Sudah pagi lagi, mengapa malam terasa begitu cepat. Malam terasa seperti pelarian bagiku, tempat aku melupakan sejenak tentang dunia. Lelah, frustasi. Tapi, aku harus bangun. Dua anakku harus makan. Kedua anak yang paling kukasihi sedunia.
Mereka memang banyak ulah, tapi kehadiranku adalah keharusan untuk mereka. Kulihat isi dompetku, sudah kuduga. Kosong. Tersisa lima ribu, uang terakhirku. Rasanya ingin menyerah Tuhan, tolong aku biar masih ada hari esok buat anak-anak. Anak-anakku sudah bangun. Mereka pintar, membereskan kasur sendiri bukan hal sulit.
Yang sulung amat tepat waktu, bangun jam tujuh pagi adalah kebiasaannya, tubuhnya seakan memiliki alarm alami. Yang bungsu terlihat lebih santai, tidur seperti kerbau dan marah kalau lelapnya diganggu. Kami melakukan rutinitas pagi kami, berdoa menghadap Yang Maha Kuasa bersyukur atas apa saja yang bisa disyukuri dan membaca buku yang memandu kehidupan kami. Sarapan, beruntung masih ada susu di kulkas. Biarlah mereka ambil sendiri, hal kecil ini mampu membuat mereka mandiri kelak.
Ini hari Sabtu, kedua anak perempuanku tidak sekolah. Yang sulung tujuh tahun dan yang bungsu empat tahun. Mereka dekat, akrab bermain bersama. Bertengkar? Sudah pasti, aku juga pernah jadi anak kecil, tahu betul pertengkaran antar saudara yang tak bisa dielakkan. Kuusahakan jadi ibu terbaik, menginvestasikan mainan edukatif ke mereka jadi hal sederhana yang wajib aku lakukan. Kubuat aturan ketat dalam urusan bermain, jika ingin bermain pastikan pekerjaan rumahmu beres, sudah mandi pagi dan sarapan. TV hanya boleh dinyalakan di atas jam sembilan pagi. Makan pun harus tanpa TV dan mainan harus dibereskan lagi ke tempatnya.
Oh, sudah mau jam makan siang. Tak ada apapun di kulkas, persediaan di dapur untunglah ada minyak, tepung, beras dan garam. Kutinggal anak-anak dan bersepeda untuk ke tukang sayur komplek yang biasa ngetem di blok lain. Berbekal uang lima ribu, ku beli telur lima butir. Tak ada hal lain yang bisa ku beli. Sayur lima ribu hanya untuk sekali makan, karena akan menyusut. Sedangkan telur bisa kukocok dengan tepung agar bisa lima kali makan.
Aku tahu ini bukan makanan terbaik untuk mereka, gizinya pun bisa kubilang tak ada. Tapi kemampuanku sekarang hanya sebatas membuat anak-anak kenyang. Maaf, Nak. Aku kembali ke rumah dan menggowes sepedaku kembali. Kukayuh pelan-pelan takut ada telur yang pecah. Seberharga itu telur ini karena bisa untuk lima kali makan. Memperpanjang hidup kami hingga dua hari, maksimal.
Terlalu fokus menggowes sepeda, aku tak sadar ada bunyi barang jatuh di sekitarku. Saatku lihat apa yang jatuh, ternyata telurku! Cobaan apa lagi ini Tuhan! Teriakku dalam hati. Plastik yang dipakai tukang sayur itu berlubang dan menyisakan tiga butir karena dua butirnya sudah tidak terselamatkan. Perih melihat dua butir telur jatah dua kali makan keluarga kami berkurang. Rasanya sakit, ingin menangis pun kutahan. Aku ambil pecahan telur yang jatuh dengan gemetar menahan panasnya mata yang berkedip, memasukkannya ke plastik agar tidak mengotori jalan.
Kuikat plastik ini dan bagian yang bolong kuikat kuat-kuat. Naiklah aku ke sepeda dan kembali ke rumah dengan perasaan was-was melihat tiga butir telur terakhir kami. Bertahanlah. Terlihat tegarlah, agar anak-anakmu pun kuat.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Asam Pahit
JugendliteraturTentang rasa asam, pahit yang mendominasi dengan kenangan micin, manis yang membalut belahan otakku yang entah sebelah mana. Disimpan pun rapi di perpustakaan tempat miliaran neuron ingatan dan kenangan. Aku hanya mendokumentasikannya lewat narasi...