***Dira berjalan dengan langkah tergesanya, mulutnya bersenandung entah menyanyikan lagu apa. Sekarang jam 8 malam, ia sudah selesai dengan pekerjaannya.
Waktunya mampir ke Cafe langganannya sebelum ia pulang ke rumah. Gadis berusia 18 tahun yang memiliki tubuh mungil itu berlari kecil, menggeser pintu kaca Cafe dengan grasak-grusuk.
Mengambil air mineral dari kulkas, dan duduk di bangku kotak, lalu menenggak habis air itu, tak perduli dengan tatapan jengkel dari kedua barista di sana. Mereka, Rafael dan Arka sudah terbiasa.
"Kebiasaan lu, Cil. Seenak jidat ngambil minuman, ujung-ujungnya gue yang bayar." Celetuk Rafael, yang sekarang berkacak pinggang.
Dira tertawa kecil. "Kan bentar lagi Kakak gajian. Om, mau redvelvet satu, ya! Kak Pael yang bayar." Sahutnya enteng, diakhiri permintaan manis dengan jari telunjuknya mengacung tinggi.
Arka menggeleng jengah. "Gak, udah mau tutup." Jawabnya.
Rafael mengusak rambut Dira. "Suka banget ngerepotin orang, sih. Ngeselin." Gemasnya.
Dira mencebik tak suka. "Aku bayar, kok. Nih, liat! Aku habis gajian." Ujarnya sombong, menunjukkan isi dompetnya.
Rafael yang entah kapan sudah duduk di hadapan Dira terkekeh saja. "Gajian doang, tapi gak ngajak jajan." Ledek Rafael.
Dira tertawa mengejek, "Ini aku mau jajan di sini. Cepet buatin redvelvet satu. Kalau gak aku dadahin, nih, CCTVnya."
Arka mengela napas pasrah lalu membuat minuman yang dipesan. Diam-diam Rafael melirik Dira yang sudah anteng menatap ponsel, menscrool sosial medianya dengan senyum tipis.
Dengan iseng Rafael mengambil ponsel itu, dan menariknya tinggi-tinggi. Membuat Dira mendengus, ini sering terjadi.
"Kak, jangan jail dong."
Rafael tertawa puas, dan menaruh ponsel milik Dira di kantung hoodienya. Membuat gadis itu menggaruk kepala bingung.
"Terserah." Parahnya.
Dira melihat jam tangan hitam yang melingkar indah di tangan kirinya, jam sudah menunjukkan pukul setengah 9. Sebentar lagi Cafe ini akan tutup.
Dira bangkit dan membalikkan tulisan 'Open' ke 'Close', Arka melihat itu, ia tersenyum tipis, gadis mungil itu ada saja tingkahnya.
Sedangkan Rafael menatap sinis rekan kerjanya.
Arka datang membawakan Ice Redvelvet, dan menaruhnya tepat di depan wajah Dira."Ini, Nyonya. Mana uangnya?"
Dira tersenyum licik, menusuk tengah minuman itu dengan sedotan, dan menyedotnya kalem. Jari telunjuknya menuju pintu kaca. "Maaf, Prajurit. Tempat ini sudah tutup, tandanya ini gratis."
Keduanya menganga tak percaya, lagi-lagi mereka dijebak oleh tupai kecil ini. Baru Arka hendak menyela, Rafael menengok ke arahnya, "Gak apa-apa, itung aja jatah kopi gue hari ini."
Arka berdecih.
***
Cafe sudah ditutup, ruko-ruko lain pun sudah hampir semuanya tutup. Kini Dira sedang duduk sambil menyedot Ice Redvelvet gratisnya di depan Cafe yang sudah tutup itu.
Sebenarnya ini hari terakhirnya bekerja di antara ruko-ruko ini. Dia terpaksa berhenti, karena atasannya yang kurang ajar karena memberhentikannya dengan sepihak dan tak memberi tahu alasan yang tepat. Dira merasa jadi pegawai tersakiti.
Meskipun hanya pedagang makanan, setidaknya keputusan sepihak itu tidak bisa dibenarkan. Seharusnya ada kesetujuan dari dua belah pihak, apalagi Dira selama bekerja baik-baik saja. Rajin, ramah, cekatan, dan selalu bertingkah sopan.
Motor besar berwarna merah itu, berhenti tepat di depan Dira. Dira mendongakkan kepalanya, "Lah, belum pulang, Kak?"
Rafael mematikan motornya dan duduk di atas motor. "Seharusnya gue yang nanya itu ke lo." Sahut laki-laki itu, dengan usil menoyor dahi Dira.
Dira tersenyum tipis, "Kebiasaan! Kepala aku difitrahin tau!" berlagak merajuk.
Rafael memasang tampang jijiknya. Tak lama ia menyalakan motornya dan melirik Dira yang masih duduk di kursi tinggi dengan kaki yang diayun-ayunkan.
Gemas setengah mati rasanya melihat gadis pendek pemilik pipi chubby itu bertingkah demi kian. "Ayo, cil."
Dira menaikkan satu alisnya bingung, "Ke mana, Kak?" Tanyanya heran.
Rafael menepuk jok belakangnya. "Gue anter balik."
Yang ditawari langsung berdiri tegak, sumpah demi apapun Dira tak pernah menyangka jika Rafael akan mengantarnya pulang. Bahkan, dalam tidur pun Dira tak pernah memimpikan itu.
Dira memang ada setitik perasaan suka dengan lelaki itu. Tapi catat ya, hanya setitik . Itu pun karena Rafael laki-laki yang tampan dan royal, walaupun kesopanannya jauh di atas rata-rata, rasa suka Dira tak pernah menjurus untuk lebih dekat dari teman.
Karena belum melangkah saja Dira sudah insecure duluan, dari penampilan saja Dira masih gembel, ponsel miliknya model kuno, bahkan tas saja ia masih menggunakan ransel sekolahnya dulu untuk bekerja.
Siapa yang suka dengan gadis lusuh seperti Dira? Jika pun mereka perduli, mungkin karena mereka kasihan atau iba. Tak apa, yang penting Dira tak pernah menyusahkan siapapun.
"Malah bengong kayak orang bego."
Dira langsung lompat dan duduk di belakang Rafael. Insecurenya nanti saja, sekarang ia harus segera pulang dan memikirkan hari esok lagi.
"Hm .... Cil."
Motor perlahan maju, Dira memundurkan duduknya tak minat mengambil kesempatan satu motor dengan cogan.
"Hah?" Sahut Dira teriak.
Rafael terkekeh, sepanjang perjalanan hidupnya menjadi bujangan dan motor selesai cicilan, ini kali pertamanya ia membonceng perempuan. Dan lagi perempuan ini jauh sekali dari tipikalnya.
Dulu, ia selalu pemilih dalam apapun. Tapi, melihat bocah rusuh ini sejak pertama kali membuatnya gemas sendiri ingin menikahi. Eh, canda.
"Ban belakang gue agak kempes, lo duduknya jangan mundur-mundur."
Menurut, Dira pun memajukan bokongnya. Agak menempel dengan tas punggung yang Rafael bawa. Jika dilihat-lihat style mereka bekerja mirip sekali. Pakaian seadanya dan tas punggung. Bedanya Rafael pakai sepatu, kalau Dira pakai kaus kaki dan sendal slop.
Obrolan ringan tak terasa membawa keduanya sampai ke tempat tujuan. Rafael berhenti tepat di depan rumah bercat biru dengan gerbang hitam sebatas dada.
"Makasih, Kak."
Rafael tersenyum, namun ketika ia hendak memutar balik motornya namanya dipanggil oleh gadis di sampingnya.
"Kenapa, Cil?" tanya Rafael bingung. Ia mematikan mesin motornya, dan duduk menatap Dira yang hanya mematung.
Terlihat gadis itu menghela napasnya. "Makasih banyak ya, Kak, buat semuanya. Nanti ke depannya aku sering main ke tempat Kakak, ya." ujarnya dengan kepala tertunduk.
Jujur saja, selama 18 tahun ia hidup, dan pacaran ala-ala cinta monyet. Baru kali ini ia merasa sedih ketika hendak pergi dari laki-laki yang sudah begitu dekat dengannya. Apalagi laki-laki itu begitu baik.
Rafael bingung. Bingung setengah mati ketika Dira berbicara ngelantur begitu. "Maksudnya apa, sih? 'Kan emang tiap hari lo ke Cafe terus ngerusuhin gue sama Arka. Ngapa tiba-tiba ngomong begitu, sih?" tanyanya kesal.
"Aku dipecat Bu Bos, kak. Ini hari terakhir aku kerja. Jadi, yaa .... besok aku gak bakal nongol lagi. Aku masuk dulu, ya!"
Laki-laki yang ditinggal masuk itu menganga tak percaya. Apa ia tidak salah dengar?
Bahkan belum menyatakan perasaannya, bung!
•••
Chapter 01.
16 july 2024.Baru apdet, tolong ramaikan. Kalau ramai dapet hadiah💋
KAMU SEDANG MEMBACA
PELUK
Teen FictionRafael harap dia bisa bertemu lagi dengan Dira. Walaupun kesempatan itu hanya akan datang sekali. Rafael ingin sekali meluapkan segala isi hatinya, menjelaskan tentang rindu yang semakin hari semakin membelenggu. Rafael ingin menjelaskan bahwa dia...