Sesuai dengan ucapan Angkasa pada Jevandra kemarin, lelaki blasteran itu sudah tiba di depan rumah Jevandra pukul 7 kurang 15 menit. Ia bukan tipikal orang yang suka akan keterlambatan, maka dari itu ia mempercepat waktu berangkatnya.
Disinilah Angkasa menunggu, di teras kediaman Carviello. Ditemani dengan secangkir teh yang disediakan oleh Jevandra, dan berbincang dengan Ayah dari lelaki manis itu menambah kesan hangat tersendiri bagi Angkasa pagi ini. Dirinya memang jarang mengobrol singkat dengan sang Ayah, dan sekarang justru berhadapan dengan sosok berparas tegas nan berwibawa.
"Memang kalian ada rencana mau kemana?" tanya Demian, Ayah dari Jevandra.
"Mau ke pantai, Om," jawab Angkasa.
Demian mengangguk. "Jeje itu jarang sekali keluar rumah untuk bepergian. Paling kalau ada hal penting saja, selebihnya hanya di rumah. Makanya saya bingung waktu dia bilang mau ke pantai dengan temannya."
Mendengar hal tersebut membuat satu fakta akan Jevandra terbongkar pada Angkasa.
"Nanti pulangnya jangan terlalu malam ya, nak. Kasihan kamunya juga, besok masih harus kuliah," ujar Demian selepas melihat sang anak sudah siap untuk pergi.
Angkasa tersenyum, dan bergegas pamitan pada Demian. "Saya pinjam anaknya dulu ya, Om. Saya pastiin aman, ngga akan lecet sedikitpun."
Penuturan Angkasa mampu membuat Demian tergelak. "Waduh, iya, iya. Nanti kalau rewel tinggal saja dia di pantai ya."
"Ish, Ayaah!" rengek Jevandra yang kini berlalu menuju mobil Angkasa.
Baik Demian maupun Angkasa tertawa melihat kelakuan lucu si tunggal Jevandra.
Setelah menghabiskan waktu di pantai, mulai dari bermain air, bermain pasir, menaiki atv, bahkan menyantap seafood bersama, keduanya kini duduk di tepi pantai. Lebih tepatnya di atas tebing bebatuan, yang berhadapan langsung dengan indahnya jingga di nabastala sore ini. Keduanya sama-sama menikmati keindahan senja tanpa mengucapkan sepatah kata. Benar-benar hanya tertuju pada warna jingga disana.
"Kamu sesuka itu sama senja?"
Entah sudah berapa menit berlalu, Jevandra akhirnya membuka suara.
"Iya, sesuka itu gue sama senja."
Jevandra menoleh, menatap
arah wajah Angkasa yang masih asik menatap senja. Jujur saja, Jevandra juga suka dengan swastamita, tapi tidak seperti Angkasa.
"Kenapa? Karena senjanya cantik?"
"Iya."
Setelah mendapat jawaban dari Angkasa, keduanya kembali terdiam. Deburan ombak menjadi pengiring di antara keduanya. Symphony dari cuitan burung seolah menjadi pemanis dalam indahnya pemandangan kali ini. Keindahan senja, seolah menarik keduanya dari kehidupan nyata.
"Gue selalu lihat indahnya senja setiap hari. Dengan senja yang tetap sama, dan ngga ada yang berubah dari senja itu. Mata gue selalu tertuju pada senja indah yang gue lihat setiap harinya. Senja yang menarik atensi gue, sehingga gue ngga bisa berpaling dan meninggalkan senja itu."
Jevandra mengernyit heran dengan penuturan Angkasa. Lelaki disampingnya kini benar-benar maniak senja.
"Huum, terus?"
"Tapi kali ini, gue menemukan hal indah selain senja yang gue lihat setiap harinya. Bahkan lebih cantik dari senja sore hari. Walaupun konteksnya sama, tapi gue bisa pastiin, senja kali ini lebih cantik dan menarik untuk gue."
Oh tidak, Jevandra jadi semakin penasaran dengan hal lain yang berhasil mengalahkan senja sore hari kesukaannya Angkasa.
Ia menoleh ke arah Angkasa. "Memang ada hal lain yang bisa mengalahkan cantiknya senja?"
Di detik berikutnya, Angkasa ikut menoleh. Hingga keduanya saling bertatapan. Wajah manis Jevandra terlihat kian cantik kala sorot jingga menjadi latar si tunggal Carviello. Pun dengan Angkasa. Wajah tampannya terlihat menyejukkan mata, menyatu dengan indahnya jingga.
"Ada, lo. Atensi gue selalu ditarik sama senja yang ini, daripada senja sore hari," jawabnya seolah tanpa beban.
Mendengar itu, membuat Jevandra mengalihkan pandangannya. Sungguh, ia tidak berani menatap netra kembar Angkasa kali ini. Ada debaran aneh di jantungnya acapkali ia menatap kedua netra kembar si Levardoz. Debaran yang seolah menariknya kian mendekat pada Angkasa, juga debaran pertanda sebuah bahagia.
"Jev?"
Jevandra hanya bergumam, tatapannya masih tertuju pada deburan ombak di laut lepas.
"Menurut lo, ada kesempatan ngga buat gue bahagiain lo?" tanyanya ragu.
Jevandra mengangkat kepalanya, lantas menatap kembali Angkasa. "Ada, Angkasa. Kenapa kamu nanya begitu?"
"Perasaan lo masih sama seperti kemarin?"
Jevandra menerbitkan senyumnya, lalu mengangguk. Ia bahkan tidak pernah mencoba berpaling dari perasaannya pada pemilik nama lengkap Angkasa Levardoz.
"Kamu mau menjalankan sebuah hubungan bersamaku? Niat awalnya memang aku cuma mau confess ke kamu. Tapi aku selalu berusaha yakinin diri aku dulu, aku takut salah langkah dan berakhir nyakitin kamu nantinya. Tapi aku pikir, cukup sampai disini, aku ngga mau mengulur waktu lagi. Jevandra Carviello, apa kamu mau, menjadi senjanya Angkasa, dan mengizinkan Angkasa melukis indahnya dirimu di buku senjanya?"
Angkasa beralih menatap lembut kedua netra Jevandra, seraya menggenggam tangan yang lebih kecil darinya.
"Jawabannya hanya iya dan iya, Jevandra."
─━━━━ ⋆ · · ❅ · · ⋆ ━━━━─
Huh hah, huh hah, bentar aku nafas dulu.
Buku ini benar-benar 80% kisah nyata aku sama dia haha. Jadi, waktu nulis ini aku kembali mengingat bagaimana dia merangkai aksaranya, dan menjadikan aku sebagai senjanya hingga di hari ini.
Aku harap, kalian ngga bosan dengan cerita ini, ya. Karena jujur, aku bikinnya sambil nahan salting, guys..
See you on the next chapter, guys!!
KAMU SEDANG MEMBACA
SATURN
FanfictionLagu Saturn-SZA berkisah tentang fase quarter life crisis yang mungkin sedang dialami beberapa orang. Liriknya mengisahkan tentang seseorang yang merasa hidupnya stagnan dan tidak bermakna. Saturn dibuka liriknya yang menggambarkan kekecewaan si pen...