Dilema begitu menyesakkan, bahkan panorama fajar yang menyingsing dari ufuk timur lautan tak dapat menenangkan hati Damien. Kini, ia dan putri kecilnya telah berakhir di sebuah dermaga terbengkalai, berpijak di atas jembatan kayu yang mengarah langsung ke lautan, dikelilingi bangunan dermaga yang hanya bersisa reruntuhan berjalar tanaman liar, serta bangkai-bangkai kapal terdampar di sekitaran pesisir. Damien menemukan lokasi dermaga ini, setelah sebelumnya ia sempat dihubungi oleh pihak V-Scientist, jam tangan wireless Damien yang terlacak memungkinkan pihak V-Scientist untuk mengirimkan koordinat pertemuan.
"Ayah! Lihat! Lautnya indah sekali!" Reika begitu takjub memandangi panorama lautan lepas, dengan antusias ia mengguncang genggaman tangan kiri mungil yang menggenggam tangan ayahnya, seraya menunjukkan panorama yang menggugah ketakjubannya.
Lain halnya dengan Damien. Ia murung menatap suguhan panorama. Merasa bahwa hening lautan tak ada bedanya dengan hening daratan. Setelah ia menjadi saksi, serta penyintas dari bencana yang sudah merubah wajah dunia. Meski begitu, Damien tetap memaksa senyum ketika menoleh ke arah putrinya.
"Ini pertama kalinya Ayah bawa aku untuk melihat lautan. Sayang sekali. Andai saja Ibu juga bisa menyaksikan keindahan ini," ucap Reika, dengan mata berbinar-binar memandangi liukan ombak tenang.
Bibir Damien mengatup, bergetar setelah mendengar ucapan polos Reika. Matanya juga mulai berkaca-kaca, sebelum kemudian ia mengerjap, mencegah linang air mata, tak ingin menunjukkan kesedihan mendalam di hadapan putrinya.
Salah satu hal yang paling sulit bagi Damien, adalah memberitahu fakta menyakitkan akan keberadaan istri tercintanya pada Reika. Selama ini, ia berusaha sebisa mungkin agar kepergian sang istri tak terungkit menjadi pembicaraan. Bukan hanya tak ingin membuat Reika terpukul, namun jauh di dalam lubuk hatinya, ia masih belum percaya bahwa istrinya telah dinyatakan tewas. Selama ini, Damien memberitahu Reika bahwa ibunya sedang berpetualang di negeri yang sangat jauh.
"Jangan khawatir, Reika. Mungkin saat ini, Ibu juga sedang melihat indahnya lautan, sama seperti kita, di negeri yang sangat jauh," hibur Damien. "Barangkali, dia juga sedang merindukanmu selama memandang laut, sama seperti kita merindukannya."
"Benarkah?" tanya Reika, dengan mata berbinar terang yang menengadah ke wajah ayahnya.
Damien mengangguk pelan, seraya menoreh senyum bersahaja. "Benar. Mana mungkin dia tak rindu dengan putri kecil menggemaskannya ini," imbuh Damien, seraya menangkup lembut pipi sang putri, membuat Reika semakin hangat menorehkan senyuman.
Namun, arus gelombang tenang lautan tak bertahan lama. Terpecah tatkala sebuah kapal layar besar tengah mengarungi arus tenang, desir ombak yang mencipta gemuruh, yang sampai terdengar oleh Damien.
Damien kembali menoleh ke arah lautan, seraya memicing mata ia samar-samar melihat rupa kapal hitam besar semakin mendekati dermaga tempatnya berpijak. Reika yang juga menyadari kedatangan kapal itu lekas berlindung di belakang ayahnya, seraya mengintip risau.
Kapal yang Damien lihat tak lain adalah kapal dari para anggota V-Scientist yang ditugaskan untuk menjemput Damien. Seraya memandang nanar, Damien yang masih skeptis akan lembaga itu lekas menyiagakan tangan di atas holster pinggang, bersiaga menarik pistol berjenis Glock Meyer 22 jika V-Scientist dirasa mengancam dia beserta putrinya.
Setelah beberapa menit mengarungi, kapal V-Scientist menepi tepat di pesisir, tak jauh dari jembatan kayu yang Damien pijaki. Barang sesaat setelah kapal menepi, mekanisme kapal menjulurkan gangway besi ke arah jembatan Damien, membuka jalan bagi Damien dan Reika untuk segera menaiki kapal.
"Senang bertemu denganmu, Damien. Naiklah. Professor Yuri sudah menunggu kedatanganmu," ajak salah seorang awak pria di pinggir dek kapal, terlihat menggunakan pakaian serba biru.
Begitu gangway berada tepat di hadapan pijakannya, Damien yang masih berada dalam fase siaga tak henti memandang kapal yang menepi. "Kalian yakin kami akan aman selama perjalanan? Bagaimana dengan E.D.E.N?" tanya Damien.
"Pelayaran kami berlangsung aman sejak meninggalkan Inggris. Tapi untuk jaga-jaga, lebih baik kau lepaskan saja jam tanganmu, agar kau tidak bisa dilacak oleh E.D.E.N," saran si awak kapal pria.
Damien lekas mengankat tangan kiri, memandangi arloji dijital yang melilit pergelangan tangan. Barang sesaat ia memandang, ia akhirnya punya keputusan mantap. "Tidak. Akan kusimpan saja," tegas Damien seraya menggeleng, masih tak rela membuang satu-satunya peninggalan yang mengingatkannya pada sosok sang istri.
"A-Ayaahhh..." Reika terlihat ketakutan melihat kedatangan kapal V-Scientist, begitu gemetaran ia sampai mencengkram kencang bagian belakang pakaian ayahnya.
Sadar bahwa sang putri ketakutan akan kedatangan orang-orang asing, Damien lekas menangkup kepala Reika seraya mengelusnya lembut. "Tenang saja, Reika. Tak ada yang perlu di takutkan. Mereka tidak akan berani macam-macam selama ada Ayah di sini. Oke?" ujar Damien meyakinkan.
Mendengar ucapan sang ayah, Reika akhirnya bisa lebih tenang, ia mengangguk perlahan. Begitu Reika sudah tak lagi takut, Damien lekas menggandeng tangannya, mengajaknya untuk menapaki gangway besi yang terhubung pada kapal V-Scientist.
***
Semilir angin laut semakin terasa bersahaja, seiring dengan kapal yang berlayar dengan kecepatan menengah. Lambung kapal yang menyapu gelombang laut menciptakan melodi percikan menenangkan, mewarnai pelayaran dengan suasana tenteram lagi berkesan.
Bahkan Reika yang kini berdiri tepat di pinggir dek tak henti dibuat takjub oleh bentang laut sejauh mata memandang. Ia begitu riang, tak henti menarik nafas dalam seraya menoreh senyuman lebar, selama angin laut menghembus gerai rambut pirang, serta percikan ombak yang menciptakan tempias sayup menyentuh wajah serta pakaian gadis kecil itu.
Lain halnya dengan Reika, raut wajah risau masih saja terukir di wajah Damien, ia yang kini tengah berdiri di dek tepan tak henti memenuhi pikiran dengan kerisauan, pandangan datar menyiratkan segala pertimbangan untuk menghadapi segala kemungkinan.
Tak hanya Damien dan Reika, tiga orang awak berpakaian serba biru juga terlihat berjaga di atas dek kapal. Ketiganya memegang sebuah laras panjang perak, senjata rancangan V-Scientist yang memiliki daya tempur lebih tinggi ketimbang senjata api apapun.
"Damien. Kau terlihat khawatir sekali. Boleh aku tahu alasannya?" salah satu awak kapal menghampiri Damien, berdiri tepat di sampingnya dan penasaran akan raut risau Damien.
Damien melirik sesaat awak di sampingnya, sebelum kemudian kembali membuah pandang ke depan. "Semuanya. Kalian, E.D.E.N, serta monster-monster Gard. Bagaimana aku tak khawatir jika setiap hari yang kujalani bersama putriku selalu mengancam nyawa?" ujar Damien skeptis.
"AAAAAAAAAKKKKK!!!! AYAAAAAAAAHHHHH!!!!!"
Tak lama setelah perbincangan singkat, Damien dan para awak kapal lekas menoleh pinggir dek setelah mendengar pekikan Reika. Mereka seketika dikejutkan oleh kemunculan sesosok makhluk humanoid berkulit pucat serta terlihat memiliki insang besar di kedua sisi tubuhnya-Ichtor- salah satu makhluk yang tercipta dari pengaruh energi Gard, makhluk yang melompat keluar dari laut dan dengan cepat menarik Reika masuk ke lautan.
"REIKAAAAA!!!"
Sontak Damien tak bisa tinggal diam, dengan bermodalkan belati yang ia tarik dari penyangga pinggangnya, ia lekas berlari menuju pinggir dek, dengan cepat ia hendak melompat ke lautan, mengejar Ichtor yang baru saja menarik Reika masuk ke laut.
"Damien! Apa yang kau lakukan!? Kau sudah gila!?" seru salah seorang awak kapal.
"Diam kalian!" sentak Damien saat berlari.
Tanpa pikir panjang Damien langsung menceburkan diri, berusaha mengejar Ichtor yang baru saja menculik putrinya.
.....BERSAMBUNG.....
KAMU SEDANG MEMBACA
The Blood Judgement III | BAHASA INDONESIA
Action~Sinopsis~ Credits Penulis : 1. Indira