P r o l o g

64 13 49
                                    

Pagi ini matahari sengaja bersembunyi, mendung betah menghalangi seolah mengerti jika di bawah sana, tepatnya di salah satu pemakaman umum tampak seseorang tengah duduk diam mengabaikan beberapa kerabat yang mulai pamit pulang sebab prosesi telah ...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi ini matahari sengaja bersembunyi, mendung betah menghalangi seolah mengerti jika di bawah sana, tepatnya di salah satu pemakaman umum tampak seseorang tengah duduk diam mengabaikan beberapa kerabat yang mulai pamit pulang sebab prosesi telah selesai.

Wajah sendu nan basah menjadi saksi betapa berharganya waktu yang kini terasa pendek, sebab ketika Tuhan meminta waktu berhenti, maka kita tidak bisa menukar ataupun menambahkannya walau sedetik.

'Kai nggak siap, Buk. Kai nggak bisa nggak ada Ibuk'

Kaisar memandang gundukan tanah yang baru saja menyemayamkan sosok paling hebat di hatinya, ribuan sesal hanya bisa terucap dalam angan sebab dia tidak bisa menjadi lemah sekarang, masih ada beberapa hal yang belum tuntas, salah satunya adalah sebuah upaya merelakan dari Ayah dan Adiknya yang kini belum bisa datang ke tempat peristirahatan terakhir keluarganya karena beberapa alasan.

"Balik yuk, lo kan masih harus dirawat," ujar Satya setelah di rasa hanya tersisa mereka berdua disana.

Kaisar menggeleng pelan, "Gue masih mau disini, Sat."

Satya hanya diam. Dia tahu semua orang merasa kehilangan, tapi dari kesemuanya tidak ada yang bisa menyetarai kehilangan yang dirasakan oleh sahabatnya yang saat ini masih duduk di kursi roda. Meski sudah tidak menggunakan infus dan alat digital lainnya, namun beberapa jejak luka disertai bebatan panjang di siku dan plester di kepala cukup membuktikan sedahsyat apa kecelakaan yang mereka alami hingga membuatnya kehilangan sang Ibu untuk selamanya.

Hiks... hiks...

Isakan mulai terdengar.

Satya menoleh dan mendapati Kaisar yang tengah menahan tangis dengan menggigit bibirnya kuat, buru-buru Ia bangkit lalu mendaratkan tepukan pelan dipunggung sahabatnya. Posisi mereka tampak kurang nyaman mengingat Kaisar masih berada di atas kursi roda, tapi untuk sekarang hanya itu yang bisa dia lakukan.

"Nangis aja, nggak apa-apa. Nangis sekeras yang lo mau, keluarin semuanya. Bodo amat kalaupun ada yang dengar, mereka nggak berhak ngomongin lo! mereka nggak tahu apa-apa!" Satya mengeratkan pelukannya, isakan tertahan tadi kini berubah menjadi tangis yang meraung keras bersamaan dengan sesak dan badan yang terus bergetar, butuh beberapa menit hingga tangisan itu kembali menjadi isakan kecil.

"Thanks."

Satya tersenyum, "Its okay, sekarang bisa kita balik ke rumah sakit?"

Kaisar menggeleng, "Kita pulang aja," pintanya seraya menegakkan badan hendak berdiri namun ditahan Satya.

"Lo mau nyari mati ya! nggak usah aneh-aneh jadi manusia!" tegur Satya keras.

"Memang apa bedanya, mati sekarang sama mati besok? sama-sama mati, kan." balas Kaisar datar.

"Ngomong ngunu neh tak gibeng raimu!(1)" sahut Satya kesal.

"Lagian kenapa Ibuk harus dorong gue? Kenapa Ibuk nggak ngajak gue aja sekalian? bukannya kalau bareng-bareng lebih seru ya, disana?"

PACAR 100 HARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang