C1

46 14 97
                                    

Gadis itu memandang layar ponselnya lama. Sebuah nama aplikasi yang tertera di sana membuatnya sedikit tersenyum. Namanya mengingatkan gadis itu pada komunitas yang sudah kurang lebih empat tahun dia ikuti.

Mengambil tangkapan layar, gadis itu mengirimkannya ke grup tersebut. Dia menjelaskan tentang aplikasi yang menarik; sebuah game multiplayer. Diimbuhi dengan ajakan memainkan aplikasi itu bersama. Tak lama pesan balasan muncul, persetujuan untuk memainkan aplikasi tersebut.

Langsung saja dia membuka aplikasi. Namun, alih-alih halaman utama, pandangannya malah mengabur dan hitam.

Saat sadar, gadis itu sedang duduk di sofa panjang. Ada beberapa orang di sana, saling memandang keheranan. Di antara mereka, ada satu gadis berambut hitam panjang dan seorang pemuda yang agaknya menanyakan berbagai macam pertanyaan padanya.

"Key?" Suara gadis itu bergema di ruangan luas tersebut. Key, yang sebelumnya memperhatikan sang pemuda menoleh padanya.

Matanya memandang atas kepala gadis itu lama, sebelum membuka suaranya. "Kak Icha?" Icha mengangguk mendengar ucapan Key. Gadis itu lantas bangkit dari sofa dan berjalan mendekati mereka.

"Kita di mana? Kok kalian di sini?" Key menggeleng, mengisyaratkan bahwa dia pun tak tahu kenapa mereka ada di sana.

"Nggak tau, Kak. Key tadi lagi sama Steven di ruang tamu, abis download aplikasi yang kakak kirim. Eh, tau-tau udah di sini aja. Ini Steven pun lagi mikir teori kok bisa keteleport gini," ujar Key. Gadis itu memandang Steven yang duduk di sampingnya.

Pemuda berkacamata itu memandang Icha sekilas, sebelum menggelengkan kepala. "Saya juga nggak tau, Teh. Masih terlalu minim informasi," ujarnya. Termenung sejenak, pemuda itu angkat suara. "Mungkin aja kita diculik kemudian dipindahkan ke sini. Tapi, kalau begitu bagaimana mungkin kita tiba-tiba pingsan saat mau main aplikasinya? Bisa jadi sih, ada orang yang bobol rumah."

"Tapi kalau gitu harusnya kita dengar suara nggak sih? Kan ruang tamu nggak jauh dari pintu masuk?" Key menimpali. Gadis itu terlihat memainkan jemarinya sebentar.

Steven mengangguk. "Maka dari itulah, Aku juga bingung bisa-bisanya nggak ada suara apapun bahkan saat pandangan kita tiba-tiba gelap. Aneh."

Mendengar obrolan sejoli itu Icha mengangguk paham. Setidaknya, ternyata bukan hanya dia sendiri yang mengalami hal serupa. Mereka masih asyik berbicara saat tiba-tiba cahaya terang muncul dari arah bawah. Ketiganya seketika tertelan dalam cahaya itu, dalam persekian detik mereka berada di tempat lain.

Pohon-pohon tinggi mengelilingi ketiganya. Suara binatang malam menjadi latar belakang. Di antara segala kebingungan itu, seseorang berdiri di depan mereka. Pria dengan topi tinggi di atas kepala. Tubuhnya yang kecil membuatnya hampir tenggelam di dalam jubah yang dia kenakan. Dengan mata tajam bernetra aquamarine, pria itu mendongak ke arah mereka.

"Dengarkan aku dan kalian akan mendapatkan apa yang kalian harapkan." Mulainya dengan suara berat yang tak cocok dengan penampilan. Pria itu mengetukkan tongkat yang dia pegang sekali, seketika sebuah layar hologram muncul di depan mata mereka.

"Perkenalan, namaku A. Jangan tanya kenapa kalian berada di sini, karena itu adalah kehendaknya yang tak dapat diganggu gugat.

"Alasan kalian berada di sini adalah untuk memberikannya akhir yang paling dia inginkan. Kalian, para manusia yang sudah dipilih secara hati-hati, harus bisa berkumpul dalam jangka waktu 30 hari. Jika gagal, ada harga yang harus kalian bayar, maka dari itu—"

"Sebentar, buat apa kami menurutimu?" Icha menyela perkataan A. Gadis itu memandang tajam sang manusia kerdil. "Ini nggak lucu, daripada aku melaporkanmu ke polisi, mending kamu kembalikan kami ke rumah."

A menggelengkan kepalanya, sebuah hembusan napas keluar dari bibirnya. "Nona, sebaiknya kamu mendengarkan penjelasanku daripada membuang waktu. Aku tak bisa lama-lama berada di sini," ucapnya tegas.

Icha hendak kembali membuka mulut saat Key secara tiba-tiba menarik tangan gadis itu kemudian menggeleng. Merasakan isyarat agar lebih baik mereka mendengarkan saja, gadis itu menghembuskan napas gusar dan mengangguk pelan.

Setelah melihat respon itu, A kembali membuka suara. "—maka dari itu, hendaklah kalian memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dan mengumpulkan tiap-tiap dari kalian secara lengkap." A memandang ketiganya lama. "Apa ada pertanyaan?"

"Jadi, kami hanya punya waktu 30 hari untuk mengumpulkan setiap orang. Tidakkah ada sebuah petunjuk untuk mengumpulkan mereka?" Steven angkat suara. Pemuda itu menelisik A lama. Pakaian yang dia kenakan, caranya berucap, bahkan ekspresi wajah yang dia keluarkan. Berharap menemukan setidaknya sedikit petunjuk atas situasi dari mereka.

A mengangguk. Pria itu lantas mengeluarkan tiga buah jam tangan dari saku kemejanya. Ketiganya menerima jam tangan itu, memandang benda tersebut dengan kebingungan.

"Jam itu bisa menjadi petunjuk kalian menemukan yang lainnya. Jika kalian mendekati anggota kalian, jam tangan itu akan menunjukkan titiknya."

"Terus, mereka semua ada di dalam hutan ini?" Icha bertanya, gadis itu memandang A sekilas, sebelum beralih pada lingkungan sekitar. Angin malam menyapa ketiganya kemudian, menyebarkan hawa dingin yang anehnya tak membuat mereka menggigil.

"Siapa bilang lokasinya hanya di hutan?" A balik bertanya. Tubuh pria itu semakin tembus pandang. Saat hanya tersisa kepalanya, dia tersenyum sembari berucap, "Dan harap berhati-hati, karena bukan hanya ada kalian di sini. Waspadalah pada setiap yang menghampiri."

Mereka terdiam. Mencerna ucapan terakhir A sebelum menghilang. Ada sebuah nada getir di suaranya, membuat rasa takut menghantui seketika.

Sekitar beberapa menit terlewati dan mereka masih ada di sana. Terlarut dalam lamunan masing-masing. Icha memandang dua temannya.

"Jadi, kita harus gimana sekarang?" Gadis itu kebingungan, raut wajah gadis itu keruh. Entah apa yang dia pikirkan, tetapi gadis itu memainkan kakinya sembari menunggu respon.

Steven, satu-satunya laki-laki di sana tak segera membalas. Pemuda itu memandang jam tangan yang ada di tangannya kemudian kepada Key dan berakhir kepada Icha.

"Kalau kita jalan semakin jauh ke dalam hutan, kayaknya bakal berbahaya, Teh. Ada baiknya kita tetap di sini sampai pagi," ucap pemuda itu.

"Tapi bukannya sama aja ya, Steven. Di sini juga berbahaya, siapa yang tau kalau tiba-tiba ada beruang atau harimau terus kita dihap! Gimana?" Key menimpali. Tangan yang semula memainkan jemarinya berubah menjadi mengkelopeki kuku.

Steven yang melihat tindakan gadis itu sontak menarik tangan Key. "Key, tenang. Nggak akan ada apa-apa, kok, lihat." Steven menjauhi kedua gadis itu, tangannya kemudian menepukkan tangannya di udara. Sebuah kilauan terlihat sebelum hilang persekian detik setelahnya. "Lihat, ada penghalang di sini. Jadi kita aman, setidaknya sekarang. Jadi, daripada berpikir soal binatang, buas, mari kita menelaah situasi saat ini."

----

A/N : Oke, saya takut ini OOC—

Come and Play Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang