Prakata

10 3 1
                                    

Ada satu hal yang mungkin selalu mengganggu seorang penulis, siapa pun dia: rasa gusar ketika isi di kepala tidak segera dikeluarkan. Tentu, seni menulis adalah mengeluarkan hal-hal tersebut secara teratur, tertata, dan artistik (apabila itu adalah fiksi atau sastra lainnya).

Di sisi lain, rasa-rasanya para penulis telanjur terbiasa dengan tatanan dan sistem yang telah ajeg: menulislah dengan metode tertentu, menulislah secara teratur, suntinglah tulisanmu secara saksama, dan lain sebagainya. Namun, apa yang terjadi apabila gejolak di kepala ini sudah sedemikian besar,  sehingga Anda hanya ingin menulis saja. Menulis saja yang mana itu menabrak dan melanggar segala aturan dan sistem. Menulis yang hanya menulis hingga ledakan itu mereda (tapi pasti ledakan itu akan terjadi lagi dan lagi).

Inilah yang hendak saya lakukan.

Namun tentu saja, tulisan tidak akan bisa muncul dari udara kosong. Sekacau-kacaunya pun, harus ada satu titik tolak yang jelas. Di sini saya menggunakan kamar yang dahulu pernah saya tinggali. Kawasan Medokan Asri di Kecamatan Rungkut, Kota Surabaya memiliki makna penting bagi saya pribadi. Sekarang, saya hendak mencoba memelintir memori-memori tersebut menjadi sesuatu yang, mungkin baru, mungkin juga tidak benar-benar baru.

Saya pribadi, di saat ini, tidak bisa berharap penuh akan suatu keterbacaan yang mengikat erat para pembaca di kisah ini. Andaikan kisah ini tetap dapat terbaca, sesungguhnya rasa terima kasih akan selalu mengalir untuk mereka yang membacanya.

Salam,

Riyan Surya R.

Kamar di Tepi JalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang