Aku pura-pura tak menyadari dengusan Jessy ketika melihatku berbaring di atas ranjangnya masih lengkap dengan pakaian kantor kebanggaanku. Sepupuku yang satu ini memang sangat menyukai segala hal yang berbau bersih semenjak kami beranjak remaja. Sifat yang dulu menurutku tidak mungkin melekat padanya, terlebih lagi bila mengingat Jessy kecil yang sangat suka bergulat dengan lumpur dan sejenisnya. Mengingat hal itu membuat aku tersadar, banyak hal yang berubah selama kami beranjak dewasa. Namun diantara semua perubahan yang terjadi, ada satu hal yang tidak berubah dari kami kecil hingga sekarang, Jessy tetap menjadi sosok seorang kakak yang selalu melindungiku. Karena itulah aku sangat menyayanginya.
"Tapi pagi Papi menelepon, katanya minggu ini Papi dan Mami kembali dari Belanda," kata Jessy sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Oh ya? Bukannya seharusnya Om dan Tante masih seminggu lagi disana?"
"Ternyata urusan mereka selesai lebih cepat, jadi mereka memutuskan pulang lebih cepat, katanya sih mereka merindukan putri-putri mereka yang cantik," tanpa terasa senyumku mengembang menyadari putri-putri cantik yang dimaksud Om Thomas adalah aku dan Jessy.
Memang semenjak kedua orang tuaku meninggal 20 tahun lalu dalam kecelakaan mobil, Om Thomas dan Tante Mery-lah yang mengambil alih hak asuhku. Mereka memperlakukanku selayaknya anak sendiri, tak pernah sekalipun mereka menganak tirikanku selama hampir sembilan belas tahun ini. Dan yang paling membuatku merasa bersyukur adalah Jessy yang tak pernah sekalipun mengeluh karena orang tuanya membagi kasih sayangnya untukku juga.
"Bagaimana jika minggu ini kita menginap di rumah? Kau tidak ada pemotretan akhir minggu inikan?" semenjak dua tahun yang lalu, aku dan Jessy memang memutuskan untuk hidup mandiri dan membeli apartemen masing-masing. Aku memilih apartemen yang tidak terlalu jauh dari kantorku sementara Jessy memilih apartemen di tengah kota, maklum profesinya sebagai model menuntutnya untuk tinggal yang di tempat yang strategis.
"Boleh saja, lagi pula aku juga rindungan dengan masakan Mami," Jessy terkikik ketika mengatakannya, mau tak mau aku juga ikut tertawa bila mengingat masakan Tante Mery yang selalu saja gosong, tawa kami terputus ketika handphone Jessy berdering. Senyum ceria yang mengembang di wajah Jessy seperti petunjuk bahwa Gerry lah si penelepon itu.
Selama Jessy menerima telepon, aku menyibukan diri dengan mengutak-atik handphone-ku. Ada beberapa line yang belum semat ku balas. Sesekali aku menguap menandakan tubuhku yang mulai lelah. Hampir saja aku pergi ke alam mimpi jika Jessy tidak mengagetkanku.
"Jangan tidur Key, lihat sekarang masih pukul berapa," jam tangan berlambang AC berada tetap di depan kedua mataku yang setengah terpejam.
"Aku lelah Jes," aku berusaha mendorong lengan Jessy yang jaraknya hanya beberapa senti dari wajahku.
"Bangun Key, ini bukan waktunya tidur," aku membalikkan badanku berusaha mengabaikan Jessy, tapi sepertinya Jessy memang tak berniat meloloskanku begitu saja, terbukti dengan guncangan-guncangan yang mulai terasa di bahuku. "Ayolah Key, dari pada tidur, lebih baik kau menemaniku bertemu dengan Gerry," menemaninya bertemu dengan Gerry? Tidak mau, dari pada menjadi obat nyamuk di sana bukankah lebih enak tidur di kasur yang empuk ini.
"Tidak mau, yang ada nanti aku malah mengganggu kencan kalian," aku berusaha tetap pada posisiku mengabaikan Jessy yang dengan sadisnya terus mengguncang-gunjang tubuhku seperti mainan.
"Tentu saja tidak, nanti akan ada Alexander, kau bisa di temani olehnya disana," aku tahu siapa Alexander yang dimaksud Jessy, pria itu adalah sahabat Gerry semenjak kuliah –begitulah yang kudengar dari Jessy- memikirkan akan di temani olehnya, membuatku semakin malas bangun dari kasur ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Little Lie
RomanceKata orang bahagia itu ketika kita mencintai orang yang juga mencintai kita. Tapi haruskah aku bahagia, ketika mencintai orang yang hanya berpura-pura mencintaiku. -Keysa