6: Not Princess

2 0 0
                                    

AXEL POV

Pukul 11 malam dan aku masih sibuk dengan semua pekerjaanku.

"Huftt, rupanya kau benar masih di sini." Tentu saja suara Damar yang tidak ingin sekali aku dengar.

"Lihat ini!" Damar melemparkan HP-nya ke arahku hingga aku refleks mengambilnya. Aku pun menatapnya dengan kesal. Bibirku sudah terbuka lebar ingin memarahinya, tapi Damar langsung duduk di atas meja kerjaku.

"Kau baca itu! Jika tidak, tamat riwayatmu!" kata Damar menggerakkan dagunya ke arah HP yang sedang aku pegang.

Sekali lagi, aku menatapnya keal, tapi aku tidak berkomentar apapun sampai memutuskan untuk menyalakan HP Damar serta membaca sebuah pesan yang Damar maksud.

Aldi. Ya, pesan itu dari Aldi, kakak laki-laki dari istri bodohku yang tadi siang mengacau di sini.

From: Aldi Setyo Tanubrata

Suruh bosmu ke rumahku! Atau aku cabut semua dana yang aku berikan dan menyeret kalian ke meja hijau!"

Aku pun melempar HP milik Damar ke pemiliknya dan menghempaskan punggungku di kursi kerjaku. Sebuah helaan napas yang panjang keluar dari mulutku membuat Damar berdecak ke arahku.

"Kau benar-benar tidak tahu tempatmu sekarang. Kau tahu sedang memanfaatkan istrimu, tapi tidak bisa memperlakukannya dengan baik. Seharusnya kau-"

"Keluar!!" teriakku. Ini bukan waktunya mendebat. Aku memang tidak punya pilihan lain lagi selain berjalan di atas takdirku yang sangat memuakkan ini, tapi jika saja keajaiban itu datang, aku ingin sekali kembali ke waktu di mana kami menyepakati perjanjian ini. Aku ingin sekali menolak perjanjian sialan ini!!

Kukeluarkan HP milikku untuk menghubungi Pak Jani dan baru sadar ada banyak sekali panggilan tidak terjawab dari Aldi dan juga nomer rumah. Aku tahu, ini pasti Bi Tikah yang menghubungiku.

"Halo Den Axel, Non Loli-"

"Bapak di mana? Antar saya ke rumah Loli sekarang juga," ucapku memotong kata-kata Pak Jani.

"B-baik, Pak," ucapnya dan aku pun merapikan semua berkasku tanpa berniat menyentuhnya atau membawanya pulang. Moodku benar-benar buruk sekali.

Aku segera bangkit dari dudukku. Menendang bangku dengan begitu emosi dan berjalan keluar dari ruangan menuju rumah yang tidak pernah ingin aku datangi seumur hidupku.

.........................

Rumahnya begitu mewah, lebih mewah daripada rumahku. Aku tahu keluarga ini kaya raya, tapi pasti rasanya seperti sebuah kutukan karena memiliki anak perempuan yang harusnya menjadi tuan putri cerdas hanyalah wanita bodoh yang tidak bisa diandalkan. Hidup memang tidak adil, wanita bodoh ini bisa mendapatkan segalanya. Bahkan status menikah dengan pria tampan serta cerdas sepertiku. Mereka bisa membelinya dengan uang sementara aku?

"Di mana dia?" tanyaku pada Aldi yang tengah meminum anggurnya di ruang santai. Pria itu asyik membaca buku dengan kaki yang sedang dipijat oleh pembantunya.

Aldi menurunkan kacamata bacanya. Aku tidak begitu suka dengan gayanya yang selalu meremehkanku itu. Lalu pria itu meminta pembantunya untuk pergi hingga menyisakan kami berdua.

Pria itu berdiri dari duduknya dan berjalan perlahan menghampiriku. Tangannya dia masukkan ke dalam celananya dan terkekeh di depan wajahku.

"Dia?" tanyanya dengan garis bibir yang dia angkat ke atas. "Berani sekali kau menyebut adikku dengan kata "dia" setelah menikah," ucap Aldi dan-

BUG! Sebuah pukulan yang tidak aku duga cukup keras membuat ujung bibirku sobek. Lalu Aldi menarik kerahku seraya berjalan entah kemana hingga kami berhenti di depan pintu besi berwarna emas. Pria itu membuka pintu itu dan aku bisa melihat seseorang yang tertidur di pinggir makam berkeramik tanpa alas apapun.

"Katakan padaku! Apa yang kau lakukan padanya, hah?"

"D-dia...,"

"Aku mempercayakanmu bukan untuk membuatnya seperti ini. Sekarang bawa dia pulang! Saat ini aku sedang tidak mood untuk mematahkan kakimu agar tidak bisa jalan,"ucap Aldi lalu pergi begitu saja meninggalkanku. Aku menghela napas panjang sambil menyentuh pinggir bibirku.

Lolita, apa yang dia lakukan di makam ayahnya? Aku tidak habis pikir kalau wanita itu sebegitu frustasinya ketika aku tak seberapa memarahinya.

"Lolita," aku menyentuh pipinya yang terasa dingin sekali. Kemudian beralih pada tangan dan kakinya. Bajunya pun terasa dingin sekali seperti habis basah kuyup, kehujanan.

"Ayo kita pulang," kataku segera mengangkat tubuhnya seraya memperhatikan wajahnya.

Wajah polosnya dan mata bengkaknya, entah kenapa membuatku merasa bersalah. Entah apa yang merasukiku, tapi aku merasa seperti pria yang sangat jahat karena sudah membuatnya seperti ini.

"Aku tidak mau pulang," racaunya.

Aku pun berhenti sejenak. Menatapnya sejenak dan sedikit mengangkat gendonganku yang terasa tidak nyaman.

"Ini sudah malam, kau harus pulang!" ucapku sedikit kesal karena dia benar-benar tidak mengerti keadaan. Kalau dia tidak mau pulang, bisa-bisa aku habis dengan Aldi.

"Axel jahat! Loli tidak mau pulang!" katanya seraya memukul dadaku dengan sisa tenaganya yang benar-benar tidak sama sekali membuatku sakit.

"Bi Tikah bilang, seorang suami tidak boleh berbuat kasar pada istrinya, tapi kenapa Axel kasar sama Loli." Aku terhenyak, kembali menatap wajah istriku yang kini kembali menangis seraya memukuli dadaku.

"Loli salah apa?" suaranya perlahan parau. Matanya masih terpejam tapi masih bisa meracau dan memikirkan kesalahannya. "Ayah bilang, Loli harus minta maaf jika orang itu marah pada Loli, tapi kenapa Loli tetap dimarahi?"

"Loli gak mau pulang, Ayah. Loli mau sama Ayah."

Benar-benar seperti anak kecil yang marah pada orangtuanya, tapi Lolita adalah perempuan dewasa. Aku tidak tahu harus bagaimana mengatasinya, tapi... hatiku juga tidak bisa berbohong jika aku sangat merasa bersalah padanya. Memang tidak seharusnya aku mengasarinya hingga Lolita merundung seperti ini.

"Den Axel!!" suara Pak Jani yang terlihat terkejut aku menggendong Lolita.

"Non Loli kenapa Den?" tanya Pak Jani seraya membuka pintu mobil dan aku perlahan membawa tubuh Lolita ke dalam.

Tanpa menjawab pertanyaan Pak Jani. Aku pun memutari mobil untuk duduk di sisi lain bangku supaya bisa memangku kepala Lolita. "Jangan terlalu ngebut ya Pak. Sudah terlalu larut malam," pesanku seraya melepas jas kerja untuk menyelimuti tubuh Lolita yang kedinginan.

Sekali lagi aku memandangi wajahnya yang tertidur dan perlahan bibirku tersenyum menyentuh bibirnya yang pucat. Aku sadar, dia memang bukan tuan putri. Dia hanya Loli, Lolita istriku yang bodoh.

......................................................

MY IDIOT WIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang