Selama 18 tahun hidup, Belva yang belum sempat merasakan kehidupan bersama Senja kerap membuat dirinya merasa ada bagian dari dirinya yang hilang. Tak jarang dirinya menjumpai banyak anak-anak yang selalu bermain bersama ibu mereka. Tak dapat dipungkiri jika Belva merasa sedikit iri. Hal itu membuat Belva jauh lebih sering menghabiskan waktu di rumah.
Belva memang pribadi yang jarang bersosialisasi dengan tetangganya. Selain karena kondisi tubuhnya yang tak memungkinkan untuk banyak beraktivitas, kebanyakan anak-anak di tempat ia tinggal masih berusia di bawah 10 tahun. Ia jauh lebih senang jika menghabiskan waktu di rumah bersama keluarga, melukis dan menggambar, atau sekedar memainkan gitar. Sebuah bakat yang menurun dari Senja.
Saat ulang tahunnya yang ke-10, Fardian sempat memberikannya sebuah buku. Usang, satu kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi buku tersebut. Awalnya Belva heran, mengapa sang ayah memberikannya sebuah buku yang terlihat usang dan rapuh. Namun setelah dibuka, Belva dibuat terkejut dengan isi buku tersebut. Banyak gambar yang Senja lukis di sana. Sungguh, Belva benar-benar terpukau.
Di sela-sela kegiatannya, tiba-tiba saja pensil yang dipegang pemuda itu terjatuh begitu saja. Belva merasakan sakit pada dadanya secara mendadak hingga sulit rasanya untuk menghirup udara. Ia mencoba untuk meraih tasnya, mengeluarkan semua isinya hanya untuk mencari satu benda kecil.
"Dek, Abang mau ke minimarket. Lo mau nitip sesuatu gak? Astaga, Belva, bangun!" Naren langsung membanting kasar pintu kamar Belva saat melihat adiknya terbaring di lantai.
Naren dengan panik mencoba menghentikan adiknya yang terus memukul dadanya yang sesak. Pemuda itu segera membongkar isi tas Belva. Setelah mendapatkan apa yang dicari, Naren segera membantu adiknya untuk menghirup obat dari inhaler.
Naren kemudian membopong tubuh adiknya menuju kasur. Dengan kesal, Naren terus merundung Belva dengan banyak kalimat ocehan. "Abang udah berkali-kali bilang, inhaler-nya taruh di saku. Jangan di tas, susah nyarinya."
"Masih sakit?" Belva mengangguk lemah.
Tak tega melihat kondisi Belva yang menahan rasa sakit, Naren memutuskan untuk memanggil sang ayah yang sedang bersantai di halaman depan. "Sakit banget, Dek? Ke rumah sakit aja, ya?" tanya Fardian sembari menggenggam erat tangan sang bungsu.
Belva dengan cepat langsung menggeleng. Ia tak mau berakhir di-infus seperti bulan kemarin. Selain itu, Belva juga benci bila melihat rayt khawatir dari orang-orang tersayangnya. Belva hanya tak ingin terus membebani keluarganya. "Gak usah, Yah. Udah gak sakit, kok. Belva istirahat sebentar aja pasti udah baikan."
"Ya, udah. Tapi besok gak usah sekolah dulu."
"Tapi──."
"Ayah gak mau dibantah, Belva."
Melihat sinyal jika adiknya akan kembali membantah, Naren segera membisikkan sesuatu kepada Belva. "Udah, turutin aja apa kata ayah. Besok, pulang dari kampus Abang ajak jalan-jalan, deh. Bonus Abang jajanin juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kanvas Terakhir Di Langit Senja | Beomgyu
Fanfiction[ON-GOING] Belva selalu meyakinkan dirinya, bahwa senja mengajarkan kita jika keindahan tak harus datang lebih awal, jika nanti hari baik pasti akan tiba menyambutnya. Pancaran sinar keemasan yang terlukis di langit, selalu berhasil membawa perasaan...