•••
12 Februari 2021Arana melangkah dengan langkah berat di jalanan yang dulu begitu akrab baginya. Kota itu masih sama seperti yang ia ingat. Setelah perceraian orang tuanya, Arana tidak pernah terpikir bahwa ia akan kembali. Tetapi kali ini hanya untuk mengunjungi kakek yang sudah lama tidak ia jumpai.
Ketika Arana tiba dirumah kakeknya, dia disambut dengan senyuman dan pelukan hangat. Kakeknya terlihat lebih tua, tetapi senyumnya masih sama seperti yang selalu Arana kenang.
"Kamu tumbuh menjadi wanita yang tangguh, Arana," kata kakeknya sambil memandanginya dengan penuh kebanggaan.
Arana tersenyum hangat, "Ini karena kakek."
Arana menatapi wajah kakeknya, sedikit merasa bersalah karena tidak pernah mengunjunginya lagi semenjak kuliah diluar kota. Arana mengehela nafas, mungkin menghabiskan waktu lebih lama disini tidak ada salahnya.
Tidak terasa sudah seminggu menghabiskan waktu bersama kakeknya, dan menikmati kehidupan lamanya membuat Arana merindukan teman-teman lama. Arana memutuskan untuk menhubungi Fina dan Biya. Mereka berjanji untuk bertemu di kafe yang selalu menjadi tempat mereka berkumpul dulu.
Ketika Arana tiba di kafe, dia merasa sedikit gugup. Apakah Fina dan Biya masih akan sama seperti dulu? Apakah mereka akan menerima Arana kembali setelah lama tidak berkomunikasi intens?
Tak lama kemudian, Fina dan Biya tiba dengan senyuman yang hangat "Arana!" seru mereka sambil melompat untuk memeluk Arana.
Mereka duduk bersama di meja yang familiar, seperti memutar kembali waktu. Mereka tertawa mengingat kisah-kisah lucu dimasa lalu, saling berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing setelah lulus Sekolah."Kami senang kamu kembali. Kota ini memanggilmu, Arana." ucap Fina
Tidak bohong Arana sedikit tersentuh mendengarnya. Semuanya masih sama, mereka masih sama dan Arana yang saat bersama mereka juga masih sama.
Setelah malam yang penuh kenangan, Arana merasa berterima kasih. Dia telah menemukan kembali potongan hidupnya yang telah lama terlupakan, bersama dengan mereka memang selalu membawa Arana merasa kembali pulang.
Malam itu, setelah pulang dari bertemu dengan Fina dan Biya, membuat Arana mengingat seseorang yang selalu ada didalam benaknya. Armeda, ia tidak bisa mengusir pikiran tentangnya. Arana menyadari jika pertemuan singkatnya bersama Fina dan Biya di kafe beberapa waktu lalu telah membangkitkan nostalgia dan keinginan untuk menyelesaikan hal-hal yang belum terselesaikan baginya.
Arana duduk sendiri di ruang tamu dengan ponsel di tangannya. Dia merasa perlu untuk menghubungi Armeda, untuk membuka kembali jendela masa lalu yang telah lama tertutup. Dengan jantung yang berdebar, Arana mengetik pesan singkat untuk Armeda.
"Hai, Armeda. Aku pikir kita mungkin bisa bertemu lagi untuk bicara lebih banyak?"
Setelah mengirim pesan itu Arana tidak bisa duduk diam dengan tenang, ia bolak-balik mengelilingi ruang tamu kakeknya hingga menuju semua ruangan dirumah kakeknya.
Beberapa menit kemudian, balasan datang. "Tentu, Arana. Aku juga berpikir tentang itu. Bertemu di kafe lusa, ya."
Mendapat jawaban itu, Arana merasa campuran antara lega dan gugup. Ini adalah langkah besar baginya—mengajak Armeda bertemu lagi setelah begitu lama. Tapi dia merasa perlu untuk menyelesaikan apa yang telah terjadi di antara mereka. Karena perpisahan mereka dulu membuat Arana merasa urusan mereka belum sepenuhnya selesai.
Lusa itu datang lebih cepat dari yang diharapkan. Arana tiba lebih awal di kafe, duduk di sudut yang nyaman, menunggu dengan hati yang berdebar. Ketika Armeda masuk, Arana merasa kelegaan melihatnya, namun juga tegang.
Mereka duduk berhadapan, mata mereka saling bertemu dengan rasa nostalgia di dalamnya. Arana memandangi Armeda, tidak ada yang berubah, hanya saja ia bertambah dewasa.
"Hai, Arana." sapa Armeda lebih dulu.
"Hai, Armeda."
Percakapan dimulai dengan canggung, tetapi perlahan mengalir dengan lancar. Mereka saling bertanya kabar satu sama lain.
"Gimana kuliahnya disana? Baik?" tanya Armeda lebih dulu membuka obrolan.
Mendengar pertanyaanya membuat hatiku sedikit terluka, mengingat dulu kita mendaftar di universitas yang sama. Namun, hanya aku yang diterima.
"Baik, kamu?" sedikit yang aku tahu, Armeda berkuliah di universitas swasta di Yogyakarta, ternyata dia juga menjauh dari kota ini. Salah satu kesamaan diantara mereka yang Arana suka. Sifat melarikan diri mereka dari hal yang menyakitkan itu sama.
Arana menatap kopi didepannya, tampak tak menarik karena ia benar-benar gugup. Berhadapan dengan Armeda tidak pernah mudah baginya setelah perpisahan mereka.
Arana akhirnya memberanikan diri untuk mengungkapkan apa yang menganggu perasaannya selama ini.
"Armeda, sebenarnya aku masih sering memikirkan tentang kita dulu. Aku ingin mengatakan bahwa aku senang dan berterimakasih pernah mengenalmu, meskipun aku tidak pernah bisa menyampaikan perasaanku dengan baik dulu. Aku merasa bersalah."
Armeda tersenyum lembut. "Arana, tidak perlu merasa bersalah. Waktunya mungkin belum tepat dulu."
Arana tersenyum tipis, hatinya sedikit sedih mendengar jawaban singkat dari Armeda, wajar saja sepertinya Armeda memang sudah melupakan tentang mereka. Arana terlalu berharap karena melihat kegugupan Armeda sebagai lampu hijau untuknya. Ternyata tidak, semua memang sudah usai.
Daripada mengatakan bahwa Arana masih sering memikirkan Armeda selama bertahun-tahun, Arana memilih untuk mengalihkan dengan
melanjutkan untuk membicarakan tentang perjalanan hidup mereka, mimpi-mimpi, dan pencapaian masing-masing.Arana memeperhatikan Armeda yang menatap jam di ponselnya, ternyata Armeda hari ini juga harus balik ke Yogyakarta, tidak bisa lama-lama.
"Sudah waktunya balik?" tanya Arana inisiatif,
Armeda menganggukan kepalanya perlahan, ia tersenyum dan memasang wajah melas
"Maaf Arana, karena aku harus berangkat."
"Justru aku berterimakasih, karena kamu masih nyempetin waktu buat ketemu." sahut Arana tidak enak.
Armeda menyesap kopinya, dan menatap Arana dalam seperti tatapan yang selalu Arana rindukan.
"Senang bertemu denganmu kembali, Arana."
"Hubungi aku lagi jika kamu butuh teman, aku selalu bersedia, kok." ucap Armeda,
Arana tertawa tipis, "Kamu juga, ya."
Mereka berdua berjalan keluar dari kafe, Armeda melambaikan tangannya pergi meninggalkan Arana yang masih termenung didepan Kafe.
Menurut Arana Pertemuan itu berakhir dengan hangat. Mereka merencanakan untuk tetap menjaga kontak, sebagai teman yang dewasa dan menghormati satu sama lain. Meskipun takdir membawa mereka ke arah yang berbeda. Setelah pulang, Arana memutuskan memesan tiket untuk kembali meninggalkan kota ini lagi.
Sial, bagaimana aku bisa lega jika ternyata perasaanku masih sama seperti ini.