Agen - 40

59 11 12
                                    

"Ehmmm, Mbak Gia jangan cium-cium. Muka Agan basah." Agan melenguh pelan saat merasakan bahwa ada benda kenyal mampir ke seluruh wajahnya.

Pria itu sedang terlelap. Namun, begitu ada liur basah menempel di wajah, Agan terusik. Tangannya mengusak dengan kasar.

"Ehm Mbak—"

"BANG!" Suara melengking khas seorang anak kecil terdengar tepat di telinga Agan. "BANG! ANUN!"

Agan membuka matanya dan sontak menoleh ke kanan di mana ada seorang anak kecil berambut lurus sebahu dengan piyama gambar hello kitty, terlihat duduk di atas kasur Agan. Tepat di samping Agan yang masih rebahan.

"Anun Abaaaang." Suara melengking dengan bicaranya yang cadel kembali tersengar. Katanya bermaksud untuk membangunkan sang Kakak.

"Kiaaa, kamu yang ciumin Abang, ya?" ucap Agan dengan suara serak dan memunggungi sang adik.

"Utan! Bongcor yang tium." kata Kia seraya menunjuk Bongsor, kucing anggora yang Abah adopsi 7 bulan yang lalu.

Agan melotot saat itu juga. Bongsor? Si kucing anggora dengan look muka belangsak dan pesek itu? Buru-buru Agan mengangkat kepala dan mencari keberadaan Bongsor yang ternyata sedang nangkring di atas tumpukan baju milik Agan.

Pria itu mendengkus sebal dan sontak mengelap wajah yang penuh dengan air liur Bongsor itu dengan selimut. Iuh, liur anabul!

"Abang anuuun." Kia menggoyangkan tubuh Kakaknya agar Agan segera bangkit.

"Abang ngantuk." tanggap Agan sambil meraih boneka paus yang sedari tadi dipeluk oleh sang adik. "Kia kenapa udah bangun? Ini 'kan masih jam 6." tanyanya lembut pada Kia.

"Tia Tia, mau itut Abang ke aden!" Gadis kecil itu mengerucutkan bibirnya.

"Iya nanti kita ke agen jam setengah delapan, ya."

"Yeyyy tita ke aden!" Kia berseru senang.

Agan terkekeh saat melihat adiknya berseru riang seperti itu. Kini, Kia sudah berusia 4 tahun. Waktu bergulir begitu cepat. Rasa-rasanya baru kemarin ia melihat Kia masih berumur 1 tahun dalam gendongan Bundanya dan sekarang adiknya itu sudah bisa berjalan dan berbicara. Walau bicaranya masih cadel dan artikulasinya belum jelas.

Kia tumbuh menjadi gadis kecil yang lucu dan ceriwis. Seiring berjalannya waktu, Agan tambah menyayangi adiknya yang lucu itu. Kia menjadi salah satu prioritas Agan yang mesti dijaga dan disayang sepenuh hati.

"Emang Kia udah mandi?" tanya Agan seraya bangkit dari rebahannya.

"Beyum. Tata Nda, ental aja."

"Terus udah mam?"

"Beyum."

"Nanti kita beli bubur, yuk!"

"Ote!"

Agan mengulas senyum dan mengusak rambut halus Kia dengan lembut.

"Tadi...Abang ngomong Mbak Gia—Mbak Gia itu ciapa, Bang?"

Agan menautkan alisnya sembari berpikir. Hah? Tadi kapan?

"Kapan Abang ngomong gitu?"

"Tadi..." jawab anak itu dengan raut muka polosnya, "pas Abang bobok."

"Oh ya?" Agan menaikkan kedua alisnya dan menggaruk tengkuk dengan canggung. Kia pun mengangguk. "Mbak Gia itu...temen Abang. Tuh orangnya.." Agan pun menunjuk sebuah pigura berukuran 10 R yang terpajang di tembok kamarnya. Menampilkan foto Agan dan Gia sewaktu pacaran dulu. Foto mereka berdua yang Agan sengaja cetak dan dia pajang di kamar.

Agen AganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang