Cerita Telur (2)

1 1 0
                                    

Senangnya diriku, sejauh mungkin Tuhan mendengar doaku, perkara makan telur saja jadi sesuatu yang mewah. Diberilah aku dua kilo telur, dua plastik masing-masing sekilo. Bahagianya bukan main. Kemarin ku hanya mampu membelinya lima butir. Jatuh pula dengan mengenaskan, tersisalah tiga butir.

Nak, sekarang ada dua kilo telur. Makanlah yang banyak. Puji Tuhan, Tuhan mendengar doa kita, Nak. Se-senang itu melihat harta karun ini. Perbaikan gizi ya kita, Nak. Tak perlu terigu dan air lagi, untuk masak telur. Satu orang dua telur pun tak masalah. Tak perlu lagi satu telur bagi tiga.

Saatnya makan siang, beras sudah kutanak. Inginlah kumasak telur mata sapi. Sederhana bukan? Tapi aku bosan dengan telur dadar campur tepung dan air. Kusiapkan wajan, tuang sedikit mentega, pecahkanlah telur yang pertama. Deg!

Busuk? Warnanya hitam pekat, busuk dan amis setengah mati. Oh, kebetulan saja aku dapat yang busuk. Kubuanglah telur itu, kubuka telur yang kedua, ketiga dan keempat. Busuk lagi? Diriku masih berpikir bahwa mungkin saja hanya sebagian yang busuk dan kebetulan aku mendapatkan yang busuk diawal-awal.

Kupecahkanlah cangkang telur kelima, keenam, ketujuh. Busuk juga? Aku rasa ada yang tidak beres dengan semua telur ini. Aku bawalah dua plastik hitam berisi dua kilo telur yang belum dipecahkan ke depan teras, beserta satu baskom besar untuk menampung telur yang masih dapat ku makan. Rencananya aku akan membuang telur yang busuk ke saluran air alias got yang sama baunya karena aku tidak tahan dengan bau busuk dan amis yang menempel di dapur, kalau ku buang yang busuk ini ke tempat sampah di dalam rumah.

Telur kedelapan, kesembilan, kesepuluh. Tidak ada harapan, sama semua busuknya. Ku pecahkan semua telur hingga tanpa sadar satu plastik berisi kurang lebih enam belas butir telur terbuang karena busuk.

Hati mulai merasa tak enak, jangan-jangan memang semua telur ini busuk. Dua kilo semuanya busuk?! Kubukalah satu demi satu lagi telur di plastik yang kedua. Telur pertama, busuk. Butir per butir sambil menahan air mata, berharap minimal ada satu saja yang bisa kami makan. Satu butir lagi busuk, semakin sakit hati ini melihat telur busuk.

Butir berikutnya tetap busuk, masa iya tiga puluh dua butir telur tak ada satupun yang bisa kami makan? Semakin kalutlah pikiranku, jika semua telur ini busuk kami makan apa siang ini? Butir berikutnya pun dipecahkan, sama penampakannya, hitam. Pengar hidung ini mencium bau busuk, hingga tak bisa mencium karena menahan isak tangis dan air yang menyumbat hidung karena perihnya hati.

Sampailah di butir terakhir, berharap, Tuhan! Semoga ini bisa dimakan! Nyatanya, hitam. Tunggu, apa maksud dari si pemberi telur? Apa wajar dan sah-sah saja kalau hal ini terjadi? Memberi dengan maksud ingin dipuji karena berbaik hati, tanpa tahu yang diberi semuanya busuk! Mataku merah, tanganku bergetar menahan makian yang melolong kuat di hati yang perihnya bukan main karena diperlakukan hina.

Kutelponlah orang tuaku, beliau jauh dari rumah jadi tak tahu keadaanku yang sebenarnya. Tak pernah aku berkeluh kesah demikian, segala sesuatu coba kupikul sendiri dengan mengandalkan doa dengan yang Maha Kuasa. Tapi kali ini berbeda, kuadukan semua kekesalan hatiku dengan sedu pilu. Aku paham betul, memang aku orang susah, tapi rasanya keterlaluan jika memperlakukan sesama manusia demikian. Memberikan dua kilo telur busuk? Kau berharap kami dapat menampung telurmu itu dan rela memakannya dengan senang hatikah?

Orang tuaku tak percaya aku diperlakukan demikian. Beliau menelpon orang tersebut dan caranya bicara seolah berkata sah-sah saja bukan memberikan barang pada orang lain? Kurasa dengan tanpanya rasa bersalah dan sedikit membela diri, pura-pura tidak tahulah dia kalau telur itu memang sudah lama tidak dipakai, dibiarkan diberikan dalam keadaan tak pantas dengan maaf seadanya.

Terimakasih sudah membuat hatiku panas sedih pedih karena diinjak-injak demikian. Terimakasih sudah membuat diriku sadar akan bagaimana caramu memandang dan memperlakukan orang lain. Terimakasih karena hari ini aku jadi tahu bagaimana rasanya mensyukuri dan tahu harga dari sebutir telur.

Asal kau tahu, orang jahat yang melakukan tindakan hina sekalipun tahu bagaimana membeli beras atau roti untuk anaknya. Takkan pernah mereka memberikan anaknya ular saat mereka meminta roti. Yang kuyakini pun Yang Maha Kuasa pasti memberikan apa yang terbaik untuk ciptaan-nya. Teruntuk dirimu yang melakukan ini padaku, terbuat dari apa hatimu? Apa nuranimu mati rasa atau sifat kanak-kanakmu yang buruk terbawa hingga kau beranak? Menurutmu, apakah memberikan telur busuk pada seseorang yang minta telur layak makan bisa dibenarkan? Kalau demikian, rasanya lebih baik hentikan saja permainan keluarga-keluargaan ini.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 01 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Asam PahitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang