Bab 1: "Rumah Terakhir Kita"

557 63 7
                                    

Di malam yang sunyi ini, hujan kembali mengguyur semesta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di malam yang sunyi ini, hujan kembali mengguyur semesta. Cukup mengejutkan, sebab siang tadi cuaca begitu cerah. Bau tanah yang beradu dengan air hujan secara lembut menusuk indra penciuman. Suasana sejuk yang menenangkan berhasil membuat pemuda itu merasakan kenyamanan, walaupun beberapa kali ia harus mengusap kedua telapak tangannya demi mendapatkan sedikit kehangatan.

Lampu jalanan yang sedikit meredup, ditambah dengan iringan musik yang sedari tadi terdengar, rupanya membuat pemuda tersebut perlahan merasakan kantuk. Tapi entah mengapa, ia tak berniat sama sekali untuk beranjak dari posisinya. Terlalu terbuai dengan suasana hujan di malam ini.

"Dek, ngapain masih di sini? Ayo, masuk."

Sebuah selimut kecil berhasil mendarat di punggungnya, bertepatan dengan kepulan asap kecil yang keluar dari celah mulutnya. Belva segera menolehkan kepala ke arah asal suara. Mendapati sang kakak sulung yang kini berada tepat di sampingnya, ikut membaur diri bersamanya.

Perkenalkan, kakak Belva yang sekaligus menyabet status sebagai anak sulung di keluarga ini, Alathan Arendra. Sedari kecil, kakaknya itu tak suka jika dipanggil Alathan apalagi Arendra. Ia akan jauh lebih senang jika kalian memanggilnya Naren. Seorang mahasiswa semester 5 yang sedang menempuh pendidikan di salah satu Universitas di fakultas hukum. Satu fakta sang kakak yang begitu lucu menurut Belva, Naren memiliki ketakutan terhadap kucing.

Pernah suatu hari, sepulang sekolah, Belva tak sengaja menemukan seekor kucing di jalan. Dengan perasaan senang layaknya menemukan sebuah harta karun, Belva membawa pulang kucing itu. Sesampainya di rumah, Naren dengan histeris berteriak memintanya untuk membuang kucing tersebut.

"Ayah, bang Naren kayaknya liat kucing sebagai t-rex, deh. Gitu aja takut, cemen banget," ejek Belva yang kala itu masih berusia 7 tahun.

"Kenapa gak mau masuk? Di sini dingin, loh, Dek." Naren merengkuh tubuh Belva, mencoba menyalurkan sedikit kehangatan untuk sang adik.

Belva menyandarkan kepalanya pada bahu Naren. Memandangi langit cukup lama sebelum akhirnya merespons pertanyaan sang kakak. "Bang, ayah pernah cerita. Katanya bunda meninggal pas lagi hujan. Pantesan setiap kali liat hujan bawaannya kangen terus sama bunda."

"Kira-kira, bunda lagi apa di sana, ya, Bang?"

"Lo liat gak bintang yang ada di sana?" tanya Naren menunjuk ke atas. "Sebagian orang percaya, kalo ada keluarga yang meninggal, orang tersebut bakalan jadi bintang yang paling bersinar di atas sana," lanjutnya.

"Lo mau gue percaya sama hal itu juga, Bang?" Naren tersenyum mengangguk.

"Bang, ayo masuk. Udah waktunya makan malem." Kedua pemuda itu menoleh secara bersamaan, mendapati saudara mereka yang tengah bersandar di pintu sembari melipat tangan di dada.

Rayyan Giantara, atau yang kerap disapa dengan Ray, merupakan anak tengah di keluarga ini. Seorang mahasiswa semester 3 yang mengambil jurusan kedokteran di Universitas yang sama dengan Naren. Berbeda dengan Naren yang memiliki sifat ramah dan hangat, Ray cenderung lebih pendiam dan cuek. Kadang Naren suka mengejek adik pertamanya itu. Dengan sifatnya yang cuek, apakah pasien Ray akan sanggup bertahan dengan dokter seperti dia nantinya?

Kanvas Terakhir Di Langit Senja | BeomgyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang