang almond.

Apa itu kekasihnya?

“Lo tidur aja kalau ngantuk.” Dia menggulung lengan bajunya, duduk di kursi dan meraih kuas--yang sepertinya sempat dia tinggalkan.

“Bang, ini semu--”

“Jangan tanya.”

“Bukan pertanyaan, kok.” Aku mengelak. Nyatanya aku sangat penasaran dengan semua lukisan ini, wajahnya mirip dengan lukisan yang sebelumnya kulihat di luar. “Bagus. Gue cuma mau bilang itu.”

Aku mendesah, sepertinya dia tidak suka diajak bicara. Melihat sebuah kursi panjang, aku mendudukkan diri di sana sambil tetap memerhatikan dia yang sedang melukis. Yang benar saja, sudah dini hari pun masih melukis? Apa itu tugas kuliahnya?

“Lo biasa ngelukis sampe jam segini, bang?” Aku celingukan, kamarnya benar-benar penuh lukisan potrait. “Gak ngantuk? Pasti minum kopi ya ...”

Gerakannya terhenti. “Apa yang mau lo tau?” Dia berbalik, tetap di duduk di kursinya namun beralih menghadap padaku.

Petrichor Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang