40 Collide

180 7 1
                                        

Seminggu setelahnya hubungan Arden dan Aya semakin membaik. Mereka tidak pernah pulang setelah kelas berakhir. Arden dan Aya akan berakhir di sejumlah tempat yang jauh dari jangkauan anak-anak Tritungga maupun teman-teman kampus Arden.

Semakin banyak waktu yang keduanya habiskan membuat batasan di antara keduanya semakin memudar. Arden sejak awal tidak peduli soal moral atau semacamnya. Namun Aya yang sebelumnya begitu ketat soal batasan hubungan antara perempuan dan laki-laki telah melupakan banyak hal.

Arden senang bagaimana Aya duduk nyaman di pangkuannya atau sekedar memeluknya lebih erat ketika mereka berbaring di kasur yang sama. Arden paham bahwa dirinya memang sebajingan ini. Arden suka merasakan tubuh Aya di tangannya. Arden suka perasaan ketika dia memeluk Aya. Arden suka merasakan deru nafas Aya ketika ia menciumnya. Arden menyukai suara rendah Aya yang sesekali diselingi kecemasan. Arden suka segalanya tentang Aya. Arden lebih suka, karena Aya juga tampak menyukai hal yang sama dengannya. Kini mereka berbagi kesenangan yang sama tanpa memperdulikan siapapun.

"Kak, sebentar." Arden terdorong mundur, sementara Aya kini meraih HP dari meja. Tanpa bertanya, Arden sudah dapat menebak siapa yang menghubungi Aya. Melisa entah bagaimana semakin sering menghubungi Aya. Bertanya apakah Aya sudah makan atau sudah pulang. Seringkali Aya mengatakan kalau dirinya pergi mengerjakan tugas atau belajar di perpustakaan lebih lama. Melisa tampaknya masih percaya bahwa puterinya adalah sosok yang sama, sehingga Melisa kerap mengakhiri panggilan tanpa kecurigaan. 

Melisa hanya tahu bahwa putera tirinya menyukai Aya, tapi Melisa tidak tahu bahwa putera tirinya kini sudah memiliki Aya sepenuhnya. Arden suka begitu, karena Arden dapat menikmati Aya lebih lama lagi. Arden sungguh tidak ingin semua kesenangan ini berakhir sekarang.

"Kamu sudah pulang, Sayang?"

"Belum, Ma. Aku masih di perpustakaan."

"Ya Tuhan, lagi-lagi masih belajar. Jangan lupa makan siang, loh!"

Arden ingin tertawa. Belajar apanya. Nyatanya sejak pagi Aya tidak pernah sampai ke sekolah, apalagi menyentuh buku. Pagi-pagi sekali Arden dan Aya sudah bertemu di hotel yang dijanjikan. Arden bilang kalau dirinya sakit, sehingga Aya langsung menghampiri. Sejujurnya Arden tidak berbohong. Kepalanya memang pusing akibat minum terlalu banyak di pesta salah seorang teman Dave semalam. Namun sekarang alih-alih pusing Arden malah dipenuhi semangat untuk melakukan banyak hal dengan Aya.

"Aku udah makan siang, kok, Ma." Aya membalas secukupnya.

"Kalau begitu bagus. Jangan sering menunda makan siang. Nanti kamu bisa maag, loh! Sebentar lagi mau seleksi perguruan tinggi. Jangan sampai drop duluan. Mama enggak mau kamu sakit."

Arden meletakkan kepalanya di bahu telanjang Aya. Segaris tali pakaian dalam Aya terasa kasar di ujung hidungnya. Arden sudah bilang! Dia memang laki-laki bajingan.

"Mama, aku matiin panggilannya, ya. Enggak enak kalau berisik di perpustakaan."

"Ya sudah, lanjutkan belajarnya. Mama dan Papa akan pulang lebih malam. Nanti makan malam saja duluan dengan Kakak kamu seandainya dia pulang."

"Iya, Ma."

"Astaga, anak itu benar-benar liar. Bagaimana bisa dia tidak pulang selama tiga hari belakangan ini?" gerutu Melisa.

"Kak Arden udah besar, Ma. Biarin aja."

"Tetap saja setidaknya dia harus ingat rumah! Papanya sudah bekerja keras untuknya, tapi dia bersikap seenaknya."

Arden tidak peduli dengan apa yang Melisa katakan. Bibirnya bergerak pelan mencium pundak Aya.

"Ma, aku matiin, ya. Sampai ketemu di rumah." Aya langsung mematikan panggilan. Sorot matanya lantas melirik Arden tajam.

RED | Step Sister [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang