Dengan sedikit keraguan Tavisha merobohkan prinsipnya hanya untuk menerima lamaran dari Arkan. Ia yang dikenal teguh pada pendiriannya seakan menghilang setelah bertemu dengan pria itu. Setidaknya itu-lah yang mereka lihat.
Arkan datang dengan memba...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Dia memiliki segalanya, tanpa aku ataupun tidak dia bisa mendapatkan apapun yang ia inginkan. Tanpa terkecuali!" ~Sebatas Kewajiban~
*****
Arkan menatap lurus ke arah secangkir kopi panas yang baru saja diletakkan di atas meja di depannya. Asapnya masih mengepul pelan, menguar aroma pahit yang khas, namun tak sedikit pun membuat Arkan tertarik untuk menyentuhnya. Di saat yang bersamaan, Tavisha mendudukan diri di sampingnya.
"Jangan salah paham. Itu cuma sebagai ungkapan terima kasih buat semalam," celetuknya tanpa diminta. Tavisha seolah sudah bisa membaca pikiran pria itu. "Gini-gini juga aku masih tahu diri."
Selanjutnya, Tavisha mengangkat ke dua kakinya ke atas sofa, duduk bersilang sembari memperhatikan pria itu.
Tavisha ingin memastikan Arkan meminum kopi buatannya.
Tolong jangan salah paham, atau berpikir Tavisha menjadi luluh setelah kejadian semalam—Karena tidak demikian, Tavisha hanya ingin membalas kebaikan pria itu. Ya, tentu saja. Hanya itu.
Tavisha memang ingin mengucapkan terima kasih padanya. Ia tahu, ini mungkin sudah menjadi tanggung jawab Arkan untuk membantunya, tapi terkadang menerima bantuan yang menurutnya terasa berlebihan itu malah membuatnya tidak nyaman. Tavisha sebenarnya ingin mengucapkannya tadi malam, tapi karena dia yang kelelahan setelah hampir dua hari tidak tidur dengan layak— Tavisha justru tertidur saat menunggu Arkan keluar dari kamar mandi.
Akibatnya, sampai dia terbangun dan menemukan pria itu yang telah duduk santai di sofa dengan laptop di pangkuannya—mereka masih belum sempat lagi bicara. Arkan sangat fokus dengan laptopnya.
Gurat lelah pria itu saat kembali ke kamar hotel dengan membawa tote bag dari sebuah brand pakaian dalam ternama, masih terekam jelas di kepala Tavisha sehingga ia berpikir berulang kali sebelum berbicara dengan pria itu—mengingat pembicaraan mereka tidak pernah berakhir dengan baik.
Namun karena hening yang terlalu lama, dan Tavisha merasa bosan setelah membulak-balik buku yang isi tulisannya sama sekali tidak dia mengerti, ide untuk membuatkan kopi muncul tiba-tiba.
"Kopinya bisa dingin, tahu, kalau kelamaan didiemin," celetuk Tavisha, kalimatnya mengandung makna tersirat.
"Kasihan kopinya malah kamu cuekin," lanjutnya, saat pria itu masih tak menggubris perkataanya.
Arkan menghembuskan napas kasar. Dia bukannya tidak mengerti dengan maksud Tavisha—Arkan saat ini hanya tidak punya waktu untuk mengurusi perempuan itu.
"Saya tidak minum kopi. Kamu bisa meminumnya sendiri," ujarnya akhirnya.
Bola mata Tavisha melebar, menatap pria itu tidak percaya. Bagaimana bisa Arkan baru mengatakannya sekarang? Ke mana saja pria itu saat Tavisha menaruh kopinya beberapa saat yang lalu?