C5

35 8 171
                                    

Ketiga pemuda itu merapatkan diri, membentuk pertahanan dengan punggung yang saling bertemu. Salah satu gadis menguatkan genggaman pada sebuah tongkat, sedangkan yang satunya lagi mengikat lebih kuat kain yang melingkari telapak tangannya dan tali sepatu yang sedang dia kenakan. Tangan kanannya memegang sebuah pisau lipat.

"Vin, udah selesai belum?" Gadis bernetra violet bertanya. Nadanya terdengar gemetaran, kendati demikian dia mencoba sedikit memainkan tongkatnya.

Pemuda yang dipanggil itu menoleh, helaian rambut cokelatnya sedikit mengenai matanya. "Bentar, Kak. Ini masih mikir jawabannya apa," balasnya singkat. Mata pemuda itu kemudian teralihkan pada tulisan yang ada di depan pintu. Otaknya berpikir keras, meski demikian dia tak menemukan jawaban apapun.

"Kayaknya kita harus cepat deh, Kak Vin. Itu makin dekat." Salah satu gadis yang sejak awal diam angkat suara. Matanya memandang jauh ke depan.

Ada sesuatu yang mendekat.

Yemi merapatkan tubuhnya ke arah rekan-rekannya. Netra gadis itu melotot.

Jujur saja, dia pasti ketakutan.

"Bukannya tadi kita jebak dia dengan tumpukan barang, Ndin? Masa udah mau ke sini aja sih?"

Gadis dengan gaya rambut ikat setengah yang telah acak-acakan tersebut menggeleng. "Nggak bakalan nahan dia lama, Kak Yem. Kamu taulah walau dia itu lambat, tapi daya tahannya kuat juga. Padahal aneh banget, 'kan posisi tubuhnya nggak bagus kek gitu." Andin membalas. Dia kemudian menoleh ke arah Karvin. "Cepetan dikit Vin," lanjutnya.

Sedikit kesal, pemuda itu berdecak. "Aelah, sabar, Ndin. Ini lagi mikir. Aku jadi lupa batas mana tadi mikirnya kan." Andin tertawa kala mendengar jawaban Karvin.

Dia tetap bisa tertawa seperti itu?

Suara grasak-grusuh terdengar, apa yang Andin takutkan terjadi. Cukup jauh di depan mereka, makhluk itu mendekat. Cara jalannya aneh, kedua tangan dan kakinya berada di lantai, sedangkan wajahnya yang setengah hancur dan kotor karena tumpukan barang berada dalam posisi terbalik daripada yang sewajarnya. Makhluk itu memekik, membuat ketiganya makin panik.

Yemi menegak ludah, napas gadis itu memburu saat makhluk itu malah memilih berhenti.

Kenapa dia tak bergerak? Bukankah mereka targetnya?

"Ndin, itu makhluk kenapa diam aja?" Yemi menyerukan keheranannya. Andin yang mengarahkan tinjunya di depan dada menggeleng pelan.

"Nggak tau, Kak. Andin pun bingung."

Karvin, di satu sisi masih terhanyut dalam teka-teki, pemuda itu agaknya tak menyadari bahwa musuh mereka sudah berada di depan mata.

"Aku benda yang bisa mengabadikan memorimu, bisa disimpan di mana saja, tapi mudah hilang kalau kamu alihkan pandangan dariku," gumam pemuda itu. Matanya melirik ke sekitar, masih tak menemukan jawaban apapun.

Berbanding terbalik dengannya yang masih damai, Andin dan Yemi mulai merasakan cemas saat makhluk itu—yang berjalan terbalik daripada manusia—mendekati mereka.

"Kak Yem, bersiap di belakang Ndin, ya. Ndin mau coba sleding dia dulu."

Yemi sedikit tak rela, gadis itu menggeleng. "Tapi, Ndin. Nanti kalau kamu kenapa-kenapa gimana?"

"Nggak papa, Kak. Andin bisa, kok." Andin tersenyum. "Yah, walau Andin nggak tau bisa nyeleding dia kuat atau nggak, sih," lanjutnya sembari terkekeh, membuat Yemi hendak protes tetapi kalah cepat daripada Andin yang berlari ke arahnya.

Gadis itu berlari ke makhluk tersebut, melihat mangsanya yang mendekat dia mempercepat lajunya, sang gadis memilih berlari ke arah samping makhluk tersebut, tangannya dia tumpukan pada tanah saat dirasa jarak mereka tak jauh, kakinya menjulur ke depan setelahnya, menggambar setengah lingkaran kasat mata.

Beruntungnya, serangan dia cepat dan kuat.

Makhluk itu tergeletak, dia memekik keras. Andin menutup sebelah telinganya, ada cairan hangat yang keluar sampai ke leher. Yemi yang melihat itu sedikit panik, dia hendak berlari ke arah Andin kala suara dari belakang membuatnya menoleh.

"Udah kebuka! Kalian ayo ke sini sekarang." Karvin sudah lebih dulu di balik pintu yang sebelumnya terkunci. Andin lantas segera memunggungi makhluk itu dan berlari ke arah Yemi.

Sungguh, keputusan yang salah.

Kaki Andin serasa ditarik, gadis itu langsung kehilangan keseimbangannya. Dia segera membalik badannya, berhadapan dengan wajah penuh belatung dan debu dari sang makhluk. Gigi runcing itu penuh air liur dan bau selokan keluar dari sana.

Yemi memekik dari arah belakangnya, gadis itu hendak berlari mendekat sebelum Andin berteriak. "Kak Karvin! Mending kakak bawa Kak Yem sekarang ke balik pintu. Biar Andin yang lawan ini perempuan kayang! Nanti Andin nyusul deh."

Perintah Andin langsung Karvin turuti. Pemuda itu menarik Yemi yang meronta, mereka melewati pintu tersebut. Meski demikian, Karvin tak segera berlari menjauh. Pemuda itu memilih tetap berdiri di sana sembari mencari benda apapun yang berserakan di sana.

Yemi yang masih kebingungan hanya memandang ke arah Andin. Pukulan Andin layangkan ke wajah sang makhluk, menghalau sang makhluk yang hendak mengoyak kulit miliknya. Kemudian dia menendang perut makhluk itu kuat membuatnya melayang menjauh dari atas tubuhnya.

Andin menghela napas lega, dia segera berdiri memandang ke tempat sang makhluk mendarat. Erangannya terdengar memilukan, kendati demikian berjalan cepat ke arahnya lagi. Kali ini, Andin tak lengah, gadis itu sudah menyiapkan pisau lipat kecilnya untuk melukai makhluk tersebut. Namun, belum juga dia berhadapan dengannya, sebuah tongkat dengan pisau tajam menancap di kepala sang makhluk. Membuat Andin terkena cipratan cairan hitam-hijau yang terlihat menjijikkan.

Yah, makhluk itu sudah tiada.

"Fyuh, untung sempat." Suara dari arah belakang membuat Andin menoleh. Karvin menepuk-nepuk tangannya pelan, pemuda itu menoleh ke arah Andin yang terkena cairan. "Andin, mending kamu lap dulu deh darahnya. Serem, tau."

"Ini kan gara-gara Kak Vin, masa lempar tombaknya pas udah dekat sama Andin. Jadi kena darahnya, deh."

Karvin terkekeh. "Kalau nggak kulempar tombaknya kamu udah keburu ded, deh. Harusnya bersyukur, loh. Untung Kak Yem ketemu pisaunya," ujar pemuda itu sembari melirik ke arah Yemi.

Yemi sendiri hanya diam dan mengambil sebuah kertas-kertas yang entah kenapa ada di sana. "Bersihin pakai ini aja bisa nggak ya?" ujarnya.

Andin menerima kertas-kertas tersebut, memindahkan warna hitam kehijauan di dalam kertas putih tersebut. "Makasih, Kak Yem," ujarnya disertai senyuman yang entah kenapa malah terlihat sedikit menyeramkan.

Yemi mengangguk. Gadis itu melirik ke arah telinga Andin. "Itu, telinga tadi kan sempat berdarah. Masih keluar kah darahnya?"

Sontak Andin meraba telinganya, dia tak merasakan apa-apa.

Aneh, padahal kan telinganya sebelumnya berdenging keras.

"Nggak, Kak. Nggak kerasa apa-apa, malah. Kayak nggak pernah berdarah sama sekali."

Ucapan Andin terdengar aneh, kendati demikian dua orang tersebut hanya mengangguk. Karvin melihat ke arah depannya, jauh di depan mereka, ada pintu serupa.

"Yah, tampaknya perjalanan masih jauh. Semoga aja kita nggak ketemu sama makhluk kayang lagi."

TBC

A/n : HUEBEUEBEBEBEBE, IH NARASI AKSINYA JELEK BANGET, NGGAK JELAS. MAAF YA😭😭😭😭🙏

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 28 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Come and Play Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang