Chapter 3: curiosity kills.

10 0 0
                                    

"Lo yang terlalu kaku, sih. Terlalu nutup diri. Masa garing banget, sih? Heh, lo tuh sibuk kerja, dia juga. Susah loh gue nyesuaiin tanggal biar acara perkenalan kemarin tuh bisa jadi."

Sejak datang, di Minggu pagi itu, Jordyn tak berhenti mengoceh sambil mengikuti Tricia. Baik saat Tricia membuat sarapan singkat—hanya sereal—menyiram tanaman-tanaman kecil di sepanjang balkonnya, atau juga mengisi ulang deterjen yang habis di wadahnya, Jordyn terus membicarakan kejadian kemarin.

Padahal Tricia tak ingin mengingat, dan bahkan ingin melupakannya.

Jelasnya, melupakan seluruhnya, karena rasanya tak berguna. Kemarin benar-benar tak berbuah apapun. Pembicaraan yang sangat bare minimum tidak menarik sama sekali, atau pun yang bisa berkembang. Percayalah, Tricia sudah cukup berusaha, tapi untuk apa? Lawan bicaranya tampak tidak begitu invested.

Ada beberapa pembicaraan yang bisa dikembangkan sebenarnya, tapi agak sulit. Tricia ingin menggali, tapi tak ingin terlalu terlihat. Di sisi lainnya, lawan bicaranya seolah tak membukakan gerbang untuknya.

Selebihnya, dari apa yang Tricia amati saja, tak ada yang bisa dikonfirmasi.

Kalvin, laki-laki itu, benar-benar menutup diri.

Ah... bukan, bukan.

Lebih tepatnya, mungkin tak ingin berada di tempat itu, bersamanya.

Walau Kalvin tetap bersikap sangat sopan, sesekali tersenyum ketika giliran Tricia bicara.

Ya, Kalvin cukup perhatian... lalu apa?

Mungkin hanya bersikap baik, bukan?

Toh... tampaknya, Kalvin tak... ingin tahu lebih jauh tentangnya.

Tricia penasaran, tapi bagaimana caranya?

"Kalvin ganteng, loh? Lo gak tertarik? Astaga, temen gue ini... sampai kapan sih, lo mau jadi jomblo gak ketolong gini? Masa gak mau dicoba? Masa kemarin—"

Bukan tak tertarik.

Terasa sulit... sulit sekali.

Terlebih Tricia tak memiliki pengalaman untuk 'memikat' lawan jenis secara sadar, jadi kemarin benar-benar acara yang bisa dikatakan gagal total, padahal hatinya menolak.

"Masa gue yang berusaha?" Tricia agak memotong ucapan Jordyn, yang terus mengekornya. Setidaknya untuk melarikan diri dari pemikirannya, takutkan keluar tak sengaja di depan teman baiknya.

Karena memang Jordyn terus, mengutarakan segala yang dipikirkannya sendiri. "Ya, lo sendiri nutup diri?"

"Astaga." Tricia berdecak kesal dan membawa dirinya menuju kamar mandi. Ada keinginan untuk menjelaskan bahwa justru Kalvin yang menutup diri, tapi rasanya terlalu lelah untuk berdebat.

Jordyn masih mengikutinya.

Sampai Tricia sendiri merasa berat, akan tuntutan Jordyn. Bukan tak ingin menghargai usaha teman baiknya, namun...

"Come on, gue tau lo juga bisa suka kok sama—"

"Gue?" Tricia mendadak berhenti begitu mencapai muka pintu kamar mandi untuk berbalik. Refleks membuat Jordyn terhenti pada langkahnya, selagi dirinya menatap datar sosok tersebut, sebelum mencoba menjelaskan perasaannya. "Gak semua orang bisa cocok, Jordyn. Gue sama dia, kayaknya sama-sama gak tertarik, jadi gak perlu dipaksa, okay? Kita berdua udah nyoba kemarin, dan bahkan you were there with us kan you heard everything. So lupain aja please."

Tricia berbohong.

Ingin sebenarnya... lebih tahu. Kedua matanya tak bisa berbohong.

"Tapi—"

love across the room.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang