06

19 2 0
                                    

Suara langkah kaki begitu bergemuruh terdengar dari arah anak tangga, anak berpipi tembam dan anak berhidung mancung berlarian dengan suara keributan.

"Hei, kemari kau!" Teriak anak berpipi tembam, mereka berlarian mengelilingi ruang tamu.

"Tangkap aku kalau kau bisa!" Anak berhidung mancung itu melirik sebentar ke arah belakang dan menjulurkan lidahnya sebagai tanda ejekan.

Kedua alis anak berpipi tembam itu bertaut, matanya semakin tajam bertanda semakin emosi dirinya. Dia menguatkan kepalan tangannya dan menambah kecepatan larinya.

Namun dengan ketidaksengajaan, anak berpipi tembam itu menabrak anak berkacamata yang baru saja turun dari anak tangga. Keduanya membeku dengan kejadian tersebut, dilihatnya hidung anak berkacamata itu mengeluarkan darah.

Sontak mata keduanya membulat, mereka saling melirik satu sama lain. Kemudian, mereka mendekati anak berkacamata itu dengan jantung yang berdegup kencang, entah cemas atau karena kelelahan berlari tadi.

Mendengar adanya suara keras dari lantai bawah, semuanya meninggalkan kegiatan masing-masing dan melihat situasi yang terjadi.

"Wiliam!!" Teriak kakak tertua yang melihat dari lantai atas, dia berlari menuruni anak tangga. Dengan cekatan jovian mengambil tissue dan kotak obat untuk mengobati Wiliam.

Semuanya sedang mengkhawatirkan Wiliam, "apakah sudah lebih baik?" Tanya jovian. Wiliam menganggukkan kepalanya bertanda dia tidak apa-apa.

"Siapa yang melakukan hal ini?" rahangnya yang mengeras dan tangan terkepal kuat, dengan tegas ia tanyakan kepada dua orang yang berdiri di belakangnya.

Keduanya menunduk dan berbisik-bisik menyalahkan satu sama lain.

"Kakak bilang, siapa yang melakukan ini?!" ia menekankan suaranya agar mereka jujur dan tidak saling menyalahkan.

Anak berpipi tembam itu mengangkat tangannya, "maafkan hakim kak, hakim tidak sengaja menabrak Wiliam" tuturnya.

"Duduk di samping Wiliam dan minta maaf lah kepadanya" perintah Surya, dengan cepat anak itu duduk di samping Wiliam dan meminta maaf sambil menangis.

Kemudian, Surya menyuruh kedua adiknya menghadap ke dinding di ruang tamu sampai sang ibu pulang kerja. Mereka langsung menjalankan perintah sang kakak.

Jovian berjalan dan mengambil kacamata Wiliam yang tergeletak di lantai, ia melihat kacamata milik Wiliam sudah retak dan tak layak pakai.

"Ini sudah rusak, bagaimana?" Tanyanya, Surya yang melihat itu langsung merebut kacamata Wiliam yang berada di tangan jovian.

"Sudahlah, kau pergi saja ke kamar, biar aku yang mengurus Wiliam" sungut Surya. Jovian tidak mendengarkan Surya, ia pergi ke dapur dan mengambil segelas air putih hangat untuk Wiliam.

Jovian menaruhnya di atas meja dan duduk di samping Wiliam, ia sedikit memijat kepala Wiliam agar tidak pusing.

Wajah datar milik Surya semakin dingin, ia mengernyitkan hidung dengan kelakuan jovian yang tidak pernah berubah.

"Apa kau mendengarkan ku, Jovian samudra?" Jika sang kakak tertua sudah menyebutkan nama panjang mereka, berarti sebentar lagi ia akan marah besar.

Jovian menarik nafas dalam-dalam dan dihembuskan dengan kasar, "baiklah, aku akan kembali ke kamar" ucapnya. Ia menutup pintunya dan berbaring diatas ranjang.

Jam telah menunjukkan pukul setengah empat sore, suara ketukan pintu terdengar samar dari dalam. Jovian perlahan membuka matanya, dilihatnya jam dinding.

Ia berjalan sedikit lesu untuk membuka pintu, "teman-teman sudah menunggu kita untuk bermain bola" ujar Surya dengan wajah datarnya.

Jovian mengangguk dan segera menghampiri teman-temannya untuk bermain bola.

ANINTYA  (2007) [ON GOING!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang