bab 12

84 0 0
                                    

Bab 12

Pagi itu setelah sarapan dan olahraga pagi. Aku memilih duduk di teras depan rumah pak Supri. Duduk di temani secangkir kopi dan pisang goreng sembari melihat para pekerja pergi ke area. Walau hari Minggu, aktifitas panen masih berjalan, dan para mandor pun masih bekerja di akhir pekan. Berbeda dengan aku yang bisa duduk santai sembari menikmati pagi cerah yang walau sudah pukul 8 pagi tadi cuaca sudah membuat tubuhku gerah.

Aku hanya duduk mengenakan celana boxer pendek milik Joni. Membiarkan badan polos ku terekspos.

"Pagi pak. Wah pagi-pagi udah makan pisang goreng aja nih." Sapa seorang pekerja sembari memikul egrek, alat panen berupa arit besar dan galah yang memiliki panjang 4 meter.

"Pagi pak, iya nih lagi nyantai aja." Jawabku sembari terkekeh kecil.

"Wih enak yah jadi bos, hari Minggu bisa libur." Gurau sang bapak.

Aku segera mengangkat piring berisi pisang goreng. "Pisang pak." Kataku.

"Wah makasih pak, buatan mbak Sri yah?"

"Iya pak." Jawabku.

"Widih mantep nih, buatan mbak Sri mah nggak pernah salah." Jawab sang bapak sembari mencomot pisang yang ku berikan.

"Bapak, nggak sopan ih! Pisang pak asisten kok diambil!" Tegur seorang wanita di belakang pria itu.

"Ya nggak papa toh buk, orang di tawari kok."

Aku menoleh ke arah wanita yang di menegur sang bapak tadi. Yang tak lain adalah istri bapak tersebut. Ku perhatikan seksama ibu itu hanya mengenakan kaos kuning tipis ketat yang memperlihatkan bh berwarna hitam di sana. Walau payudaranya tak besar. Tapi melihatnya saja sudah membuat jakunku naik turun.

Bagaimana tidak. Bra yang terlihat sempit itu membuat payudaranya seolah mau tumpah dan terlihat begitu kenyal.

Aku menahan diri agar komandanku tidak bangun. Beruntung pagi ini dia sudah muntah dua kali jadi masih bisa dikendalikan.

"Nggak papa Bu, buat sarapan!" Jawabku. "Ibu mau?"

"Eh bapak, nggak usah pak, nggak sopan" jawab sang ibu.

"Nggak papa Bu, lagian bik Sri goreng banyak kok. Ambil aja?" Ucapku lagi.

Ku perhatikan mata ibu itu tertuju ke area selangkanganku, yang mana membuatku semakin berani untuk berdiri tegak tanpa menutupi area selangkanganku lagi.

Pagi itu aku tidak mengenakan celana dalam yang membuat komandan yang berukuran pisang molen yang sering di jual tukang gorengan itu tercetak jelas. Apalagi boxer Joni yang kekecilan.

"Oalah bu-bu. Suruh ngambil pisang goreng kok malah mau makan molen toh!" Kelekar sang bapak sembari tertawa keras.

Aku tersenyum malu. Walau tak menutupi apa yang menjadi pusat perhatian sang ibu.

"Apa sih pak. Lawong ibu lagi mau ambil pisangnya kok!" Jawab sang ibu sembari berjalan ke arahku.

"Mau ambil pisang yang mana tuh!" Goda yang bapak. "Awas salah ambil! Haha!" Lagi sang bapak membuat candaan yang menjurus.

Aku mulai terbiasa dengan obrolan orang-orang di sini. Apalagi tentang sex yang mana sudah menjadi kebiasaan yang sedikit belum membuatku terbiasa. Tapi karena aku sudah masuk ke lingkaran ini aku tak bisa berbuat banyak. Jadi nikmati saja.

"Hoalah! Kalo urusan pisang mah ibu bisa bedain pak!" Kelekar sang ibu sembari menjulurkan tangannya. Posisi aku berdiri dan mereka berdiri tentu saja berbeda. Karena ubin tinggi lantai teras rumah pak Supri membuat tubuhku lebih tinggi. Dan tanganku yang memegang piring tentu setara dengan penisku.

desa WaringinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang