Bab 1

1 0 0
                                    

Perihal kehilangan ternyata memang se-menyakitkan itu, dia pergi dengan damai sementara yang ditinggalkan kesusahan menata hidup. Barangkali disana dia sudah menemukan lentera baru, sementara yang ditinggalkan kehilangan cahaya satu-satunya.

Happy reading

***

Setelah kepergian sang ibu dunia yang Nayara lihat tak lagi sama. Ia terombang-ambing sendirian di lautan duka, menyakitkan lalu menyesatkan hingga membuatnya kesulitan kembali menata hidup.

Terhitung sudah lebih dari lima tahun, Nayara berpijak sendirian ditanah duka. Ia memeluk lukanya sendirian, rumahnya yang dulu hangat perlahan juga mulai berubah, dingin dan tak terawat.

Tawa dan senda gurau yang dulu sering terdengar di meja makan digantikan dentingan sendok, sepi, sunyi dan suram. Semua sudah berbeda, Ayahnya yang menyibukkan diri dengan pekerjaannya sederhananya. Fero, kakak tertuanya yang berlari sejauh mungkin hingga sulit diraih, pergi dari rumah mencari tempat yang ia kira akan membuatnya lebih tenang. Ashraf, kakak keduanya yang menderita skizofrenia, menghabiskan sebagian masa remajanya di rumah sakit jiwa.

"Nayara, apakah kau sudah makan?" Gilang, teman karibnya di jalanan mendekat. Pria itu mengatur nafasnya yang tersengal sebentar, lalu duduk diatas bangku panjang disamping Nayara yang sedang menyulut rokok.

Gadis itu menyilangkan kakinya, matanya menatap malas ke depan, kearah rumput yang sudah mulai tinggi.

"Belum, aku tidak memegang uang sepersen pun " balas Nayara, menghisap rokoknya berkali-kali lantas menghembuskan keluar melalui hidung. Kemeja hitam dan jeans hitam kotornya sedikit basah terkena hujan.

Saat ini Nayara memang sedang duduk santai dibangku panjang didepan gedung terbengkalai. Tempat kumuh yang sering terjadi pembunuhan serta kejahatan berat lainnya, menjadi markas para penjahat yang dihempaskan takdir tanpa belas kasihan.

"Aku ada membeli dua nasi nasi padang, ambillah satu." Gilang meletakkan satu bungkus nasi diatas pangkuan Nayara. Sisanya ia buka untuk santapannya sendiri.

"Terimakasih," Ucap Nayara, lalu membuka bungkusan nasi tersebut, termpampanglah se-onggok nasi yang masih panas, sayur lodeh dan ayam goreng serta sambal. Tanpa mencuci tangan gadis dua puluh satu tahun itu mulai menyuap nasi dengan lahap seolah belum makan selama berhari-hari.

"Gimana sama tawaran pak Arwan tempo hari?" Tanya Gilang menghentikan kunyahan sejenak,

"Sudah aku kerjakan, " Sahut Nayara singkat. beberapa hari lalu Arwan, bandar narkoba memintanya mengantarkan benda terlarang itu ke rumah salah satu artis besar. bayarannya lumayan besar, lima juta untuk sekali pengantaran tentu saja dengan resiko besar pula.

"Nggak takut ketahuan polisi?" Gilang melirik wajah kotor Nayara, gadis cantik itu sangat dekil sekarang.

"Lebih takut lagi kalau dia lepas kendali. Aku butuh banyak uang untuk membuatnya tetap hidup." Sahut Nayara datar.

"Ayahmu-"

"Gajinya tidak cukup untuk biaya pengobatan, jangankan membeli banyak obat untuk mendapatkan sebutir obat saja gajinya tidak akan cukup," Dengus Nayara sembari memasukan suapan terakhir ke mulutnya. selesai makan ia menenggak minuman yang dibawa Gilang hingga sisa setengah, lalu membuang kertas bungkusan ke tempat sampah.

Gilang menatap prihatin, kisah Nayara cukup tragis, Gilang ingin sekali membantu tetapi ia pun tak punya apa-apa. Gilang hanya anak buangan yang sudah hidup di jalanan sejak kecil, untuk mendapatkan sesuap nasi saja seringkali beberapa bagian tubuhnya terluka.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 31 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Menulis LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang