Candala Store (toko yang hina), diksi yang tepat untuk menggambarkan sebuah store tersebut. Namanya Lavender Store, toko kecantikan yang menggoreskan luka yang cukup dalam.
⚠ PERINGATAN DILARANG KERAS MENGGUNAKAN KATA-KATA KASAR & KOTOR dari cerita...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
❁ ❁ ❁
𖡼𖤣𖥧𖡼𓋼𖤣𖥧𓋼𓍊
Kami mulai memasukkannya ke dalam keranjang belanja berwarna merah yang cukup besar.
Sekiranya semua keranjang sudah penuh, kami secara bergantian mengangkat keranjang yang cukup berat itu ke lantai dua, aku mengawalinya sebab barang-barang tersebut adalah barang yang menjadi tanggung jawabku.
Aku menaiki anak tangga dengan mengangkat keranjang merah yang di penuhi beberapa pack buku tebal, tubuh mungilku cukup kewalahan untuk mengangkatnya, oleh sebab itu aku mengangkatnya dengan kedua tanganku. Menaiki anak tangga dengan mempercepat langkahku agar cepat sampai di lantai dua.
Saat aku menumpuk buku-buku itu di lantai, Nila datang dengan membawa beberapa barang lain. Kami menyusunnya bersamaan, tak lama dari itu Amra menghampiriku dan menanyakan beberapa hal kepadaku. "Bagaimana kesan pertama masuk kerja, Kirania? Capek?" ucapnya seraya menyusun barang yang ada di sampingku.
"Ya begitu saja, Teh. Kalau kerja pastinya capek, sih." Aku menjawabnya dengan tertawa kecil, memecah suasana hening menjadi candaan.
"Bagaimana pun caranya, kamu harus bisa menyusun semua barang tadi ke rak kamu. Kalau tidak muat, pokoknya di muat-muat kan, pikir bagaimana caranya biar bisa muat," perintah Amra kepadaku, ia pun kembali menuruni anak tangga dan duduk bersantai di meja kasir.
Aku sedikit berpikir, bagaimana bisa rak segini muat untuk barang-barang sebanyak itu. "Ahh, itu pikir nanti saja, lebih baik aku kerjakan dulu," ucapku tak bersuara seraya menarik napas panjang.
Setelah selesai kami bergantian dengan Fadillah dan juga Mayra. Aku dan Nila berjaga di bawah sembari menyusun kembali barang-barang lain ke dalam keranjang kosong yang kami bawa, sementara Fadillah dan Mayra menyusun barang-barang ke lantai dua.
Barang-barang yang cukup berat, serta naik turun tangga yang kami lakukan beberapa kali membuat kami kelelahan, sampai pukul dua belas siang kami baru beristirahat serta bergantian untuk makan siang.
Saat Fadillah melewatiku, ia menyapaku, mengajak bersalaman dan berkenalan dengannya. Sebab hanya waktu itulah kami bisa berbincang cukup lama.
Fadillah mengulurkan tangannya ketika aku akan melepas manset tangan yang aku kenakan, aku pun menyambut salaman itu dengan lembut.
"Namaku Fadillah, panggil saja Dilla," ucapnya mengawali sebuah perkenalan itu.
"Namaku Kirania, Mba." Fadillah pun tersenyum hangat kepadaku, wajahnya tampak begitu ramah.
Ia pun melanjutkan aktivitasnya. Saat ia melewatiku kembali, aku memberanikan diri untuk menayakan tentang tempat salat, sebab azan sudah berkumandang dari masjid yang tak terlalu jauh dari sana.