Drrtt....
"Huh... Huh...." Wanita yang berjalan dengan napas memburu itu merogoh ponsel yang berada di saku blazer. Begitu melihat nama yang muncul, dia segera menghentikan langkah. Satu tangannya menepuk dada lalu mencoba mengatur napas. "Halo."
"Kamu di mana?"
Wanita itu mendongak menatap gedung dengan lampu kekuningan, di mana terdapat beberapa restoran kelas atas. "Aku udah di bawah kok," jawabnya lalu melanjutkan langkah. "Tunggu, ya!"
"Jangan lama-lama, Ra!" Setelah itu sambungan terputus.
Naira menjauhkan ponsel menatap benda itu yang tidak lagi menyala. Dia memasukkan ponsel ke saku lalu berjalan sambil merapikan rambut panjangnya yang pasti berantakan. "Ini semua gara-gara bos nggak tahu diri itu," gerutunya lalu berjalan agak cepat. "Semoga dia nggak ngomel," ingatnya ke sosok penelepon.
Tujuan Naira adalah restoran Italia yang berada di lantai tiga. Dia beberapa kali berpapasan dengan orang-orang yang mengenakan setelan necis dan berbicara bahasa asing. Lantas dia menunduk, menatap celana abu-abu yang dipadukan dengan jas senada serta blouse polkadot berwarna putih. "Not bad," ujarnya mencoba menghibur diri.
Sampai di restoran, alunan biola terdengar merdu. Seorang wanita dengan setelan merah menyambut Naira. Kemudian membantu pengunjungnya menuju meja yang telah dipesan.
"Maaf, Sayang." Naira duduk di kursi berhadapan dengan seorang lelaki berkemeja putih yang sudah menunggunya. "Tadi aku...."
".... minum dulu."
Naira tersenyum. "Kamu selalu perhatian." Kemudian dia mengambil minuman di depannya dan menegaknya pelan. Setelah berlarian mengejar jadwal kereta, ternyata dia sangat kehausan.
Lelaki di depan Naira terdiam, memperhatikan bintik keringat yang muncul di pelipis. Dia mengambil tisu yang tersedia lalu mengulurkan. Naira langsung mengambil dan mengusapkan ke pelipis dan lehernya.
"Bosku yang nyebelin minta aku lembur. Padahal, hari ini terakhir aku kerja," adu Naira sambil meletakkan gelasnya. "Ah, tapi setelah ini aku bakal bebas dari dia. Nggak akan denger omelannya lagi yang bikin telinga sakit."
"Kamu beneran resign?"
Naira menahan tawa. "Kamu ini gimana, sih, Rom? Kan, kita udah bahas ini," jawabnya. "Resign terus ikut kamu ke Singapur." Dia tersenyum usai mengakhiri kalimatnya dan fokus menatap Romie, calon suaminya.
"Ehm...." Ekspresi Romie sedikit berubah. Dia menunduk lalu menggaruk tengkuk. Setelah itu dia menatap Naira yang masih tersenyum seperti orang bodoh. "Maaf, tapi aku nggak bisa nikah sama kamu."
"Ha?" Senyum Naira seketika pudar. "Kamu barusan ngomong apa?"
Romie mengambil minumannya lalu menegaknya pelan. Setelah itu dia kembali menatap Naira dan mengutarakan niatnya. "Aku minta kamu ke sini karena mau minta maaf," ujarnya. "Aku belum siap nikah."
Kepala Naira mendadak pening setelah mendengar penjelasan Romie. Napasnya mulai memburu dan jantungnya berdegup lebih cepat. Namun, otaknya seolah tumpul dan tidak bisa mencerna ucapan lelaki itu. "Kamu ngomong apa?"
"Ra! Jangan bikin aku kebingungan."
"Kamu yang bikin aku bingung!" jawab Naira tak terima. Dia mengambil miuman di depannya dan menegaknya beberapa kali. Rasa dahaga itu seolah bertambah karena pembicaraan tak jelas Romie.
Romie mengusap wajah, berusaha bersabar menghadapi Naira yang terkadang lemot. "Aku mau batalin pernikahan kita."
"Kamu gila?" tanya Naira datar. Otaknya mulai bekerja, membuat sekujur tubuhnya merinding dan ketakutan menghadapi kelanjutan ucapan Romie. "Sepuluh hari kita nikah."
"Aku bakal beresin semuanya. Aku bakal tanggung jawab."
"Aku udah resmi resign."
"Kamu anak emas bos, pasti bisa balik."
Naira menggeleng tegas. Wajah dan matanya mulai terasa panas. Sebulir air mata kemudian turun membasahi pipi. Dadanya lantas mulai terasa sesak. "Bilang, kamu lagi ngerjain karena aku telat kayak biasanya. Iya, kan?"
"Suasana udah seserius ini," jawab Romie. Sejak kedatangannya dua puluh menit yang lalu, restoran Italia yang romantis dengan alunan musik biola seolah lenyap begitu saja. Dia merasa berada di ruang rapat dan berusaha memenangkan tender.
"Hiks...." Niara menghapus air matanya. "Apa alasanmu ngelakuin ini?"
"Aku belum siap nikah. Aku pengen ngejar karier. Aku...."
"... tapi kenapa enam bulan lalu lamar aku?" potong Naira.
"Aku pikir...."
"... kamu nggak waras!" tekan Naira. "Semua persiapan udah selesai. Tinggal nunggu hari pernikahan dan semuanya beres. Tapi, kacauin semuanya. Kamu pikir pernikahan itu bercandaan?"
"Makanya aku batalin, karena tahu pernikahan bukan bercandaan," jawab Romie tegas. "Aku nggak mau kamu makin kecewa."
"Menurutmu aku sekarang nggak kecewa?" Naira menatap ke arah jendela. Pemandangan malam perkotaan sangatlah indah dengan gedung-gedung pencakar langit dan permainan lighting-nya. Namun, dia fokus menatap langit yang gelap. Segelap dia membayangkan kehidupan selanjutnya.
"Ini. Aku balikin cincinnya." Romie melepas cincin di jari manisnya dan meletakkan di meja. Setelah itu mendorongnya secara perlahan ke arah Naira.
Naira memandang Romie dengan agak buram karena air mata yang terus mengalir. Dia masih belum percaya, makan malam kali ini menjadi makan malam paling menyakitkan. Andai dia tadi menuruti permintaan bosnya untuk lembur, mungkinkah hubungannya dengan Romie baik-baik saja? Hubungan yang sudah terjalin selama delapan tahun.
"Ra, aku harap kamu ngerti. Aku nggak mau nyakitin kamu," jelas Romie melihat wajah sedih Naira. Tidak tega sebenarnya, tapi dia berusaha jujur. "Aku nggak mau kamu tersiksa."
"Yah! Kamu bener!" Naira seketika berdiri dan menghapus air matanya dengan kasar. "Selama ini aku bodoh udah gantungin kebahagiaanku ke kamu!" Setelah mengucapkan itu dia berbalik dan berjalan menuju pintu.
"Maaf, Ra!" Romie menunduk tanpa menatap kepergian Naira.
Prang....
Langkah Naira terhenti saat ada piring terjatuh ke hadapannya. Dia menoleh ke kiri, melihat sepasang kekasih yang sepertinya tengah bersiteru. Entah, siapa yang mendorong piring itu lebih dulu hingga menghalangi langkahnya. "Ini malam apa, sih?" gumamnya. Dia melanjutkan langkah dan menginjak pecahan piring itu dengan loafersnya.
"Terima kasih, ditunggu kedatangannya kembali."
"Nggak akan," ketus Naira ke petugas. Dia keluar dari restoran dan berjalan menuju lift dengan langkah lebar. Bahunya naik turun, seperti orang baru naik gunung. Naira berdiri di depan lift, memejamkan mata lalu mulai bernapas dari mulut karena sangking sakitnya.
"Hiks... Hiks...." Bahu Naira bergetar hebat. Dia menutup mulut lalu kepalanya tertunduk. Bahkan dia lupa dengan pintu lift yang masih tertutup rapat itu.
Aku minta kamu ke sini mau minta maaf. Aku belum siap menikah.
Aku belum siap nikah. Aku pengen ngejar karier.
Ucapan Romie terngiang di pikiran Naira. Dia menunduk dan tangisnya makin kencang. Dia tidak peduli akan menjadi tontonan orang. Siapa yang bisa menahan kesedihan saat calon suami membatalkan pernikahan secara tiba-tiba?
KAMU SEDANG MEMBACA
Stars are Aligned
AcakBekerja di perusahaan besar, memiliki karier bagus dan menikah dengan lelaki yang dicintai adalah impian banyak wanita. Naira dulu juga mengidamkan kehidupan yang seperti itu. Namun, setelah dijalani muncul penyesalan-penyesalan yang membuatnya ingi...