pengantin prianya adalah adik kuu

628 11 0
                                    


(Rania, Ibu mau mengabari. Lusa adikmu mau nikah. Tak usah memaksakan diri untuk pulang. Yang penting, kamu tahu saja.)

Aku mengerutkan kening membaca pesan WA yang baru saja masuk. Erina mau nikah? Kenapa mendadak sekali?

(Kok mendadak sekali, Bu?)

(Sudahlah jangan banyak tanya. Kamu harus mau dilangkahi karena pernikahan adikmu tak bisa ditunda lagi.)

Hatiku mencelos. Menerima suara ketus dan kata-kata Ibu yang menyakitkan bukan hal baru bagiku. Tapi, rasanya memang masih sesakit itu.

(Kalau gitu, Nia izin pulang saja, Bu.)

(Tak usah. Kamu capek nanti. Do'akan saja adikmu.)

Balasan Ibu masuk secepat kilat. Perlahan, sebuah perasaan aneh menelusup masuk di hati. Kenapa Ibu seperti tak mengharapkan aku pulang? Ini pernikahan Erina, adikku satu-satunya. Bukankah rasanya aneh jika aku tak hadir? Meskipun, pernikahan yang sangat mendadak ini juga sudah terasa aneh.

(InsyaAllah, Bu. Nia selalu berdoa untuk kebaikan Erina.)

Tak ada lagi balasan dari Ibu. Aku tercenung, menatap layar ponsel yang perlahan menggelap. Pernikahan yang mendadak, dan aku yang tak diharapkan kehadirannya. Ini benar-benar aneh sekali.

Kuraih lagi ponsel yang tadi kuletakkan di atas bantal, beralih mencari foto profil Mas Indra, lelaki yang telah dua tahun menjadi kekasihku. Ku urungkan niat meneleponnya. Sudah jam sepuluh malam, rasanya sudah sangat larut untuk menelepon. Tapi, aku tak bisa menahan diri untuk tidak menanyakan perihal pernikahan Erina pada Mas Indra. Kebetulan sekali, rumahku di kampung dan rumah Mas Indra hanya beda lima rumah saja.

(Mas, Nia mau tanya. Apa benar di rumahku sudah ada persiapan nikah? Ibu baru saja WA  katanya dua hari lagi Erina menikah.)

Ceklis satu bermenit-menit kemudian. Ah, mungkin Mas Indra ketiduran dan lupa mengecas batere ponselnya seperti kebiasaannya selama ini. Aku harus bersabar meski rasa penasaran kian meraja. Untuk bertanya langsung pada Erina juga tak mungkin. Kami memang tak sedekat itu.

Aneh bukan? Kakak beradik yang pernah berada dalam satu rahim yang sama, tapi memiliki hubungan layaknya langit dan bumi. Bukan hanya Erina, Bapak dan Ibupun begitu. Bagi mereka, sepertinya kelahiranku ke muka bumi adalah hal yang patut disesali, entah karena apa. Seingatku, sejak kelahiran Erina yang berjarak lima tahun denganku, aku tak lagi dianggap bagian dari keluarga itu.

Dan itulah yang menjadi salah satu alasanku untuk pergi.

***

“Izin untuk apa, Rania? Bukan mau lamaran kan?”

Suara Pak Aksan terdengar menggoda. Kepala divisi tempatku bekerja itu mendongak sebentar, menatapku sebelum kembali memeriksa layar komputernya.

“Bukan, Pak. Adik saya yang menikah.”

Kali ini, dia kembali menoleh dan menatapku lebih lama dari sebelumnya.

“Adikmu? Jadi kamu dilangkahi ya? Wah, mau minta pelangkah apa nih?”

Aku hanya tertawa kecil.

“Setelah saya periksa, ternyata selama ini kamu nggak pernah izin atau ambil cuti selain hati raya. Jadi, sisa cutimu masih banyak sekali. Kamu mau ambil berapa hari?”

Tentu saja. Jika karyawan lain akan mengambil kesempatan izin dan cuti untuk pulang kampung dengan senang hati, aku tidak. Aku lebih suka tinggal di kost-an. Cuti hari raya pun, aku hanya pulang kampung dua hari saja. Itupun, Ibu seperti sudah jengah dan tak sabar menungguku kembali ke kota.

“Sehari saja, Pak. Yang penting, saya bisa lihat akad nikah adik saya.”

“Yakin cuma sehari?”

“Yakin, Pak.”

“Hemm, baiklah. Karena adikmu yang nikah, saya kasih izin. Kalau kamu yang nikah, nggak saya kasih izin…”

Eh, aku terkejut.

“Kecuali kamu nikahnya sama saya… “

Pak Aksan tertawa. Wajahku sendiri terasa panas mendengar kalimatnya yang menggoda. Seluruh karyawan tahu bagaimana low profilenya kepala divisi kami itu. Sama halnya seperti, semua orang tahu kalau di kampung, aku sudah punya kekasih. Aku bahkan tak pernah menanggapi lelaki manapun yang mencoba mendekat. Bagiku, cukup satu lelaki sampai nanti Allah takdirkan kami bersatu.

“Oke, silakan Rania. Jangan lupa minta pelangkah yang banyak ya.”

Aku hanya tersenyum.

Dan kini, aku dalam perjalanan ke kampung dengan dada berdebar. Ku kemudikan motor perlahan. Entah kenapa, semakin dekat ke rumah Ibu, rasa hatiku seperti enggan untuk sampai di sana. Apalagi pesan WA untuk Mas Indra tetap ceklis 1 sampai sekarang, dua hari setelah kukirimkan.

Apa yang membuatmu cemas, Rania? Pesan Indra yang tak kunjung dibalas? Atau pernikahan Erina yang mungkin akan membuatmu jadi bahan gunjingan karena dilangkahi? Atau justru, sesederhana bertemu Ibu dan Bapak yang membuatmu cemas?

Aku berhenti di pinggir jalan, membuka kaca helm dan mengeluarkan botol air mineral dari dalam ransel. Perlahan, ku coba untuk menetralisir perasaan yang gundah. Tenanglah, Rania. Bukankah kamu selalu percaya bahwa apapun yang terjadi di dunia ini adalah karena campur tangan Tuhan? Jodoh Erina sudah lebih dulu datang. Tak perlu berkecil hati.

Aku menghela napas. Ya, tak perlu berkecil hati. Aku akan bertemu Mas Indra. Dan mungkin, kami akan membicarakan rencana pernikahan kami tahun depan.

Dari jauh, sudah terlihat tenda berwarna ungu, warna kesukaan Erina. Aku tersenyum, membayangkan adikku yang pasti akan semakin cantik dalam riasan pengantin. Kuparkir motor agak jauh karena jalanan dipakai untuk pesta pernikahan. Kubuka jaket dan memasukkannya ke dalam jok motor, lalu membuka helm. Beberapa orang Bapak-bapak yang menjaga parkiran tersenyum melihatku. Aku menganggukkan kepala, lalu melangkah masuk. Beberapa orang menatapku dengan ekspresi aneh.

“Indra Wijaya, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri kandung saya, Erina Paramita binti Hadi Kusuma dengan mas kawin emas lima belas gram, dibayar tunai.”

“Saya Terima nikah dan kawinnya Erina Paramita Binti Hadi Kusuma dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai.”

“Saahh!”

Aku tertegun. Langkahku limbung. Sementara para tamu yang duduk di kursi-kursi berlapis kain satin dan sedang menyaksikan berlangsungnya akad nikah, semua menoleh padaku. Mereka semua adalah para tetangga  juga keluargaku dan keluarga Mas Indra, kekasihku, lelaki yang baru saja mengucapkan ijab kabul dan sah menjadi suami adikku sendiri.

“Rania!”

Seseorang berdiri, merangkul bahuku dan menahan langkahku agar tak terus maju. Tapi aiu bergeming. Kakiku seperti dipaksa untuk terus melangkah menuju meja akad nikah. Ketika aku tiba di sana, barulah tampak jelas wajah kedua pengantin yang berbahagia itu. Erina, seperti dugaanku tampak cantik sekali. Sementara wajah sang lelaki memucat saat mata kami beradu pandang.

“Rania, maaf. Aku akan jelaskan padamu nanti.”

Aku menggelengkan kepala. Apa lagi yang perlu dijelaskan? Lagipula, bukankah semuanta percuma? Aku menatapnya lekat, membiarkan setetes air bening meluncur dari mataku.

“Selamat atas pernikahanmu, Mas. Semoga kalian bahagia.”

Luka RaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang