•
•
•
•~•~•~•~•~•~•~•Satu tahun berjalan dengan baik, kini Seno seharusnya sudah menaiki kelas di tingkat paling akhir yaitu tiga SMA. Sekarang adalah tanggal lahirnya, atau dapat disebut tanggal ulang tahunnya. Tepat dipagi hari, Jerico serta sang Bunda sedang menaiki mobil milik Jerico.
Menuju entah kemana mereka akan pergi. Mobil Jerico berhenti tepat di sebuah toko yang berdominan warna coklat serta tempatmya yang sangat tertata rapi.
Pertama kali Jerico dengan sang Bunda masuk, hidung mereka mencium bagaimana aroma ruangan tersebut yang beraroma bunga. Tatanan berbagai bunga yang rapi memanjakan siapapun yang datang menuju ke dalam.
"Pesanan anda, Pak." ucap salah satu pegawai menyodorkan papperbag berisi sebucket bunga berwarna putih, dengan berbagai penghias seperti bunga lain atau hanya tangkai yang indah.
Jerico menerimanya, segera ia mengambil dompet dari sakunya. Menelisik beberapa lembar uang dan diberikannya pada pegawai toko tersebut.
Jerico dan Dina segera kembali setelah mengambil yang mungkin akan menjadi hadiah Seno nanti. Tepat pukul delapan pagi, mobil Jerico berhenti di tempat parkir.
Jerico dan Dina segera keluar, memasuki area rindang banyak pepohonan serta suasananya yang redup dan tentram. Tidak banyak orang disini, hanya orang tertentu yang datang.
Setelah dirasa Jerico serta Dina mendapat sesuatu yang mereka cari sejak tadi. Keduanya langsung berlutut dan mengucapkan sepenggal kalimat.
"Seno, Bunda sama kakak mu datang. Gimana kabar kamu sama Ayah?" ucap Dina memeluk batu nisan. Kini bukan batu nisan bernama Fian Algasvarand, melainkan Seno Algavian yang terletak di samping makam sang Ayah.
Senyum kecut terukir di wajah Dina serta Jerico, "Hari ini hari spesial kamu, Sen. Tapi kamu malah pulang duluan." ucap Dina mengelus batu nisan milik Seno.
Jerico hanya dapat menyeka air matanya, "Sen, gua bawa bucket bunga fav lo nih. Ga niat balik?" tanya Jerico.
"Bunda ga ngucapin ulang tahun sayang, kamu udah ga bakal nambah umur. Bunda cuma mau ngunjungin kamu di hari pertama kali kamu lihat dunia sayang. Sekarang kamu udah balik ke tempat asal." ucap Dina sembari menangis pedih.
Jerico hanya berlinang air mata, ia tak dapat menunjukkan dirinya akan menangis tersedu juga. Ia harus tabah, ini semua kemauan tuhan agar Seno dapat beristirahat selama lamanya. Tidak akan merasakan kejam nya dunia lagi untuknya, tugasnya sudah selesai. Waktunya Seno kembali.
"Bunda ga nyangka dimana waktu harusnya Bunda mau bercanda sama kamu. Tuhan malah manggil kamu waktu itu." ucap Dina.
Flashback on.
Seno sedang bermain dengan Jerico, memainkan beberapa game saat dimalam hari. Diruang tamu tepatnya, Dina sedang memasak untuk mereka makan malam.
Setelah masakan selesai, Dina segera menata makanan yang dibantu oleh Seno. Disaat Seno sedang membawa salah satu gelas ia tiba tiba mengalami pusing yang sangat amat mengguncang kepalanya. Pandangannya mulai buram, dan satu menit kemudian semuanya gelap.
"SENO!" teriak Dina yang membuat Jerico kaget dan menghampiri Seno.
"Yaampun, ayo Bun!" ucap Jerico mengambil kunci mobil dan langsung pergi menuju rumah sakit terdekat.
Seno diduga mengalami epilepsi karna ia kekurangan darah atau dapat disebut anemia. Seno sejak siang belum mendapati makan karna tugas yang harus Seno selesaikan terlebih dahulu.
Seno sudah sangat terlambat untuk mendapat asupan gizinya, hanya kalimat terakhir yang Dokter berikan pada Jerico serta samg Bunda.
"Seno udah berpulang, Minggu, lima belas Juli di jam sembilan malam."
Tangis keduanya pecah, Dina dan Jerico tidak menyangka apa yang Dokter itu ucapkan, "Ga, SENO MASIH ADA! GAUSAH MAIN MAIN." teriak Jerico menggelegar di seluruh lorong rumah sakit.
"Maaf jangan berteriak, ini memang sudah kenyataan yang harus anda dan Ibu anda terima, Pak." ucap dokter itu lagi.
Lutut Jerico seakan lemas, ia tidak dapat menopang tubuhnya kembali. Alhasil ia terjatuh di lantai sembari meremat rambutnya sendiri. Wajahnya sudah dipenuhi oleh keringat serta air mata yang tercampur.
Dina hanya dapat menangis dan menguatkan Jerico, memeluk anak sulung nya sambil berusaha membuat Jerico Ikhlas.
"Ga, Bun. Jelas jelas Seno tadi masih ketawa!?" ucap Jerico kacau.
"Takdir, Jer. Bunda juga gatau harus gimana." ucap Dina memeluk Jerico yang menangis hebat.
Flashback off.
Jerico kembali menangis pilu mengingat kejadian dimana terakhir kali ia melihat Seno tersenyum. Senyuman manis itu akan selalu ia dan Bundanya ingat.
Anak yang selalu ceria di luar, menyimpan banyaknya luka serta kepedihan sekarang telah mendapat keamanan. Pulang kepada pemilik adalah satu satunya tempat dimana itu yang paling indah dari segalanya.
Pasti sekali anak ini mendapat tempat yang layak seperti bagaimana sifatnya selama di dunia. Jerico sangat amat menyesal, begitupun Dina.
Kini anak kedua sekaligus terakhirnya telah dibawa pergi jauh oleh sang maha kuasa dari orang orang Keji.
"Seno, gua bangga jadi abang lo. Gua telat sadar. Maaf dan terimakasih Seno Algavian." kalimat terakhir Jerico sebelum memeluk erat rumah terakhir Seno.
•~•~•~•~•~•~•~•
[EPILOG END]
Notes [minteudottori]
___________________Mungkin ga sesuai espect kalian kalo Seno bakal meningsoy haha, gimana reaksi kalian?
Saya mau bilang banyak terimakasih pada reader yang setia, yang selalu vote maupun ninggalin jejak dengan komen atau sekedar baca sudah bikin saya senang.
I'm grateful someone likes my story.
Terimakasih ya, dan maaf bila cara penulisan saya masih kurang benar, atau dengan adanya typo yang masih bertebaran saya meminta maaf karna mengganggu kalian saat membaca.
Cerita VICTIMS OF WEALTH sudah tamat.
See u next time mungkin dengan my new story. I love u all! Beri komen untuk meninggalkan jejak atau pendapat kalian dengan cerita ini.
♥︎
Kapan-kapan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
VICTIMS OF WEALTH [END]
FanfictionSebuah keluarga tanpa seorang yang berperan sebagai ayah, hanya ada Ibu dengan kedua anak laki-lakinya. Jerico Algafian, anak pertama yang sudah bekerja dan memiliki harta yang melimpah, mengganti peran sang ayah yang telah tiada, seorang penyayang...