7: Dreaming

9 0 0
                                    


LOLITA POV

Aku berlari menembus hujan yang turun. Bi Tikah bilang, seorang suami tidak boleh kasar pada istrinya, tapi kenapa Axel memarahiku? Bahkan dia menghinaku. Dia mengatakan kalau aku wanita idiot, melakukan dan bodoh. Memangnya aku salah apa hingga dia menghinaku seperti itu? Bukankah aku boleh memarahi wanita yang memegang tangan Axel? Dia kan suamiku.

"Non, ada apa?" tanya Pak Jani. "Non kok nangis?" tanya lagi, tapi aku membuang tatapanku ke luar sana.

"Yasudah kalau gak mau jawab pertanyaan Bapak. Non pakai jaket ya, Non kenapa gak nelepon Bapak saja tadi biar dijemput di lobby."

"Gak mau!" Kataku menolak jaket yang dia berikan padaku.

"Non nanti bisa sakit," katanya lagi, tapi aku tidak peduli. Aku justru memilih untuk sakit saja karena Axel tidak sayang padaku. Dia bukan suamiku!

"Pak pulang ke rumah Ayah saja. Loli gak mau pulang ketemu Axel." Kataku masih membuang pandanganku keluar jendela. Memperhatikan air hujan yang terus turun membasahi kaca mobil.

"B-baik Non," jawab Pak Jani dan perlahan aku merasakan mobil ini berjalan.

Aku memikirkan kata-kata Ayah dulu. Setiap orang pasti memiliki kekurangan di dalam hidupnya. Jadi, aku tidak boleh merasa sedih dengan segala kekuranganku karena Ayah sekalipun pasti memiliki kekurangan, tapi entah kenapa hari ini sungguh menyedihkan.

Apa aku sungguh tak seberguna itu untuk orang lain? Apa tidak ada lagi yang bisa menerimaku dan menyayangiku seperti Ayah dan Bi Tikah. Bahkan Mama...,

Mama meninggalkanku sejak kecil.

.......................................

Sayup-sayup kudengar suara seseorang sedang bertengkar. "Apa yang kau lakukan padanya, hah?"

"D-dia...,"

"Aku mempercayakanmu bukan untuk membuatnya seperti ini. Sekarang bawa dia pulang! Saat ini aku sedang tidak mood untuk mematahkan kakimu agar tidak bisa jalan." Katanya membuatku menebak-nebak kalau itu suara Mas Aldi, tapi Mas Aldi sedang memarahi siapa?

"Lolita," lalu sebuah tangan hangat menyentuh pipiku. Aku pun membuka mataku yang berat ini. Aku rasa mataku sangat bengkak karena puas menangis di makam Ayahku yang berada di dalam rumah ini. Ini memang tempat terbaikku ketika merindukan Ayah dan ingin bercerita padanya tentang sesuatu seperti dulu.

"Ayo kita pulang," ucapnya dan tangan itu perlahan mengangkat tubuhku.

Aku kembali berusaha membuka mataku yang berat lagi dan kini aku lihat wajah pria yang sangat ku benci tengah menggendongku.

"Aku tidak mau pulang," ucapku setengah sadar. Bagiku, ini seperti mimpi, tapi juga kenyataan karena kepalaku sangat pening dan mataku membengkak tak benar-benar bisa dibuka sepenuhnya.

Pria itu tak mau mendengarkanku dan aku merasakan dirinya yang menatapku. "Ini sudah malam, kau harus pulang!" katanya lagi, tapi entah kenapa aku ingin menangis lagi karena mendengar suara ini seolah membentakku.

"Axel jahat! Loli tidak mau pulang!" kataku seraya menangis. Lalu dengan tenagaku yang seadanya berusaha memukul dadanya dengan kesal. "Bi Tikah bilang, seorang suami tidak boleh berbuat kasar pada istrinya, tapi kenapa Axel kasar sama Loli," kataku dan kali ini tangisanku tak bisa ku tahan lagi. Aku menangis dan memukuli terus dadanya.

"Loli salah apa?" Hiks, hiks suara tangisanku semakin menyesakkan dada. "Ayah bilang, Loli harus minta maaf jika orang itu marah pada Loli, tapi kenapa Loli tetap dimarahi?" Hiks, hiks. "Loli gak mau pulang, Ayah. Loli mau sama Ayah."

....................

Panas-dingin, inilah yang aku rasakan sekarang. Tanganku pun bergerak memeluk seseorang yang sejak tadi mendekapku erat.

"Den, Non Loli demam," suara wanita itu memegang keningku. Disusul dengan sentuhan lainnya yang terasa lebih hangat.

"Bibi tahu biasanya kalau dia sedang demam harus bagaimana?"rasanya aku seperti berada di antara mereka, tapi entah ini mimpi atau tidak, aku bisa mendengar nada kekhawatiran seorang pria yang tidak aku tahu siapa.

Mataku masih terasa sangat berat untuk dibuka dan rasanya tubuhku sangat lemaah untuk digerakkan.

"Biasanya sih di kompres aja, Den. Non Loli kalau demam gak pernah lama-lama. Semalaman juga sudah mendingan."

"Yasudah tolong siapkan saja. Biar saya yang mengompres."

"Tapi Den...," suara wanita itu melayang entah kemana. "Tolong jangan suruh Non Loli tidur di sofa lagi ya. Bibi, gak tega melihatnya." Bibi? Apakah itu Bi Tikah?

"Non Loli tidak salah apa-apa. Dia begitu polos dan tidak begitu mengerti apa yang ada dipikiran orang-orang dewasa seperti Aden. Dia hanya mengerti kalau dirinya sudah menikah dan hanya tahu kalau kalian sudah menjadi pasangan yang saling menyayangi. Jadi, tolong jaga hati Non Loli. Meskipun dia tidak mengerti apa itu cinta, tapi Non Loli punya hati. Dia akan menangis jika diperlakukan kasar dan akan tersenyum jika diperlakukan lembut."

Usai mendengar kata panjang lebar itu. Kesadaranku kembali memudar, aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku hanya tahu kalau dekapanku semakin hangat, hangat, dan sangat hangat. Aku menyukainya. Sungguh menyukainya.

...............................

Aku membuka mataku perlahan. Menatap langit-langit kamar yang tidak ku kenal dan sedikit memijat keningku yang pening.

"Kau sudah bangun?" suara seseorang membuatku langsung mendengus dan membalikkan tubuhku untuk membelakanginya.

Aku masih ingat dengan jelas kalau pria itu kemarin memarahiku, tapi... kenapa aku sekarang di kamar? Bukankah kemarin aku masih ada di rumah Ayah?

Aku pun bangun dari baringanku dan melihat ke seluruh tubuhku. Bajuku sudah berganti menjadi baju tidur dan Axel...

"Kenapa?" tanyanya.

"Kenapa Loli pakai baju ini? Kenapa juga Loli ada di sini?"

Axel terlihat diam sejenak. Dia menghela napasnya dan duduk di pinggir ranjang.

"Semalam aku yang membawamu pulang. Ini minum dulu, lalu sarapan," katanya seraya memberikan obat untukku, tapi aku kembali berbaring dan menyembunyikan seluruh tubuhku.

Jadi semalam aku tidak bermimpi kalau Axel bertengkar dengan Mas Aldi ataupun sedang membicarakanku dengan Bi Tikah. Itu benar-benar bukan mimpi, tapi entah kenapa tetap membuatku tidak mood untuk bicara dengannya. Aku marah padanya. Lebih baik aku mati saja daripada harus terus hidup seperti ini. Aku tidak mengerti kenapa semua orang sangat membenciku. Apakah karena aku bodoh sampai semua orang bisa memarahiku seenaknya.

"Loli, ayo," suara Axel terdengar begitu lembut. Berbeda sekali dengan perlakuannya kemarin. Aku pun mengibaskan tanganku agar dia tidak menyentuhku.

"Loli gak mau!" kataku, tapi Axel tidak putus asa untuk membujukku.

"Hai, ayolah, aku-"

PRANG!!!

Aku tekejut mendengar piring yang jatuh karena tadi aku tak sengaja mengibaskan tanganku untuk kembali menolak Axel, tapi ternyata...

"Axel..." aku menatap Axel yang nampak marah, tapi dia menghela napas panjangnya.

"Minum dulu obatnya, aku akan ambilkan lagi," katanya memberikanku obat lalu meninggalkanku yang tak lagi bisa menolak obat darinya.

Lagi-lagi aku menjadi Lolita yang bodoh dan menyebalkan.

......................................................

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 19 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MY IDIOT WIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang