BAB I

5 1 0
                                    

"Jumat ini jadi ketemu Om Adit, Ma?" tanyaku pelan sembari terus memotong wortel yang sebelumnya sudah dikupas.

"Jadi, Nduk," jawab mamaku dengan logat Jawanya.

"Rencananya keluarga kita yang datang berkunjung ke rumah barunya Om Adit sama Tante Metha. Tapi, mereka sendiri yang menawarkan untuk datang kemari. Jadi, kita yang harus siap- siap," lanjut mama. Kemudian mama menatapku dengan senyumnya yang ayu. Wajahnya memancarkan kelembutan yang luar biasa. Menyejukkan hati setiap orang yang memandangnya. Termasuk aku sendiri, anaknya yang sudah 23 tahun beliau asuh.

"Ohh, gitu," sambil mengangguk- angguk, memahami apa yang mama infokan.

"Dan, sepertinya bahan makanan keluarga kita sudah menipis."

"Saatnya belanjaaaa," teriakku girang.

"Hushh," mama menyubit lenganku pelan. "Anak gadis jangan suka teriak- teriak. Persis kayak anak kecil kamu itu," lanjutnya.

Seketika itu aku terdiam. "Maaf, Ma. Keceplosan," batinku. Sedikit terkikik. Kemudian dengan sigap mama mengambil wortel yang sudah aku potong kecil- kecil. Bentuk dadu.

Oseng- oseng wortel dan buncis dengan sedikit kuah jadi menu makan malam keluarga kami hari ini. Aroma dari bumbu yang sudah tersangrai di wajan sudah tercium oleh indera penciumku. Sedap sekali.

Aku dengan sengaja mendekatkan hidungku ke arah wajan. Tanpa takut terciprat minyak panas, aku malah dengan riangnya menggerakkan kepalaku mengikuti aroma yang keluar dari bumbu itu.

Mama hanya tertawa pelan melihat tingkahku. Kemudian mama menuangkan sedikit air ke dalam wajan dan mengaduknya pelan. Dan, dengan sigap pula mama memasukkan wortel dan buncis juga ke dalamnya. Percikan minyak dan air menimbulkan bunyi khas di telinga. Tak sabar menunggu makan malam tiba.

Sambil menunggu oseng- oseng matang dan menambahkan kecap, mama mengajakku mengobrol di teras belakang dekat dapur. Menyiapkan daftar belanjaan bersama. Dan sepertinya kami memang harus belanja banyak untuk minggu ini. Dua keluarga akan segera bertemu.

Kalau makan- makan gini, kayaknya aku harus ajak Siska deh. Dia pasti suka, batinku riang.

 *******&&&&******

"Ma, jumat besok aku ajak Siska makan di sini juga, ya?"

"Siska? Teman kantor kamu?" mama balik bertanya. Lalu menyuapkan nasi ke mulutnya.

"Iya, temen kerja aku. Dia suka banget loh sama masakannya mama. Dia pasti seneng kalo aku ajak makan lagi di rumah kita," kataku riang. Aku menyendok oseng- oseng lagi dan memindahkannya ke piringku. Lalu melahapnya pelan.

"Nggak-nggak-nggak..." mama geleng- geleng tanpa sadar mengangkat sendoknya juga.

"Loh, kenapa? Kan, cuma makan malam doang?" aku balik bertanya dengan keheranan. Terus menyuap nasi.

"Yaa...gimana, ya?" mama bingung hendak menjawab apa. Pap, jelasin ke Aira, dong," pinta mama sembari melirik ke arah papa.

Aku jadi ikut- ikutan melihat ke arah papa. Mencoba mencari jawaban di sana. Di atas semua ekspresinya. Tapi, papa hanya diam dan bukannnya menjawab kebingungan mama.

"Sudahlah, Ma. Biarkan dia tahu sendiri nanti," jawab papa kemudian setelah lumayan lama memberi waktu tunggu. Namun tetap saja memberi kebuntuan untuk otakku berpikir. Sama saja. Aku tak menemukan jawabannya. Kemudian dengan cueknya papa terus menyuap nasi ke dalam mulutnya.

"Hmmm... pokoknya ini pertemuan dua keluarga, lah. Jangan sampai ada yang lain dulu sementara ini. Untuk jumat ini aja. Oke?'' sahut mama dengan ada sedikit penekanan pada kata 'ini.' Yah, aku tahu apa maksudnya. Hanya untuk satu kali saja tidak ada undangan untuk orang lain.

Cherry! Terkadang Kebencian Juga Bisa Semanis CherryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang