Mungkin sudah banyak yang pernah melihat atau mendengar mengenai para penyapu uang koin yang terdapat di beberapa pinggir jalan kota-kota kecil.
Di beberapa tempat itu, sejatinya mereka berebut dengan sapunya masing-masing untuk mengumpulkan koin yang ditebar begitu saja oleh pengendara yang melintas di jalan.
Mitosnya, para pengendara menebar koin untuk bersedekah agar diberikan keselamatan perjalanan, atau menghindari malapetaka ketika hendak melintasi jalan-jalan tertentu, seperti jembatan, hutan, ataupun jalan yang rawan kecelakaan.
Asrul, Soni, Tarjo, Nur, dan Leni adalah penyapu koin generasi terkini yang melanjutkan tradisi di kota kecil mereka.
Di sisi utara jembatan Sungai Klatak mereka sudah bersiaga dengan menenteng sapu-sapunya. Sorot mata yang awas terus diedarkan pada pengendara yang melintas.
Sebuah mobil truk berpetikemas besar melintas perlahan. Sopir membuka kaca, tersenyum melihat mereka bersiaga, dan melemparkan beberapa koin.
Asrul bersikutan dengan Soni, sementara Nur menahan Leni dengan tangannya.
Tidak ada yang menjaga Tarjo, ia berhasil bebas mengambil dua keping koin.
Satu keping lagi didapatkan Leni yang berhasil melepaskan cengkeraman Nur.
“Ah. Kau payah, Asrul. Kenapa harus sikut-sikutan?” Keluh Soni pada Asrul.
“Biasanya kau selalu menyerobot, Soni. Makanya saya sikut. Hahaha”
Senyum Leni mengembang tipis ketika menatap koin yang digenggamnya, sementara Tarjo sibuk memasukkan koinnya ke dalam saku celana.
Ketika mereka sibuk berselisih, sebuah sepeda motor melintas agak cepat. Si pengendara memakai masker dan sarung tangan hitam, berpakaian serba hitam menutupi kulitnya. Ia melemparkan sebuah koin ke arah mereka.
“Koin! Koin!” Seru Nur.
Mereka berlari ke arah koin itu dilemparkan. Asrul yang berhasil mendapatkannya. Namun ada yang aneh dari koin itu.“Buset, koin apa nih? Basah banget juga,” ujar Asrul yang terheran mendapati koin yang belum pernah ia lihat sama sekali semasa hidupnya, “ih bau juga, loh!” Bau amis menyerbak dari koin tersebut.
“Eh, ini kayaknya koin gulden, deh.” Cetus Leni.
“Koin gulden? Apa, tuh?” Tanya Asrul yang memegangi koinnya sambil menutup hidung.
“Kau tamatan SMA masa gak tau, sih? Koin Gulden itu uang yang dipakai waktu zaman penjajahan Belanda!” Soni menimpali.
“Dari mana kalian bisa menyimpulkan ini Gulden?”
“Dilihat dari gambarnya,” Leni menyambar koin dari tangan Asrul, “corak pada permukaannya sudah pudar tapi masih terlihat seperti mahkota. Dulu nenek saya pernah punya koin Gulden seperti ini tetapi sudah dijual.”
“Bisa dijual? Laku berapa, Len?” Giliran Tarjo yang kepo, memegang koin itu sejenak lalu Soni dan Nur bergantian.
Mata Leni berbinar, “Kita kaya!” ia berjingkrak-jingkrak kegirangan.
Melihat Leni yang berjingkrak menggenggam koin itu, rekan-rekannya kebingungan. Asrul kembali penasaran, “Woy, Leni. Laku berapa?”
“Nenek saya menjual koin Gulden ke bank,” Leni sejenak berpikir, “Saya lupa berapa Gulden, tapi koin itu laku terjual tujuh puluh juta!”
Sontak rekan-rekannya terkejut, “tujuh puluh juta?”
“Akhirnya, saya bisa segera meninggalakan pekerjaan sialan ini. Semisal kita dapat masing-masing sepuluh juta, itu sudah cukup untuk biaya hidup sehari-hari ataupun membuka usaha kecil.” Ucap Soni bersemangat.
“Mari kita bersihkan, lalu kita jual!” Asrul membanting sapu panjangnya.
*** Next BAB 2 *** --->>>
KAMU SEDANG MEMBACA
Gulden: Sacrifice
Short StorySekelompok penyapu koin di jalanan menemukan sebuah koin misterius yang dilemparkan seseorang kepada mereka. Diketahui koin itu adalah koin Gulden, mata uang Belanda yang digunakan pada masa pendudukan pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia (Hin...