Ditanah kau tertidur, kenapa udara yang terasa sesak? Diatas langit namamu melayang tinggi, mengapa diriku yang tergantung di ruang hampa.
Happy reading
*
Padahal bel pulang sekolah belum berbunyi, masih ada satu jam lagi sebelum kegiatan belajar mengajar selesai namun siswi dengan tampilan lusuh serta rambut dikuncir kuda itu berlari disepanjang koridor, di punggungnya menggendong tas hitam yang sama lusuhnya dengan penampilannya. Sesekali tangannya mengusap lelehan air mata di pipi, ia terisak, ibunya baru saja meninggal.
Tangannya terkepal erat kala berhasil naik angkot menuju rumah. Perasaan marah, kecewa dan benci bercampur aduk dalam kepalanya. Kenapa Tuhan merenggut orang-orang berharganya satu-persatu? ia hanya ingin bahagia, sedikit saja. Apa Tuhan juga tak menginzinkan meski hanya sebentar?
" Terimakasih bang, " Ucapnya turun dari angkot, suaranya bergetar menahan tangis. Ia menoleh pada rumah sederhana milik orang tuanya, ada bendera hitam berkibar disana, ingin sekali ia merobek-robek kain hitam tersebut.
" Ibuu... " Lirihnya menatap tubuh yang terbujur kaku di tengah-tengah rumah. Ia mendekat lalu menurunkan sedikit kain yang menutupi wajah sang ibu, wajah pucat pasi itu masih mampu membuatnya tenang. ia terisak, sakit, ini sakit sekali. Dadanya seakan mau pecah oleh rasa sesak yang menghimpit, aliran pernafasannya tersendat.
" Nayara, sudah. Kasian ibumu, " Kata Bu RT yang duduk tepat disampingnya. Wanita paruh baya itu merengkuhnya dalam pelukan, Nayara semakin menangis.
" Bu, maafkan aku belum bisa jadi anak yang baik. " ia berbisik di telinga sang ibu yang sudah kehilangan fungsinya, namun ia yakin arwah sang ibu masih ada disini mendengarkan.
Barangkali arwah wanita yang selama hidupnya sudah mencurahkan seluruh cinta untuk anak-anak dan suaminya itu masih berada disini, melihat betapa terlukanya mereka atas kepergiannya.
Setelah itu ia mencari keberadaan sang ayah yang sepertinya tengah sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk pemakaman .
*
Nayara menatap gundukan makam dengan tatapan pedih. Tak peduli seberapa kuat ia berpijak, pada akhirnya kakinya goyah, ia tergugu memeluk makam dengan tangan pendeknya yang tak sampai. Ia sendirian disini menangisi kepergian ibunya, separuh jiwanya sudah dibawa pergi bersama jasad ibu yang terkubur dibawah sana.
"Bu, aku tidak mau kehilanganmu. " Lirihnya bersama desiran angin, "Aku tidak kuat. Aku lemah, Aku mohon, kembali bu. " Isaknya.
Andai bisa Ia ingin menukar kehilangan ibunya dengan apapun yang Ia punya, tapi bukankah ia tidak punya apa-apa? Andai bisa ia ingin kembali meraih tubuh yang sudah tak bernyawa itu. Andai bisa ingin sekali memutar waktu lalu mencegah kehilangan. Tapi, kenyataan nya Nayara hanya bisa berandai-andai, sebab, semua itu tak mungkin bisa dilakukan.
"Nay, ayo pulang. " Fero, kakak tertuanya datang lagi, pria dua puluh dua tahun itu menarik Nayara berdiri.
Penampilan Fero tak kalah lusuh dari adiknya, matanya merah menahan tangis. Fero tidak mau menangis walaupun ada begitu banyak air mata yang ingin ia keluarkan. Sebagai seorang kakak ia tidak ingin terlihat lemah didepan adiknya.
" Aku masih mau disini. " Kata Nayara,
" Udah sore, Nay, besok kamu bisa kesini lagi. "
" Aku mau menemani ibu, "
"Jangan seperti ini, Nay. Kasihan ayah. "
Nayara seakan tersadar, ayahnya pasti sangat sedih sekarang, Ia harus menghiburnya. Gegas gadis itu berdiri seraya mengusap air mata yang tak henti jatuh dari tadi.
Kakak dan adik itu berjalan bersama dalam keheningan. Tidak ada yang bersuara, tidak ada yang memulai percakapan, keduanya sama-sama membisu membiarkan keheningan memerangkap kedua insan yang tengah bersedih.
Matahari sudah sepenuhnya tenggelam saat Nayara memasuki pintu rumah sederhananya yang terletak di pinggiran kota. Area kumuh untuk orang-orang miskin. Mata bulat sayu Nayara berpendar mencari keberadaan sang ayah.
Tidak menemukan ayahnya di ruang tengah, gadis belia itu menuju dapur. Benar saja, ayahnya sedang memasak sesuatu, bahu lebarnya naik-turun. Ayahnya sedang menangis sendirian.
Tangan Nayara terkepal, ia benci melihat ayahnya terluka. Melangkah lebar Nayara ke dekat kompor yang masih menyala,
"Biar aku saja, Yah." Nayara merebut sendok dari tangan ayah lalu menggantikannya mengaduk nasi goreng, ya, nasi goreng adalah makanan kesukaan mereka semua.
"Tak apa, nak. Istirahatlah, nanti kalau sudah selesai ayah akan membangunkan kamu." Bahar, ayah Nayara bersuara pelan dan serak. Sudut matanya masih berair, tapi bibir nya tetap tersenyum. Tidak ingin anak-anak tahu kalau dialah yang paling terluka disini.
" Aku ingin memasak, Yah."
Bahar mengalah, membiarkan Nayara menyelesaikan pekerjaannya. Ia duduk diatas kursi plastik di tengah dapur, mengamati Nayara dari belakang sambil sesekali mengusap sudut mata.
"Yah," panggil Ashraf, kakak kedua Nayara dari pintu tanpa daun yang menghubungkan ruang tengah dengan dapur.
"Kenapa raf?" Tanya Bahar menoleh sebentar.
"Kenapa belum ada yang datang ke rumah kita? Sudah lewat pukul tujuh malam, apa memang tidak ada tahlilan lagi?" tanya Ashraf dengan wajah bingung.
Sedikit kasar Nayara membagi nasi goreng kedalam empat piring, "kita berempat masih bisa kok tahlilan untuk ibu," ucapnya lirih.
Ditekan kuat dadanya yang semakin sesak. Hidup dalam kemiskinan keluarganya sering di hina dan dipandang bak binatang, padahal yang tinggal di lingkungan ini pun tidaklah orang kaya. Hanya saja karena keluarganya yang paling miskin sebab itulah mereka yang paling sering di caci maki.
Tidak akan ada yang datang kerumahnya. Keluarga nya miskin tidak akan mampu menyuguhkan apa-apa. Bahkan saat ibunya meninggal pun hanya ada sedikit orang yang datang melayat, pak RT dan istri nya sebagai formalitas. Serta beberapa warga yang juga sama miskinnya dengan mereka, sehina itulah orang miskin disini. Di pandang remeh dan dianggap sebagai hama.
"Ayah mandi sebentar kemudian kita akan tahlilan bersama-sama." Bahar pergi sambil menyalahkan diri sendiri. Jika saja ia memiliki tabungan lebih maka pasti mereka masih bisa menyuguhkan sesuatu untuk tamu yang datang.
Nayara meletakkan begitu saja nasi goreng diatas meja kayu yang sudah tua, warna kaki meja itu bahkan sudah menghitam. Nayara mengepalkan tangan, ia tidak berharap ada orang yang datang tahlilan untuk ibunya, tapi ia bersumpah akan membalas hinaan yang selama ini keluarga nya terima.
***
Maaf ceritanya masih berantakan. Tolong Vote dan komen yaa❤😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Menulis Luka
Teen FictionDari sekian banyak pertanyaan, ia memilih bertanya berkali-kali tentangnya dan semesta; Apakah tidak bisa bersama sekali lagi? Apakah rumah itu sudah tidak bisa diperbaiki lagi? Apakah ia tak bisa bahagia walau hanya sekali? kenapa duka yang tak ber...