One Shot

3 0 0
                                    

Isabel duduk di sudut kelas, memperhatikan teman-temannya yang berbicara dan tertawa. Tangan kanannya tanpa sadar mengangkat ke bibirnya, mulai menggigiti kuku yang sudah pendek dan rapuh.

"Hai, Isabel! Sedang apa?" tanya Maya, sahabatnya sejak SD, menghampiri dan duduk di sebelahnya.

"Hei, Maya," jawab Isabel dengan senyum kecil. "Hanya mengamati saja."

Maya memperhatikan kebiasaan Isabel yang masih sama sejak mereka kecil. "Kamu masih menggigiti kuku? Sudah berapa kali aku bilang untuk berhenti?" Maya berkata dengan nada lembut tapi tegas.

Isabel menurunkan tangannya, merasa sedikit malu. "Aku tahu, tapi sulit sekali menghentikannya."

Malam itu, Isabel berbaring di tempat tidurnya, merenung tentang hari-hari yang telah ia lalui. Jendela kamarnya terbuka, angin malam yang sejuk berhembus masuk. Ia menyalakan lampu meja dan membuka jurnalnya, mencoba menuangkan pikirannya dalam kata-kata.

“Hari ini Maya mengingatkanku lagi tentang kebiasaan menggigiti kuku. Aku tahu dia peduli, tapi kenapa ini begitu sulit dihentikan? Kenapa aku tidak bisa seperti orang lain?”

Hari presentasi kelompok tiba. Isabel merasa cemas sejak pagi. Di ruang kelas, semua mata tertuju padanya saat ia berdiri di depan.

“Isabel, kamu siap?” tanya Pak Budi, guru Biologi mereka.

Isabel mengangguk dengan gugup. "I-ya, Pak. Saya siap."

Ia memulai presentasinya, mencoba yang terbaik untuk tetap tenang. Tetapi saat ia melihat sekilas ke arah teman-temannya, tangannya mulai gemetar. Kuku-kukunya kembali menjadi pelampiasan.

Setelah presentasi selesai, Isabel cepat-cepat berlari ke kamar mandi. Ia merasakan air matanya mulai mengalir. Maya menyusulnya, memegang pundak Isabel dengan lembut.

“Kamu sudah melakukan yang terbaik, Isabel. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri,” kata Maya sambil menenangkan sahabatnya.

“Tapi aku selalu merasa gagal. Aku tidak pernah bisa berhenti menggigiti kuku, bahkan saat aku tahu itu membuatku terlihat lemah,” balas Isabel dengan suara serak.

Maya tersenyum dan mengelus rambut Isabel. “Kita semua punya cara masing-masing dalam menghadapi stres. Kamu kuat, Isabel. Kamu hanya perlu menemukan cara lain untuk menyalurkan perasaanmu.”

Di rumah, Isabel berdiskusi dengan ibunya di meja makan.

“Ibu, aku merasa sangat kesulitan akhir-akhir ini,” Isabel mengungkapkan sambil memainkan ujung bajunya.

Ibu menatap Isabel dengan penuh kasih. “Sayang, setiap orang punya tantangan masing-masing. Kebiasaanmu itu bukan sesuatu yang harus membuatmu merasa malu. Kamu hanya perlu belajar cara mengelola stres dengan lebih baik.”

Isabel mengangguk pelan. “Aku akan mencoba, Bu.”

Dalam perjalanan panjangnya, Isabel mulai belajar untuk menerima dirinya sendiri. Dia menghadiri sesi konseling di sekolah, berbicara lebih banyak dengan orang-orang terdekat, dan menemukan cara-cara baru untuk mengatasi kecemasannya.

Meskipun kebiasaan menggigiti kuku mungkin tidak sepenuhnya hilang, Isabel tahu bahwa perjuangan ini adalah bagian dari proses untuk menemukan kedamaian dalam dirinya. Setiap langkah kecil membawa Isabel lebih dekat pada penerimaan diri dan ketenangan batin yang ia cari.

Pada suatu malam, Isabel menutup jurnalnya dengan senyum kecil di wajahnya. Ia tahu perjalanan masih panjang, tetapi ia merasa lebih kuat dan lebih siap untuk menghadapi hari esok. Di sisi lain ruangan, Maya mengirim pesan teks, “Aku bangga padamu, Isabel. Teruslah berjuang.”

Isabel membalas dengan singkat, “Terima kasih, Maya. Aku akan terus berusaha.”

Dan dengan itu, Isabel mematikan lampu dan membiarkan dirinya terhanyut dalam mimpi, mengetahui bahwa besok adalah hari baru untuk mencoba lagi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 24 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

4RUNNERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang