02 - Child

181 62 0
                                    

"Yang Mulia, mohon maaf, Tuan Muda Ansen-"

"Aku tahu. Menyingkirlah dari jalan." Theo menatap dua pelayan yang berdiri menghalangi pintu. Mata birunya memindai kamar di depannya datar, sebuah kamar yang sebelumnya tidak pernah dia gunakan, sebuah kamar yang sejak dia tinggal di istana Ruby ini dianggap sebagai pajangan, sebuah kamar yang tidak pernah Theo sangka akan ada penghuninya.

Theo melangkah masuk saat salah satu pelayan membukakan pintu. Retinanya disambut dengan langit-langit ruangan yang dihiasi tata surya. Theo memang menyuruh ajudannya untuk membuat kamar ini seramah mungkin untuk anak kecil, tetapi dia tidak menyangka Jeffrian-—ajudan sekaligus tangan kanannya-—akan memanggil penyihir hanya untuk mengubah furnitur dan isi kamar tersebut dalam beberapa jam saja.

Iris biru terang Theo melirik ke sisi yang lain, sebuah kasur cukup besar di ujung ruangan. Seorang anak laki-laki tidur meringkuk di atasnya, memeluk lututnya sendiri, dan Theo dengan jelas bisa mendengar gumaman gusar dari mulut anak itu. Yah, ini mengerikan bagi anak sekecil Ansen untuk melihat dengan matanya sendiri ketika ibunya diseret tak berperasaan. Bocah itu pasti tidak tahu kalau ayahnya sedang berusaha membunuh dirinya sendiri.

"Ansen Leonard." Suara Theo mendadak serak manakala memanggilnya, dan dia merasa sesak tanpa alasan ketika mengucapkan sapaan tersebut. Leonard? Apa benar ayah anak ini si Tharov Leonard itu? Mereka—-Jisliante dan Tharov-—bahkan tidak punya mata yang biru menyala seperti itu, kenapa selama ini tidak ada yang curiga?

"Kalau kau tidak mau ibumu mati, jawab aku dengan benar."

"A-ah, maaf." Ansen buru-buru berusaha bangkit walau tidak punya tenaga. Anak itu kini berlutut di atas ranjang dengan kepala tertunduk dalam. Tubuh kecilnya gemetar hebat, kedua mata birunya bahkan memandang ke kanan kiri tak fokus, dia ketakutan, Ansen ketakutan mendengar suara bariton yang barusan mengintimidasinya.

Tangan mungil Ansen saling bertaut cemas. "Sa-saya menyapa matahari kekaisaran."

Theo mengangkat alis. Anak ini tahu dia siapa?

"Kenapa kau tak makan?" Theo tak terlalu memusingkan. Dia kali ini mendekat pada Ansen, duduk di tepi ranjang membuat anak itu berjengit karena takut didekati dan secara naluriah dia termundur, tapi buru-buru Theo mencengkeram kepala si anak, takut terjengkang.

Sadar Ansen takut padanya, Theo berkata lebih lembut, "Mau kusuapi atau kau makan di depan mayat ibumu?"

"Yang Mulia!" Jeffrian, yang sedari tadi mengekori mereka, tanpa sadar berteriak menegur. Theo melirik ajudannya tajam, menggerakkan dagu memberi isyarat mengusir, dan demikianlah Jeffrian keluar dengan perasaan khawatir.

Theo memang tidak bermaksud jahat, tapi anak kecil manapun akan jiper jika kepalanya dicengkeram seperti akan dipenggal dan dia melontarkan kalimat mengerikan seperti barusan.

Mata biru terang Theo kali ini menatap Ansen lagi. Dia mengambil semagkuk bubur yang ada di atas nakas, lalu dia menaruhnya ke depan bocah ini. Theo bertitah tegas, "Ma.kan."

Ansen segera meraih semangkuk bubur yang disuguhkan padanya. Anak itu melirik sebentar ke arah Theo, dan ketika sadar dia diperhatikan intens, dia memalingkan wajah sembari menyuapkan bubur ke mulutnya sendiri. Ansen dengan patuh menelan bubur hangat tersebut, walau di detik berikutnya dia merasa mual dan memuntahkan kembali yang baru saja dia telan membuat Theo menatapnya terkejut.

Theo terperangah. "Kau--"

"Ma-maaf." Ansen mulai menangis. Dia mengambil muntahan buburnya di atas sprei menggunakan tangan kosong, lalu dia berusaha memakannya kembali karena takut dimarahi.

"Itu kotor!" Theo membentak sembari menyentak tangan anak di depannya sampai Ansen secara tak sengaja terdorong. Theo mendecak keras ketika jeritan tangis bocah di depannya membuat kuping sakit, tangisannya persis milik ibunya beberapa saat yang lalu.

Kyomei • jisyongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang