"Ck, dasar ratu es. Bagaimana bisa dia berterimakasih tanpa memandang ke arahku sama sekali. Mungkin aku juga yang sudah gila karena berusaha peduli pada wanita seperti itu," dengan kesalku injak pedal gas dan berlalu meninggalkan parkiran apartemen ratu es itu.
Jika bukan karena kode keras yang di berikan Gery lewat tatapannya, mana mau aku berinisiatif untuk mengantarkan wanita dingin itu. Lebih baik aku bergegas menemui salah satu wanitaku dan melakukan olahraga malam yang menyenangkan. Andai saja aku tidak menyetujui permintaan Gery minggu lalu, aku tidak perlu mengalami hal menyebalkan seperti ini. Jika bukan kerana imingin-iming villa Gery yang sudah lamaku incar, mana mau aku melakukan hal gila seperti ini. Merayu si ratu es hah! Yang benar saja. Dengan kekesalan yang masih tersisa, aku mencari kontak Gery di handphone-ku.
"Ada apa?" ujar seseorang di sebrang sana.
"Dimana kau?"
"Aku sedang di apartemen Jessy. Ada apa? Mendengar nada suaramu sepertinya kau sedang kesal,"
"Ku tunggu kau di apartemenku dalam setengah jam. Jika tidak ku anggap perjanjian di antara kita batal," ku putuskan sambungan tanpa menunggu respon Gery di sebrang sana.
***
"Dia hanya tidak menatapmu saat mengucapkan terimakasih dan kau semarah ini?" ingin sekali aku menghapus seringai mengesalkan di wajah Gery.
"Apa kau tidak mengerti Gery? Aku sudah berusaha baik padanya dan lihat apa yang ku dapatkan? Dia menerima jaketku dengan setengah hati seolah-olah aku ini mengidap penyakit kulit bahkan sepanjang perjalanan tak sekalipun si ratu es itu berniat mengajakku bicara, lalu yang lebih parah lagi dia mengucapkan terimakasih tanpa memandang ke arahku. Aku benar-benar merasa tidak di hargai di sini," aku manatap sahabatku ini dengan kesal.
"Ayolah Alexander, sejak kapan kau berubah menjadi pria dengan sejuta rajukan seperti ini? Mungkin dia menolak jaketmu karena tidak ingin merepotkan dan omong-omong soal 'mengajaku bicara', bukan kah selama ini kalian memang jarang bicara? Kenapa baru sekarang kau mempermasalahkannya? Lagi pula kita sama-sama tahu Keysa bukan tipe wanita yang banyak bicara. Satu lagi, masalah dia mengucapkan terimakasih tanpa memandangmu, menurutku yang terpenting dia sudah berterimakasih dari pada dia turun tanpa mengucapkan sepatah katapun," dalam hati aku menggeram menyadari kebenaran dalam kata-kata Gery.
"Bagaimana? Apa sekarang otakmu sudah jernih? Jadi sekarang waktunya kau berhenti merajukkan?"
"Sialan kau! Aku tak pernah merajuk seumur hidupku,"
"Hahaha baiklah baiklah kau tidak merajuk, tapi hanya sedikit merengek,"
"Sialan!"
"Hei! Aku datang ke sini bukan untuk kau umpat sesukamu. Tapi jujur saja, baru kali ini aku melihat seorang Alexander uring-uringan hanya karena seorang wanita. Kemana Alexander sang ku kenal selama ini? Hanya karena sekali penolakan dari seorang Keysa kau susah menyerah begitu saja heh?"
"Kau benar-benar menyebalkan Gery. Aku memintamu datang ke sini bukan untuk memanas-manasiku,"
"Jangan menyalahkanku, karena tanpa perlu kupanas-panasi pun kau memang suah panas duluan. Ayolah man, Keysa berbeda dengan wanita-wanita yang kau kencani selama ini. Dia tidak akan luluh hanya dengan sedikit kebaikan hatimu. Kau perlu sesuatu yang lebih, sesuatu yang dapat membuatnya menyadari keberadaanmu,"
Aku mencerna setiap kata yang di ucapkan Gery dengan seksama. Ada benarnya yang di katakan sahabatku ini. Keysa berbeda dengan wanita-wanita yang selama ini ku kencani. Dia bukan tipe wanita yang dengan sedikit perhatian dariku langsung bersedia menghangatkan ranjangku setiap malamnya. Aku butuh sesuatu yang lebih dari bisanya. Sesuatu yang membuat Keysa tidak bisa berhenti memikirkanku. Sesuatu yang membuat wanita dingin itu bergantung padaku.
***
"Dokter Alexander, sekarang sudah waktunya istirahat, apa anda ingin saya bawakan makan siang?" aku menatap Suster Syifa yang sedang tertunduk malu-malu di hadapanku. Ku teliti wajah suster yang sebulan baru bergabung di rumah sakit ini. Manis. Bukannya aku tidak menyadari sinyal-sinyal ketertarikan yang di pancarkan suser manis ini padaku. Sendainya kami dipertemukan pertama kali di luar lingkungan kerja seperti ini, mungkin saja aku sudah mengencaninya sejak pertama kali bertemu. Tapi sayangnya tidak seperti itu yang terjadi. Dan panang bagiku mengencani rekan sekerja. Karena saat hubungan kami putus di tengah jalan, tidak menutup kemungkinan hal ini aku mengganggu profesionalisme kami dalam bekerja.
"Tidak perlu suster, biar nanti saya turun ke cafetaria saja,"
"Ah, begitu? Baiklah, saya permisi dokter," aku tersenyum dalam hati melihat Suster Syifa yang dengan enggan keluar dari ruanganku.
"Tunggu suster!" kataku sebelum Suster Syifa berhasil menatik knop pintu.
"Ya dokter?"
"Anda terlihat cantik hari ini," dan kata-kata yang ku ucapkan itu suskes membuat wajah Suster Syifa merah sepenuhnya.
"Ah itu—itu,"
"Maaf jika suster merasa tidak nyaman, saya hanya mengutarakan apa yang terlintas dalam pikiran saya,"
"Tidak—tidak, maksud saya, saya merasa tersanjung dengan pujian dokter, kalau begitu saya permisi," belum sempat Suster Syifa berbalik untuk membuka pintu, tiba-tiba saja pintu sudah dibuka seseorang dari luar.
Hampir saja bola mataku keluar melihat siapa yang baru saja masuk ke dalam ruang kerjaku. Wanita itu mengangkat sedikit alisnya melihat aku yang tak sendrian di ruangan ini.
"Ah maaf, ku kira kau sendirian disini, jadi aku tidak mengetuk pintu," orang buta pun tahu tak ada ketulusan dalam permintaan maaf wanita itu.
"Tidak apa-apa, lagi pula Suster Syifa juga sudah mau pergi," ucapku ketika pulih dari keterkejutan. Sebenarnya apa yang sednag wanita ini lakukan di ruanganku? Dan bagaimana dia bisa tahu aku kerja di sini?
"Ya saya sudah mau pergi, kalau begitu permisi dokter," aku hanya mengangguk kecil menaggapi kata-kata Suster Syifa. Fokusku hanya tertuju pada wanita yang baru saja menggeser sedikit tubuhnya agar Suster Syifa bisa melewati pintu dibelakangnya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku pada si ratu es.
Dengan wajah datarnya Keysa mengankat sebuah kantung kertas yang sedari tadi di jinjingnya di tangan kanan. Bukankah lebih mudah menjawab pertanyaanku dari pada sekedar mengangkat kantung kertas itu, gerutuku dalam hati.
"Mengembalikan jaketmu," kata Keysa yang sepertinya menyadari kebingunganku. "Sebenarnya aku berniat menitipkannya pada Gery, hanya saja setelah ku pikir-pikir akan lebih sopan jika aku mengembalikannya sendiri. Jadi tadi pagi aku meminta alamat tempatmu kerja pada Gery," kata Keysa yang sekarang sudah duduk di hadapanku.
"Tidak perlu repot-repot. Kau bisa mengembalikannya jika kita bertemu lagi nanti," aku mencoba memeberikan senyum teramah yang ku miliki.
"Aku sama sekali tidak merasa di repotkan," sama sekali tidak ada senyum saat kata-kata itu keluar dari bibir mungil Keysa.
"Apa kau sudah makan?" tanyaku tiba-tiba.
"Belum,"
"Kebetulan aku juga belum makan. Bagaimana jika kita makan siang bersama? Anggap saja sebagai ucapan terimakasih, karena kau mau repot-repot datang ke sini untuk mengembalikan jaketku," Keysa terdiam sebentar. Sepertinya sedang menimbang-nimbang permintaanku.
"Baiklah," aku tersenyum penuh arti mendengar jawaban Keysa
***
Alexander playboy yang maniskan?
WARNING
150 vote dan 25 comment, baru cerita ini di lanjut, okeee?
KAMU SEDANG MEMBACA
A Little Lie
RomanceKata orang bahagia itu ketika kita mencintai orang yang juga mencintai kita. Tapi haruskah aku bahagia, ketika mencintai orang yang hanya berpura-pura mencintaiku. -Keysa