H-3

434 49 0
                                    


Hujan turun dengan perlahan, menyelimuti bumi dengan suara gemericik yang menenangkan. Aroma tanah yang basah bercampur dengan angin yang berhembus lembut, menciptakan suasana damai yang merasuk ke dalam hati.

Di balik jendela, ada seseorang laki-laki muda yang tengah termenung menatap ke arah luar seraya meresapi keheningan yang dibawa oleh hujan, seakan setiap tetesnya membawa kisah dan kenangan tersendiri.

Suasana dingin itu menyapa kulit, hujan semakin deras, bau tanah basah semakin kuat menusuk hingga ke dalam indera penciumannya.

Di balik jendela yang berkabut, ia duduk diam, matanya menatap lurus ke luar, menembus tirai hujan yang turun dengan deras. Tetesan air menari-nari di kaca, mengguratkan jejak tipis yang perlahan menghilang. Hujan turun tanpa henti, seolah membawa kesedihan yang tersembunyi dalam sunyi. 

perasaan-perasaan yang tertahan perlahan muncul, seperti hujan yang merembes perlahan ke tanah. Sesekali ia menghela napas panjang, seakan mencoba menangkap makna dari setiap tetes yang jatuh.

Entah mengapa, hujan selalu membuatnya merenung lebih dalam, seakan ada sesuatu yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata. Kenangan-kenangan masa lalu melintas di benaknya, seiring dengan derasnya air yang membasahi kota metropolitan tersebut.

Di tengah kesunyian yang tenang itu, dering telepon tiba-tiba memecah keheningan. Suaranya nyaring, seolah mendesak untuk segera dijawab. Telepon itu terletak di atas meja kayu, tepatnya di atas nakas samping ranjangnya.

Ponsel yang sebelumnya tergeletak diam kini bergetar perlahan, bergeser sedikit dengan setiap getaran yang muncul bersamaan dengan deringnya. Nama di layar muncul, bercahaya di tengah temaram ruangan, mengundang sejenak rasa penasaran yang bercampur dengan ketidaktentuan.

Ia beranjak menuju nakasnya, mengambil cepat hp yang terus bergetar dan menyala itu. Freen mendengus kesal saat nama Nam tertera dengan jelas di layar ponselnya.

"Ada apa?" Tanyanya terdengar ketus dengan alis terangkat dibalik telepon. Tidak ada ucapan 'halo' diawal kalimat. Laki-laki itu teramat kesal oleh Nam—sahabatnya. Entah mengapa Freen selalu kesal dengan wanita cerewet itu.

"Wow, santai dong gak usah ngegas kali" kekehnya di seberang telepon sana, suaranya terdengar agak samar dikarenakan hujan yang terus mengguyur. "Cuma mau ingetin, jangan lupa besok datang ke acara nikahan Noe, Irin"

"Hujan" balasnya singkat.

Suara gerutuan Nam terdengar jelas di telinga Freen. Wanita itu memakinya perlahan.

"Kan acaranya besok malem" gemas Nam dengan suara tertahan. "Satu lagi, Lo jangan lupa buat jemput Rose. Dia gak ada jemputan, kakaknya tau sendiri perginya sama siapa"

"Gak bisa, gue sibuk."

"Lo searah sama dia bego" habis sudah kesabaran wanita anak satu itu. "Gak ada penolakan, gue udah terlanjur bilang ke dia kalau Lo yang bakalan ngejemput"

"Naik taksi, atau minta supir dia buat nganterin" jika Nam punya 1000 pemaksaan maka Freen punya 1001 alasan.

"Gak, gak ada ya! Gue udah terlanjur ngomong ke dia!"

Tut....

Sambungan itu terputus secara sepihak. Nam dengan cepat memutuskan percakapan mereka. Rasa frustrasi perlahan merayap, ada sesuatu yang belum tersampaikan, percakapan yang terhenti di tengah jalan, meninggalkan rasa tak puas yang menggantung di udara. Freen lagi-lagi membuang napas kasarnya. Meletakkan hp itu kembali namun dengan gerakan yang lebih kasar sehingga menimbulkan bunyi khasnya; klotak.

"Shit, kenapa harus gue?! Nam sialan!" Batinnya mengutuk wanita super cerewet itu.

Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa nantinya. Rasa bersalah mulai menggerogotinya tubuhnya dengan perlahan, Freen sadar akan sikapnya yang dingin itu. Namun, terkesan sedikit kasar.

HOME (REVISI!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang