Sinar mentari menggoda Huang Jimin agar segera kembali dari rayuan mimpi indah semalam. Dahi yang selapang harapan mengernyit risi, turut telapak tangan refleks menghalau silaunya.
"Bangun, pemalas! Sudah hampir jam tujuh pagi. Aku harus segera pergi. Tapi, tidak akan tenang jika kamu belum berkemas."
"Bagaimana, ya? Aku masih tidak ingin meninggalkan kasur yang empuk ini." Alih-alih beranjak, Huang Jimin justru menyamankan kepalanya ke permukaan bantal. "Sepertinya aku akan tidur lagi sampai satu jam ke depan."
"Jimin, kamu tidak bisa melakukan itu pada istrimu. Aku terbiasa menghadapi kamu yang panik karena takut istrimu ini terlambat ke toko. Beri aku alasan lain untuk lebih meyakinkan." Berikutnya erangan halus mengudara cukup panjang seraya Huang Jimin membawa punggungnya bersandar di kepala ranjang. "Jadi, kamu akan tetap di sini sebelum aku bangkit?"
"Tentu saja."
"Bai Shihan, apa aku terlihat lemah?"
"Tidak."
"Wajahku pucat?"
"Ehm, kamu memang lebih putih dariku. Tapi, wajahmu berkilauan meski baru bangun."
"Bukan begitu maksudku." Huang Jimin tersenyum, sejenak mengamati intens wajah istrinya yang pula memandang bingung. "Sudahlah. Kenapa kamu tidak berangkat? Tuan Li mungkin sedang menunggumu di sana. Jangan membuatnya bertanya-tanya karena kamu tidak tiba tepat waktu."
"Aku paham perkataanmu tadi. Tidak ada yang salah dengan keadaanmu. Kamu makin baik setiap harinya dan akan terus seperti itu. Aku tidak akan biarkan dirimu terpuruk."
"Takutnya suatu hari kamu lelah. Aku tentu harus mempersiapkan diri untuk kemungkinan itu. Dan Bai Shihan, tolong tidak menyalahkan dirimu atas keputusanku ini."
"Huang Jimin, kamu tahu seberapa sering aku mengatakan cinta padamu. Aku benar-benar menyayangimu sebanyak dan selama yang aku mau, tidak ada batasnya. Aku hanya ingin terus bersamamu. Tapi, kamu boleh mengusirku jika kelak kamu dapatkan wanita—."
"Tidak ... tidak, Bai Shihan. Kamu tidak seharusnya berpikir demikian. Sebaliknya, kamu lah yang berhak menemukan pria sempurna dibanding aku."
"Aku tidak butuh kesempurnaan untuk mencintai. Di sisimu adalah cinta yang sempurna buatku."
"Bicara kamu jadi ke mana-mana."
"Itu artinya kamu tidak menyangkal lagi 'kan?" Bai Shihan tersenyum sangat manis seiring binar matanya menyiratkan ketulusan. Tidak ada kata yang cukup untuk mewakili gambaran perasaan dia terhadap suaminya itu. Bai Shihan telah jatuh terlampau dalam oleh pesona Huang Jimin, hingga dia tidak mampu membayangkan perpisahan di antara mereka. "Bangun, sayang. Kamu haru mandi juga sarapan."
"Aku ingin mie."
"Kamu sudah memakannya untuk bulan ini."
"Sedikit saja, kamu boleh mengurangi porsi yang biasanya."
"Tidak, sayang. Aku harus tegas demi kesehatanmu." Tapi, nyatanya Bai Shihan tengah menahan tawanya bertepatan dia mendapati suaminya mendengkus pasrah serta memasang muka menyedihkan.
"Aku harap bisa memberikan satu milikku padamu."
"Itu rencana bodoh. Jika kamu lakukan itu, maka tidak ada masa depan bagi kita. Aku bakal bertambah malu, terutama di mata keluargamu."
"Jadi, kesimpulannya?"
"Aku tidak akan meminta mie lagi jika belum waktunya."
"Kalau begitu keluarlah dari selimutmu, Jimin. Matahari kian naik dan jam terus berputar. Pola makan yang benar wajib dijaga, aku mengawasimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
It Remains The Past
RomanceBeberapa orang menempatkan masa lalu sebagai memori yang tersimpan. Tak sedikit memutuskan untuk menyingkirkannya dari masa sekarang. Entah itu disebabkan duka maupun luka. Huang Jimin pernah merasakan indahnya jatuh cinta, rela mengorbankan bagian...