1.

116 11 0
                                    

"Sayang, berhenti bermain handphone dan bantu ibu menyiapkan makan malam!" teriak seorang wanita paruh baya dari lantai 1. Suara yang begitu nyaring hingga ke lantai 2 menandakan dirinya sudah biasa bersuara lantang di dalam rumah.

"Iya Bu, sebentar." jawab anak perempuan berumur beralan. Mengambil langkah malas kakinya berlari kecil ke bawah, takut akan terkena omelan kalau sampai lebih lama. Disana, tangan ibunya sedang mengenakan sarung tangan tebal untuk memasukan seloyang lasagna ke dalam oven.

Si gadis kecil menarik kursi, tangannya cermat mengaduk adonan muffin coklat di atas meja. "Bu?" panggil si anak.

Sang ibu hanya menjawab dengan deheman pendek, tumpukan cucian piring kotor membuatnya cukup sibuk untuk menanggapi dengan benar.

"Apa benar manusia dulu jumlahnya ada miliaran?" lanjut sang anak, kali ini perkataannya tak mendapat jawaban apapun. "Bagaimana bisa jumlahnya sebanyak itu? Bukankah hanya dengan berdiri saja kita akan saling berhimpitan?"

"Cepat selesaikan adonan itu dan masukan ke dalam wadah. Ayah akan pulang sebentar lagi." 

"Dan apa ibu tau, katanya dulu banyak sekali wilayah yang dibagi menjadi negara. Lalu kita bisa pergi ke negara-negara itu secara bebas naik pewasat. Mengagumkan bukan!" gadis ini berkata dengana binar di matanya, meski tak mendapat respon bagus. 

Ini bukan pertama kali, dia memang senang sekali mencari cerita kehidupan para manusia di abad 21 jadi ibunya hanya mendengarkan sekenanya. Dia sendiri juga tidak tau cerita lampau itu. Jika dipikir kehidupan damai dengan bepergian jauh antar benua, malam hari yang tenang dan aktivitas kota tetap ramai, tidak ada spesies hidup selain manusia, hewan dan tanaman, lalu tidak ada tembok besar yang membatasi tiap wilayah, semua itu hanya seperti dongeng belaka.

Krek- pintu depan terbuka, lelaki paruh baya masuk membawa seplastik jeruk segar di tangan. "Apa yang putri Ayah sedang bicarakan sampai suaranya terdengar dari depan hmm?" plastik jeruk di letakan diatas meja dapur.

"Wah jeruk keprok, kelihatannya manis." meninggalkan adonan muffin setengah jadi, sebuah daging jeruk sudah berpindah ke dalam mulut.

"Mampir ke toko buah dulu?" tanya si istri, membantu membukakan jaket yang melekat dan menggantungnya di dinding.

Menarik kursi disamping anaknya, si Ayah duduk dan menghabiskan segelas air dingin yang baru saja di ambilkan. Menjaga supermarket miliknya dari pagi menjadi kegiatan cukup melelahkan. "Seorang Theron memberiku secara percuma, kami tidak sengaja bertemu di toko buah. Katanya sebagai balas budi karena aku sering memberi mereka diskon saat belanja."

"Theron? Siapa yang Ayah temui?" gadis ini melompat ke atas meja, wajahnya berhadapan dengan milik sang ayah dari jarak dekat.

"Kau bisa jatuh putriku, duduk yang benar." setelah ditegur anak gadisnya kembali duduk di kursi. Tapi matanya tak sedikitpun berpaling. "Aku bertemu Theron Seungkwan, kami mengobrol sebentar lalu dia keluar sambil berkata ke penjual kalau akan membayar punyaku juga."

"Keren! Aku juga ingin bisa mengobrol dengan mereka dan melihat Manna."

"Para Theron adalah orang-orang sibuk sayang, mereka tidak ada waktu meladeni gadis kecil sepertimu. Lalu para Manna bukan hewan peliharaan yang bisa diajak bermain dengan bebas. Jadi lebih baik kau segera memasukan adonan muffin ke dalam mangkuk kertas agar kita bisa langsung memanggangnya." jari telunjuk si Ibu mencolek adonan muffin ke hidung putrinya.

"Ah ibu membuatku kotor," gadis itu mengambil tissue untuk mengelap wajah sambil mendumel. "Jika besar nanti aku juga mau menjadi orang hebat seperti mereka."

Pasangan suami istri itu saling lihat. Tangan kasar sang Ayah membelai surai panjang anaknya. "Tidak ada yang tau bagaimana caranya menjadi Theron sayang, bahkan identitas mereka sangat sulit ditemukan seolah sebelumnya orang-orang itu memang tak pernah ada di dunia." ucapnya lembut.

SEKTOR 17Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang