C4

33 9 171
                                    

"Mungkin, ada baiknya kita tenang dulu." Pemuda itu memandang kedua rekannya lama. Meski kedua gadis yang bersamanya mengernyit, mereka mengangguk tak lama kemudian. Hal yang membuat dia menghela napas lega.

Atau napas gusar?

Sudah lama mereka terjebak di sini, memandang refleksi masing-masing.

"Alah, lama. Pecahin aja sekalian." Salah satu gadis di sana mendengus gusar, mendekat ke arah refleksinya dan melayangkan kepalan tangan kuat ke arah permukaan dingin tersebut. Suara retakan terdengar, disertai dengan cairan merah yang mengalir ke arah lantai.

"Chit, tenang. Liat tuh, tanganmu sampai berdarah," ujar pemuda itu kemudian kembali membuang napas.

Perempuan yang berada di sampingnya mendekati gadis bernama Chita, mengoyak sedikit baju panjang yang dia kenakan, gadis itu melilitkan potongan kain di telapak tangan Chita.

"Jangan gegabah," ujarnya disela tindakannya. Chita hanya tertawa, sedikit meringis karena luka yang ditekan kuat dengan kain.

"Maaf, Kak Tiara," ujarnya pelan, seakan berbisik kepada gadis di depan.

Tiara hanya mengangguk, gadis itu selesai membalut luka Chita. Meski raut wajahnya terlihat datar, gadis itu melirik sebentar ke arah kaca yang mengelilingi mereka.

"Aku nggak paham, kenapa kita tiba-tiba ada di sini," ujarnya. Masih tak memalingkan pandangan dari kaca panjang tersebut.

"Apalagi aku, Kak. Nggak lucu deh, masa tadi buntalan aneh ngasih misi yang aneh juga." Chita berkomentar kemudian, gadis itu melirik ke arah satu-satunya pemuda di antara mereka. "Menurutmu sendiri gimana, Do?"

Aldo terdiam. Dia tak segera menyuarakan pemikirannya. Agaknya, pemuda itu merasakan sesuatu yang aneh.

Memangnya, dari awal tak aneh?

"Nggak tau, Chit. Minim informasi," balas pemuda itu akhirnya, membuat Chita malah semakin frustasi.

"Tapi kita harus keluar dari sini, Do. Katanya akan ada hukuman kalau gagal."

Ya, siapa sih yang nggak frustrasi kalau diberitahu harus keluar ruangan itu dalam waktu satu hari?

"Tapi gimana? Tadi kita udah coba mutar-mutar kacanya, bahkan kamu sampai mukul kaca ini. Tapi nggak ada efek apa-apa. Kita terjebak." Tiara berucap, gadis itu tak tenang.

Seakan-akan mereka sedang diawasi. Atau, memang diawasi?

"Intinya, kita nggak bisa diam aja." Chita berkomentar. Gadis itu mulai mendekati kaca yang masih mulus, meraba permukaannya bahkan sampai menempelkan telinga. Namun, tak ada apapun di sana.

Semuanya hening, tentu saja.

Sampai sebuah suara membuat gadis itu menoleh ke arah belakang. Di arah jam enam, ada sebuah tangan yang tergantung, ujung jarinya berwarna hitam, kendati demikian bentuknya tak lazim; kurus dan melengkung bagaikan ranting pohon.

Ranting—tangan—itu mengarah ke punggung seseorang, mata Chita yang menyaksikannya membelalak, lengan gadis itu terulur,

Padahal jarak mereka dekat, tetapi kenapa gadis itu seakan tak bisa menjangkaunya dengan cepat?

Tangan kurus berhasil menjangkau targetnya, menarik orang itu menjauh dari mereka. Teriakannya menggema, sekian detik kemudian hilang tertelan riak kaca. Chita menyaksikan pemandangan itu lama, kemudian menoleh pada satu member yang tersisa selain dirinya.

"Do, itu ... Kak Tiara beneran ditarik, kan?" Chita bertanya. Jemarinya yang gemetaran menunjuk cermin yang menelan Tiara.

Aldo hanya mengangguk. Pemuda itu sedikit mendekat ke arah Chita, takut gadis itu juga mengalami hal yang serupa dengan Tiara.

Setelah kehilangan Tiara hanya keheningan yang menyambut mereka. Masih sama seperti sebelumnya, terjebak.

Aldo melirik ke arah jam tangan yang diberikan kepadanya, berdecak sebentar sebelum mendekati kaca lagi.

Tersisa setengah jam lagi, sudah mau tengah malam.

Aldo mengetuk-ngetuk kaca dengan tak sabaran, Chita hanya melirik pemuda itu sebelum suara nyaring membuatnya menoleh ke arah pemuda itu. Aldo pun demikian, dia terdiam sejenak, ikut melirik ke arah Chita sebelum mengetuk sisi yang mengeluarkan bunyi nyaring, kemudian menekan sisi itu. Bunyi kuat menggema, tanah yang mereka seakan bergetar.

Tanpa basa-basi Aldo mengelilingi kaca lagi, mengetuk satu persatu sisinya.

Kenapa dia nggak terpikirkan hal ini, ya?

Chita yang melihat gelagat temannya tak hanya diam. Gadis itu ikut melakukan hal yang sama. Selama beberapa menit mereka mengelilingi tiap kaca yang tinggi dan luas memerangkap mereka. Ada beberapa sisi yang sudah didorong ke dalam kaca, seakan-akan membentuk pola.

Ketika mereka berada di kaca terakhir, Aldo menekan sisi yang terasa kosong itu dengan cepat. Getaran yang sama kembali, kaca di hadapan mereka berangsur turun ke dalam tanah; hilang tak bersisa.

Keduanya disuguhkan dengan pemandangan lahan kosong. Tak ada apapun di sana, kecuali tanah tandus dan ranting pohon yang seperti melambai. Angin yang berhembus seakan membisikkan sebuah cerita, membuat Chita sedikit menggigil. Aldo yang berdiri tak jauh darinya memandang sekitar dalam diam.

Entah apa yang dia pikirkan.

"Do, kenapa?" Chita bertanya saat pemuda itu berjalan menjauh darinya.

Aldo sendiri hanya menoleh sejenak. "Nggak apa-apa, Chit. Cuman kagum aja, dari ruangan penuh kaca tiba-tiba ada di hutan mati," celetuknya. Pemuda itu mengambil sesuatu dari tanah, Chita hanya melihat tanpa banyak berbicara.

Seharusnya dia nggak ngambil itu.

"Kita jalan, yuk." Aldo berucap dan hendak pergi.

"Tapi kak Tiara ilang, loh. Nggak mungkin kita tinggalin kak Tiara." Perkataan Chita membuat Aldo mengangguk singkat.

"Iya, kak Tiara ilang. Makanya kita jalan sekarang, buat jemput kak Tiara."

"Jemput?" Chita memandang Aldo sedikit bingung, kendati demikian langkah gadis itu mendekati sang pemuda. "Ke mana? Kan kita nggak tau arah Kak Tiara dibawa sama tangan itu."

Aldo tak menjawab lagi, dia hanya menunjuk ke arah depan mereka, kemudian berjalan meninggalkan Chita.

Dia mengikuti ranting yang terjatuh tiap satu meter.

Meski kebingungan, Chita mengikuti Aldo. Mereka menelusuri tiap sisi hutan tandus tersebut. Bulan menyinari jalan keduanya, dan suara burung hantu terdengar entah dari mana. Keduanya berjalan cukup lama, tak banyak berbicara, agaknya terperangkap dalam pikiran masing-masing.

Atau, hanya takut untuk bertanya.

Aldo memandang tanah di depannya dengan tajam. Pemuda itu mengambil tiap ranting yang dia temukan, memenuhi tangannya dengan benda tersebut. Dia berhenti melangkah saat cahaya bulan tertelan dalam asap tebal, pemuda itu memandang ke depan lama.

Apa yang dia lihat?

"Kenapa berhenti?" Chita bertanya pada akhirnya. Gadis itu memandang Aldo heran.

Aldo sendiri tak segera menjawab, pemuda itu hanya melirik Chita kemudian menunjuk ke arah kabut tebal yang menghalangi di depan mereka.

"Kabutnya tebal. Bahaya kalau masuk ke sana," ujarnya.

"Bahaya? Kan itu cuman kabut." Chita membalas dengan keheranan. Tak lama, gadis itu terkekeh. "Kamu takut ya, Do?"

Aldo milirik Chita sekali lagi. "Mana mungkin Aldo takut sama kabut, Chit."

"Terus, kenapa kamu nggak mau ke sana?"

Saat gadis itu bertanya kabut yang menutupi bulan mulai menghilang, menampilkan cahayanya sekali lagi. Dari balik kabut di depan mereka, ada sebuah bayangan yang mendekat ke arah mereka.

TBC

Come and Play Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang