Waktu kecil:

Aku dibesarkan oleh seorang wanita, di mana dia mendapatiku dalam keadaan tidak bisa berjalan. Nama wanita itu adalah Baiyar. Waktu kecil, ayah dan ibuku berada di Pekanbaru, karena ibu bertugas menjadi seorang guru di sana. Tepat pada tahun 1992, aku mengesoh karena anak sekecilku sepatutnya sudah bisa berdiri, bukan merangkak lagi. 

"Monra!!!" Bibiku kasihan melihatku. Di usia 2 tahun, seharusnya aku bisa berlari dengan begitu kencang. Melompat mendengarkan lagu anak-anak. Tapi, saat aku ditinggalkan oleh bibiku, aku dilatih bagaimana berjalan dengan dipapah sampai bisa dilepas. Kata bibiku kala itu, aku memiliki inisiatif yang kuat dalam belajar berjalan sendiri dengan meletakan tangan, kedinding-dinding.  Lalu jatuh lagi. Dengan kesabaran yang luar biasa, akhirnya aku mulai bisa berjalan, walau sedikit lecoh, tapi aku berusaha untuk berdiri. 

Aku terus melakukannya, sampai akhirnya aku bisa berlari dan itu diceritakan oleh bibiku dengan riang gembira, sambil menelvon dengan menggunakan telvon kabel dan juga telegram.

Bibiku terus membimbingku mengajariku belajar, berbicara, sampai beberapa saat kemudian, keluargaku datang kembali dan menetap ditempat aku dibesarkan. Ibu kala itu membawa adikku bernama Sita yang masih dibedong.

"Mamma!!" Mendengar itu ibuku senang luar biasa.

"Mas!! Lihat mas!!! Dia manggil aku Mamma!!" Ujar ibuku. Wanita mana yang tidak senang, kala anak yang dia lahirkan akhirnya memanggilnya dengan sebutan mama? Sementara kata ibuku, ayahku tidak mengapresiasi akan hal itu.

"Heh, semua anak bisa manggil mamma kalau diajarin. Sudahlah, jangan semuanya dianggap istimewa!! Berlebihan kamu!!" Ujar ayahku, yang marah-marah tidak jelas.  Ibuku kala itu, yang raut wajahnya senang, tiba-tiba menjadi sedih kala ayahku berkata demikian. 

Makin lama, aku tumbuh besar.  Ibu dan bibi melihat perkembanganku dari tahun-ke-tahun. Ibuku sangat bahagia melihatku. Bahkan saat aku masuk sekolah, dia mati-matian mengajariku agar aku menjadi anak yang pintar. Namun, semua itu hanya ibuku saja yang berperan, bukan ayah. Ayah hanya sibuk dengan dunianya. Dia selalu merasa dirinya paling unggul. Bahkan ketika aku kecil, aku membangga-banggakan beliau. 

Aku bahagia punya ayah kala itu. Tapi tidak dengan dia. Dia tidak pernah menghargai usahaku dalam melakukan yang terbaik. Apapun, hasil yang ku peroleh dianggap enteng baginya.

Kala itu, aku ingat aku mendapat rangking satu dikelas pertamaku, saat aku memasuki sekolah dasar. Ibuku bangga kepadaku, karena ternyata aku adalah anak yang amat pintar.

"Pintar banget anak mama!" Mama berkali-kali mencium keningku karena saking bangganya.

"Apa yang dibanggakan dari rangking satumu itu? Berprestasipun tidak ada gunanya dimasa depan!! Tengok, sudah besar anak si Meta, dulu dia juara satu gak jadi apa-apa dia sekarang!!!"

Mendengar itu, ibuku menjadi sedih. Padahal dalam proses aku belajar, ada ibu yang membimbingku dengan penuh kasih sayang.  Aku mendengarnya, juga ikut sedih. Aku berfikir kenapa ayahku seperti itu? Membandingkan seseorang yang sudah dewasa, di mana masa depannya sudah jelas, sementara aku tidak.

"Kamu jangan dengarin papa kamu ya? Mama bangga dengan rangking satu kamu!"

"Tapi kalau papa gak bangga, apa artinya mah."

"Papa kamu memang gak bisa menghargai segala hal. Intinya, kalau kamu bukan kebanggaan papamu, kamu adalah kebanggaan mama. Oke."

Mendengar itu, aku tersenyum karena itu sangat menghiburku. Tahun demi tahun, aku mendapatkan rangking satu terus. Hingga pada saat kelas 5 SD. Mama memberikan aku mobil-mobilan dan peralatan lukis, lantaran aku hobi menggambar. Mama mendukung bakatku. Ketika aku dibelikan peralatan lukis, terlihat jelas oleh ayahku. Beliau marah besar. Dia mengambil paksa hadiah yang ibu berikan kepadaku.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 28 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Hadiah PertamaWhere stories live. Discover now