03

41 3 0
                                    

Playsong: Guilty as sin by Taylor Swift
Enjoy readers !










***

Setelah puas bermain di pantai, sekarang Gauri dan Jina berjalan-jalan di kota. Hari sudah sore dan mereka tengah mencari restoran untuk makan malam.

"Aku bahkan tidak merasa kelelahan setelah aktivitas seharian ini Gauri! Aku bersemangat banget!" Ungkap Jina girang.

Gauri menanggapinya dengan senyum. Dia masih kepikiran soal ucapan pria asing yang ia temui di pantai siang tadi.

"Kamu mau makan apa?" Tanya Jina.

"Em, entahlah na, aku ikut aja deh,"sahut Gauri memaksakan senyum. Dia tidak mau Jina tau sedikit kegelisahan yang ia alami hari ini.

"Aku lagi pengen seafood sih. Yuk makan di sana,"belum Gauri menjawab, Jina sudah menarik lengan gadis itu ke restoran seafood sederhana yang lumayan lengang.

Jina memesan paket seafood yang membuat Gauri terkejut karena tertulis untuk porsi 4 sampai 5 orang. Keduanya kini duduk di meja bagian ujung sambil menunggu makanan mereka sampai. "Gila kamu ya, itu tadi porsi buat 4 sampai 5 orang na!" Pekik Gauri. Sekarang ke khawatirannya bertambah. Bagaimana jika nanti mereka akan sangat kekenyangan dan sulit untuk kembali ke hotel?

Jina mengibaskan tangannya. "Aduh, aku laper Gauri. Bahkan porsi 10 orang pun aku embat deh!" Ucap Jina percaya diri.

Gauri menghembuskan nafas ketika dia tak mampu lagi mendebat Jina. Perutnya juga lapar.

Atensi keduanya kemudian beralih pada saluran dari televisi yang berada di salah satu dinding restoran. Berita itu tentang infotainment yang memunculkan sosok yang paling Gauri tidak sukai. Mafia. Mereka sering wira wiri acara televisi seperti seorang idol. Ditambah nampaknya sangat banyak wanita-wanita histeris yang berteriak saat acara infotainment itu diberlangsungkan.

Jina memberi kode dengan dagunya pada Gauri dengan congkak. Senyumnya terlihat mengejek. "Lihat, yang begitu lagi banyak pengagumnya!" Bisiknya.

Gauri lagi-lagi memutar bola matanya jengah. "Dan aku benar-benar tidak punya rasa kagum. Mereka kayak orang berandalan, dan sialnya punya banyak kekayaan. Makanya cewek-cewek histeris,"sahut Gauri pedas.

"Lagian tampang mereka tidak berbeda dengan anak punk di perempatan jalan. Apa sih yang cewek-cewek lihat? Paling juga uang nya,"desis Gauri. Dia masih tidak memahami cewek cewek pengagum pria mafia itu. Mereka yang ada di layar televisi memang terlihat normal dengan balutan jas yang formal, meski kesan berandalnya tak hilang dengan adanya keberadaan tato mengerikan itu di beberapa bagian tubuh mereka.

"Ayolah ri, mereka kan juga pengusaha properti," bela Jina.

"Iya, pengusaha properti gelap! Pengedar narkoba, penjual senjata ilegal. Itu yang maksudmu cuma?" Sarkas Gauri.

"Lagian, tidak ada faedahnya menyukai mereka. Toh mereka hanya menganggap wanita sebagai alat pemuas nafsu saja,"lanjut Gauri.

Jina mengangkat tangannya. Dia tau tidak akan menang jika sudah berdebat dengan Gauri mengenai mafia mafia ini. "Ya ya ya, kau menang Valeria Gauri,"ucapnya menyerah.

Dengan enggan Gauri ikut menatap ke layar yang masih menampilkan sederet mafia mafia itu. Gauri tak mengenali mereka, namun ada satu yang menarik perhatiannya. "Ash?" Tanpa sadar Gauri mengucapkan nama itu. Jina menatap heran Gauri dan melihat ke arah layar. Ekspresinya sama terkejutnya dengan Gauri.

"J-jadi selama ini..." Ucapan jina tak sanggup untuk dilanjutkan. Mereka saling pandang untuk sejenak.

Yang mereka tau, Ash memang terlihat seperti anak berandal di universitas. Tapi dia tidak melakukan kenakalan remaja, setidaknya bukan kasus yang berat. Ash juga sering membantu Gauri bahkan sering melakukan pdkt terang terangan pada Gauri meski sering ditolak halus gadis itu. Tidak mereka sangka kalau Ash sebenarnya adalah salah satu anggota dari klan Denevont. Bahkan lebih parah, dia adalah anak dari ketua klan mafia terbesar Asia tenggara. Denevont. Dia punya julukan elang asia yang menandakan bahwa dia adalah orang yang penting di klan itu.

"Mati aku na,"gumam Gauri. Dia berkali-kali sering membentak dan menolak segala bantuan Ash. Dia memikirkan kemungkinan bahwa ash pasti punya dendam padanya, dan berdoa semoga Ash tidak terpikir untuk membalaskan dendamnya.

Jina berusaha rileks. Dia mendeham kecil. "Ayolah, ash udah gak ganggu kamu sejak semester 5 kan? Itu udah lama! Bahkan udah bertahun lalu. Dia juga pasti udah lupa, santai aja,"ucap Jina dengan tenang. Dia harap sahabatnya bisa tenang meski dirinya sendiri juga ikut gelisah.

"Ku harap juga gitu na,"balas Gauri dengan lesu. Otaknya sibuk mengingat ingat hal apa saja yang dia lakukan dulu pada Ash selain menolak bantuannya. Lagian, orang-orang sangat pandai menutupi kebenaran ini sehingga dia baru tau sekarang. Atau...mungkin saja juga banyak yang belum mengetahui ini.

***

Jakarta, Tangerang pukul 20.18

Ash keluar dari hotel tempatnya barusan melakukan pers. Ini adalah pers yang sangat mendadak, pengumuman bahwa ia akan telah resmi menjadi calon penerus klan Denevont setelah ayahnya Hares Chamber lengser nanti.

Ash berjalan ke arah taman dan mulai mengeluarkan sebatang rokok. Rambutnya yang tadinya rapi diikat menjadi satu kini dibiarkan tergerai menjatuhi pundaknya. Wolfcut style yang tengah ramai dipakai orang-orang tampak cocok dipakainya. Ash menyugar surainya frustrasi. Asap rokok kini mengepul dari mulutnya.

"Katanya sudah berhenti merokok,"komentar seorang laki-laki dengan rambut coklat kemerahan yang dicukur rapi. Dia Albaran, sering dipanggil Bara oleh adik adiknya. Albaran adalah anak Hares yang tertua.

Bara mengambil duduk di sebelah ash. "Yeah, hanya saat aku ada di Jogja saja,"sahut Ash menghembuskan asap rokok nya. Dia ingat alasan mengapa dia berhenti merokok. Itu semua karena Valeria Gauri. Gadis lugu yang manis, dan sayangnya sangat anti dengan mafia.

Ash mendekatinya karena suatu alasan dahulu, namun tiba-tiba dia tidak bisa berhenti mendekati Gauri.

"Mau satu?" Ash menyodorkan bungkus rokok yang masih banyak itu pada Bara. Laki-laki itu menolak, "dokter mana yang mengisap rokok,"kekehnya.

Ash mencibir. Kakaknya memang menjauhi semua hal-hal yang dekat dengan dunia mereka semenjak menjadi dokter. Ah, bahkan Ash tidak mengerti kenapa kakaknya memilih untuk menjadi dokter saat itu.

"Kau tidak mengundang musuh bebuyutan mu ya?" Tanya Bara.

"Siapa? Ryu? Dia pasti masih mengendap di jepang,"sahut Ash dengan senyuman miring yang penuh ejekan.

"Tapi aku mulai tidak suka ketika dia mencampuri hal-hal milikku di sini," lanjut Ash.

Mengingat tawaran damai Ryu membuat hatinya geli. Dia pikir siapa Ash dengan seenaknya mau menerima deklarasi damai antara klan hanya dengan menyerah mendapatkan Gauri? Lagipula, Ryu bukanlah orang yang mengenal Gauri secara langsung. Bertemu juga pasti tidak pernah, dia tidak akan berani macam-macam. Tapi Ash tetap terganggu dengan fakta Ryu masih memata matainya sampai sekarang.

"Yah, urusan klan kita tak akan pernah bisa sejalan dengan klan Sakazaki. Mereka memang ular licik,"sahut Bara.

Ash setuju dengan Bara. Urusan klan mereka tidak akan pernah akur. Meski pada awalnya Ash dan Ryu punya hubungan yang cukup baik di masa lampau. Tapi masa lalu hanyalah masa lalu, menghadapi masa depan adalah yang utama saat ini.

"Ash, ayah memanggilmu,"seorang gadis tiba-tiba datang mendekat. Ash langsung melempar puntung rokoknya yang masih tersisa banyak ke tanah lalu menginjaknya sampai mati. Vera, dia istri Bara. Dan tentu saja Bara tidak mau istrinya tercemar asap rokok yang dihirup Ash. Melihat aksi Ash, Bara tersenyum.

"Baiklah. Aku pergi duluan kak,"pamit Ash kemudian melenggang pergi sambil menyurukkan tangannya di saku celana. Langkahnya semakin jauh meninggalkan Bara dan Vera yang masih ada di sekitaran taman hotel.

***

See ya!

My Boyfriend Is A Mafia!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang