C2

34 11 112
                                    

Pemuda itu terdiam untuk cukup lama. Penjelasan dari bola bekel yang bisa bicara terdengar sangat tidak masuk akal.

Berkumpul dalam waktu 30 hari? Jangankan bertemu, keluar dari tempat inipun dia ragu.

Pemuda itu memandang dari balik jendela tempat mereka berada. Langit jingga dengan debu yang berterbangan, suara pekikan dan teriakan dari arah bawah—pemandangan yang membuat siapapun ingin segera kabur dari tempat bak neraka ini.

"Waktu kita tak banyak, Kemal." Kemal menoleh dari posisinya, memandang gadis berambut ikal dengan kaos putih berbalut jaket kulit. Pemuda itu mengangguk, membenarkan posisi kacamata yang sempat sedikit bergeser.

"Yah, katanya pelindung ini nggak bakal bertahan lama, kan Kak Tara? Saya tahu," balasnya kemudian berjalan mendekati Tara dan dua orang yang terlempar bersama dengannya.

Mereka saling pandang, menimbang-nimbang hal yang ingin disampaikan. Gadis lainnya yang memiliki rambut berwarna pink mengangkat tangan, membuat seluruh atensi teralihkan padanya.

"Saranku sih kita bikin barikade saja untuk sementara. Setelah itu kita bikin senjata dan keluar dari kamar ini," ucapnya.

Pemuda lainnya menggeleng singkat, sebelum mengeluarkan suaranya. "Kelamaan nggak sih, Hic? Mending kita ambil barang yang sekitarnya bisa jadi senjata terus keluar dari sini selagi pelindung itu masih ada."

"Tapi kita hanya akan bunuh diri kalau begitu, Riq. Ya enak kalau pelindungnya hilang pas kita udah di tempat aman. Kalau di tengah jalan, bagaimana? Kamu lihat, kan, bagaimana ganasnya sesuatu itu di jalan?"

Riq terdiam. Pemuda itu merasa apa yang gadis itu jelaskan benar adanya. Pada akhirnya dia hanya bisa diam, tenggelam dalam pemikiran lama.

Tara hanya bisa melihat mereka berdua kemudian mengalihkan pandangan pada Kemal. Pemuda itu hanya menghela napasnya kemudian membersihkan tenggorokan guna menarik atensi rekan-rekannya.

"Kalau gitu, kita bikin barikade dulu. Kak Tara sama Hicchan cari barang apapun yang bisa dijadikan senjata. Riq, kita dorong barang apapun yang bisa dijadikan tameng sementara."

Keempatnya segera menjalankan tugas masing-masing. Hicchan dan Tara mengambil berbagai macam peralatan dapur. Pisau, panci, bahkan irus. Meski sedikit kebingungan, tapi Hicchan hanya menggabungkan benda-benda berbahan logam itu ke satu tempat dan membawanya ke ruang tamu.

Tara membawa kuali dan berbagai peralatan makan lainnya. Gadis itu kemudian mengambil sebuah karet bungkus nasi dan mengikat rambutnya asal. Keduanya saling pandang, kemudian melihat Kemal dan Riq yang sudah selesai dengan tugasnya.

"Cuman ini?" tanya Riq. Pemuda itu kemudian menunjuk ke arah pintu di balik badannya. "Kamar itu udah?"

Tara menggeleng. "Belum," jawabnya singkat.

Tanpa basa-basi Riq membuka pintu tersebut. Pemuda itu masuk ke dalam kamar dan mengacak-acak isinya. Tak lama dia keluar dengan empat tongkat baseball dan sebuah panah yang dia lilitkan di pundak.

"Kayaknya yang punya kamar maniak baseball, sampai punya 4 tongkat kek gini," komentarnya. Riq kemudian memberikan satu persatu tongkat yang dia bawa.

Kemal memandang tongkat baseball itu lama, "Wih, ada tanda tangan Barry Bonds," komentarnya. Pemuda itu kemudian mengayun-ayunkan benda tersebut sebelum terkekeh. "Kalau patah sayang sih," lanjutnya.

Riq hanya mendengarkan saja. Atensi pemuda itu kemudian teralih pada benda-benda yang Tara dan Hicchan kumpulan. Tangannya mengambil kuali berikut sedang.

"Kayaknya kalau kita kasih tali di ujung-ujung kuping kuali bisa dipakai buat tameng sementara, deh." Riq segera melesat, mencari benda yang bisa merealisasikan usulnya. Setelah cukup lama mencari, akhirnya pemuda itu menemukannya.

Usai melakukan hal yang dia inginkan, Riq kembali ke ruang tengah. Pemuda itu memandang orang-orang yang bersamanya sejak berada di sini. "Ada yang bisa makai busur panah?" Pertanyaannya tak segera dibalas, melihat tak ada yang mengajukan diri Riq menghela napas. "Yaudah deh, aku aja yang pegang," gumamnya.

Keempatnya hanya terdiam untuk beberapa saat sebelum Kemal bergerak ke arah alat-alat makan dan mengambil garpu.

"Riq, mana tali tadi?" Pertanyaannya dibalas dengan Riq yang memberikan tali yang dia bawa. Langsung saja, Kemal melilitkan tiap ujung garpu ke tongkat baseball, membuat sisi-sisi tongkat memiliki ujung runcing.

Tak hanya sebatas itu, dia meminta semua tongkat yang lain. Melakukan hal yang sama dengan yang dirinya lakukan sebelumnya. Selagi Kemal melakukan hal tersebut, Tara kembali beranjak ke dapur. Gadis itu membuka kulkas, mengambil makanan apapun yang ada di dalam sana.

Hicchan mendekat, gadis itu memberikan beberapa ransel yang dirinya ambil dari kamar yang Riq masuki sebelumnya. Tanpa banyak bicara Tara memasukkan makanan itu ke tiap tas. Tak mengisi penuh, jaga-jaga barangkali akan memberatkan mereka nantinya.

Kemal selesai dengan hal yang dirinya lakukan. Pemuda itu melirik pada empat tas yang berisi beberapa makanan dan air.

Perasannya tak enak. Untuk kesekian kalinya pemuda itu memandang ke arah jendela besar di apartemen tersebut. Langit jingga masih berada di atas kepalanya, seakan-akan tak ingin pergi dan berganti dengan langit penuh bintang. Samar, pemuda itu masih mendengar suara pekikan dari arah belakang. Bulu kuduknya merinding, membayangkan harus berhadapan dengan sesuatu yang menyeramkan seperti itu.

"Jadi, kita akan menunggu di sini?" Tara bertanya. Gadis itu memandang pintu masuk yang sudah ditutupi dengan lemari dan sofa panjang.

Riq mengangguk. Pemuda itu tak berkata apa-apa kemudian. Dia malah memiliki terlentang di lantai dan memejamkan matanya.

"Kenapa tidur? Bukankah kita harus berjaga-jaga?" Hicchan bertanya. Pertanyaannya tak segera dijawab Riq, ada jeda tak menyenangkan di antara mereka.

"Menyimpan tenaga. Lebih baik kita bagi dua. Ada satu dua yang tidur, dan ada dua yang berjaga sampai pelindung hilang. Bangunkan aku sejam lagi." Perkataan Riq membuat mereka bertiga saling pandang. Seakan paham, Tara mendekati Riq, gadis itu tidur tak jauh darinya, meninggalkan Hicchan dan Kemal untuk berjaga.

Sejam kemudian Riq dan Tara bertukar posisi dengan kedua rekannya. Mereka berdua duduk tak jauh dari Kemal dan Hicchan, saling bersebelahan.

Tara memandang Riq lama, membuat pemuda itu melirik ke arahnya. "Apa?" tanyanya kemudian.

Mendengar pertanyaan pemuda itu Tara hanya menggeleng. "Caramu berbeda, ya," komentarnya. Riq menaikkan alisnya, membuat Tara menghembuskan napas. "Bukan apa-apa, abaikan saja," lanjutnya.

Merasa tak perlu bertanya lebih lanjut Riq hanya mengangguk. Waktu keduanya berjalan lambat kemudian. Sesekali Tara melirik pada jendela besar di ruang tengah. Kira-kira, bagaimana perasaan pemilu rumah ini saat melihat kondisi apartemennya. Apakah dia akan pingsan?

Tara sedikit terkekeh membayangkannya. Riq yang melihat tingkah Tara hanya diam.

Perasaannya tak enak.

Seakan ingin menjawab perasaannya, sebuah pukulan dari arah pintu memecah hening. Hicchan dan Kemal sontak terbangun. Mereka mengambil senjatanya dan mendekatkan kearah Riq dan Tara, membentuk formasi dan memandang pintu dengan tajam.

TBC

Come and Play Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang