Setelah beberapa hari perjalanan yang melelahkan dan penuh refleksi, Aksara tiba di sebuah kota yang ramai. Kota ini dikenal dengan arsitektur kuno dan kafe-kafe bohemian yang tersebar di setiap sudut jalan. Penasaran, Aksara memutuskan untuk menjelajah dan menemukan tempat untuk bersantai sejenak.
Dia menemukan sebuah kafe kecil yang terlihat biasa, namun menarik perhatiannya karena suasananya yang tenang. Dengan tembok bata merah dan lampu redup, kafe ini memancarkan kehangatan yang membuat Aksara merasa nyaman. Dia memesan secangkir kopi dan memilih tempat duduk di sudut, mengeluarkan jurnalnya dan mulai menulis.Saat sedang asyik menulis, seorang pria tua masuk ke kafe. Dia mengenakan topi tua dan jaket lusuh, dengan janggut putih yang menambah kesan bijaksana. Pria itu terlihat seperti pelanggan tetap, karena para pelayan menyapanya dengan akrab. Setelah memesan secangkir teh, pria tua itu melihat ke arah Aksara dan tersenyum. Tanpa ragu, dia mendekati meja Aksara dan meminta izin untuk duduk.“Boleh saya duduk di sini?” tanyanya dengan suara lembut namun berwibawa.Aksara mengangguk, meskipun merasa sedikit canggung. “Tentu, silakan.”Pria tua itu duduk dan memperkenalkan dirinya. “Nama saya Karta. Saya melihat kamu sedang menulis dengan penuh semangat. Apakah kamu seorang penulis?”
Aksara tersenyum tipis. “Bukan, hanya mencoba menulis jurnal perjalanan. Saya sedang mencari makna hidup setelah kehilangan sahabat saya.”
Karta mengangguk dengan pengertian. “Kehilangan memang selalu sulit. Tapi perjalanan bisa menjadi guru yang baik. Apa yang kamu temukan sejauh ini?”
Aksara bercerita tentang perasaannya yang campur aduk, tentang kesedihan yang tak kunjung hilang meskipun dia telah berusaha menemukan jawaban melalui perjalanan. Karta mendengarkan dengan seksama, memberikan anggukan dan senyuman yang menenangkan.
“Kadang-kadang,” kata Karta setelah Aksara selesai bercerita, “jawaban yang kita cari tidak ditemukan di luar sana, tetapi di dalam diri kita sendiri. Perjalanan adalah alat untuk membuka pikiran dan hati kita, tetapi introspeksi adalah kunci untuk menemukan makna yang lebih dalam.”
Aksara mengerutkan kening. “Bagaimana caranya? Bagaimana saya bisa menemukan makna hidup dengan melihat ke dalam diri sendiri?”
Karta tersenyum dan meminum tehnya dengan tenang sebelum menjawab. “Setiap orang memiliki cara yang berbeda. Namun, ada beberapa pertanyaan mendasar yang bisa kita tanyakan pada diri kita sendiri: Apa yang benar-benar penting bagi kita? Apa yang kita ingin capai dalam hidup ini? Dan, apa yang membuat kita merasa hidup?”
Aksara merenungkan kata-kata Karta. Pertanyaan-pertanyaan itu terasa sederhana namun sangat dalam. “Saya rasa saya belum pernah benar-benar memikirkannya dengan serius. Saya terlalu fokus pada kehilangan dan kesedihan.”
“Itu wajar,” kata Karta. “Kehilangan bisa mengaburkan pandangan kita terhadap hal-hal yang sebenarnya penting. Tapi ingat, makna hidup bukanlah sesuatu yang kita temukan sekali dan selesai. Itu adalah perjalanan yang terus menerus.”
Aksara merasa sedikit lega mendengar kata-kata Karta. Dia merasa seperti telah menemukan seseorang yang memahami perjuangannya. Mereka terus berbicara selama berjam-jam, membahas berbagai topik mulai dari filosofi kehidupan hingga pengalaman pribadi. Karta berbagi banyak kisah dari hidupnya, yang penuh dengan petualangan dan refleksi.
“Kamu tahu,” kata Karta pada satu titik, “hidup ini penuh dengan pertanyaan tanpa jawaban. Dan tidak apa-apa. Justru dalam pencarian jawaban-jawaban itu, kita menemukan makna.”
Aksara mengangguk. “Mungkin kamu benar. Mungkin saya perlu lebih terbuka terhadap perjalanan ini, dan berhenti mencari jawaban yang pasti.”
Karta tersenyum. “Tepat sekali. Kadang-kadang, yang kita butuhkan bukanlah jawaban, tetapi cara untuk menerima ketidakpastian.”
Malam semakin larut, dan kafe mulai sepi. Aksara merasa seperti telah menemukan mentor dalam sosok Karta. Sebelum mereka berpisah, Karta memberikan sebuah buku kecil kepada Aksara. “Ini adalah buku catatan saya. Mungkin kamu bisa menemukan inspirasi dari catatan-catatan saya selama perjalanan.”
Aksara menerima buku itu dengan rasa terima kasih. “Terima kasih, Karta. Saya akan membaca ini dengan penuh perhatian.”
Karta menepuk bahu Aksara dengan lembut. “Semoga perjalananmu membawa kedamaian dan pemahaman yang kamu cari. Ingat, makna hidup bukanlah tujuan akhir, tetapi proses yang kita jalani setiap hari.”
Aksara tersenyum. “Saya akan mengingatnya. Terima kasih, Karta.”
Setelah pertemuan itu, Aksara merasa semangatnya kembali. Dia memiliki perspektif baru tentang perjalanannya dan mulai melihat setiap pengalaman sebagai bagian dari pencarian makna hidup yang lebih besar. Dengan buku catatan Karta di tangannya, dia melanjutkan perjalanannya, siap menghadapi tantangan dan pelajaran yang menunggu di depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanda Tanya Kehidupan
Aktuelle Literatur"Tanda Tanya Kehidupan" mengikuti Aksara, seorang backpacker muda yang berjuang menemukan makna hidup setelah kehilangan sahabat terdekat. Dalam pencariannya, Aksara melakukan perjalanan solo ke berbagai negara, berharap menemukan jawaban atas perta...