LUKA RANIA

405 10 0
                                    

PANTAS SAJA IBU MELARANGKU PULANG KETIKA ADIKKU MENIKAH. TERNYATA PENGANTIN PRIANYA ADALAH ....

Part 5

Demi apa? Tuhan mempertemukan aku dengan lelaki itu? Lelaki yang menabrakku kemarin dan mentransfer uang tiga puluh juta sebagai pengganti motorku yang hancur. Benar kata Riri, setelah kuperhatikan baik-baik, dia memang mirip Ben Affleck. Kemarin aku tak menyadari karena dia sibuk memegangi dahinya.

“Masuk! Karena kalian terlambat, tanyakan apa-apa yang terlewat pada kepala divisi.”

Aku menurut, masuk dan duduk di kursi yang masih kosong.

“Jadi, kita akan meluncurkan iklan baru untuk produk Lezcaffe. Saya harap, bagian marketing sesegera mungkin mulai menggodok konsep iklan dan menyerahkannya pada saya paling lambat dua minggu lagi.”

Dua minggu lagi! Gileeee…

Kurasakan Riri mencubiti pinggangku. Aku menggelinjang karena geli dan gerakanku justru menarik perhatian sang Big Boss, yang sejak aku masuk tadi tak sekalipun tersenyum. Dia menatapku tajam sehingga mau tak mau aku terpaksa diam. Ah, sialan Riri.

Sepuluh menit kemudian, briefing selesai. Aku yang kehilangan konsentrasi, hanya bisa pasrah karena tak banyak yang kutangkap. Satu persatu para karyawan meninggalkan ruangan. Aku menarik tangan Riri tak sabar, ingin segera keluar dari ruangan super dingin yang justru terasa panas gara-gara tatapan Sang Big Boss yang sampai sekarang belum kutahu namanya.

“Kamu!”

“Saya, Pak?”

Riri yang menyahut, menunjuk dirinya. Wajahnya sumringah dan matanya berbinar-binar.

“Bukan. Teman kamu yang satunya. Tinggalkan dia di sini sendiri. Saya perlu bicara.”

Aku? Riri mengerling, melotot, mengedipkan sebelah mata dengan ekspresi takjub, tapi juga bingung dan terpesona. Aku memang belum sempat memberitahunya bahwa lelaki ini adalah orang yang menabrakku kemarin.

“Emm, saya temani ya, Pak. Dia ini agak penakut anaknya,” ujar Riri nekad, tak mau melewatkan kesempatan menatap duplikat Ben Affleck di depan kami.

“Tak usah. Kamu keluar.”

“Hemm … Iya deh, Pak.”

Mau tak mau, Riri pergi, memandangku sejenak dengan tatapan tak rela. Aku sendiri, diam sambil menyiapkan jantungku yang terus berdetak kencang.

“Duduk, Rania.”

Aku menurut, duduk kembali di kursiku, terpisah meja selebar satu meter.

“Bapak tahu nama saya?”

“Nomor rekening yang kamu kasih kemarin ada namanya.”

“Oh iya.”

Aku jadi seperti orang bodoh. Apalagi lelaki di depanku ini diam saja, memandangku tajam tapi tak berkata apa-apa. Oh, apa jangan-jangan dia mau nagih sisa uang motor kemarin ya? Ah kebetulan kalau gitu.

“Kemarin, saya sampai naik ojek untuk ngejar Bapak.”

“Mau apa ngejar saya? Kurang duitnya?’

“Bukan. Malah kebanyakan.”

Dia mengibaskan tangan tak peduli.

“Pak Aksan bilang, kamu jago bikin desain iklan untuk videotron. Jadi saya putuskan, itu akan jadi tugas khusus kamu.”

“Saya?”

Dia melotot, “Ya. Dua minggu, Rania. Jangan terlambat. Buktikan saja kamu punya kemampuan lain selain melamun di pinggir jalan dan datang terlambat ke kantor.”

Usai berkata seperti itu, dia meninggalkanku sendirian. Ah, benar-benar si … memangnya dia pikir bikin desain seperti itu mudah? Dua minggu? Di tengah perasaan dan hati yang patah dan hancur remuk seperti ini?

Aku kembali ke mejaku dengan lesu. Otakku langsung berputar mencari-cari bahan iklan apa yang menarik dan sedang digandrungi kawula muda. Produk kopi instan perusahaanku adalah yang terbaik sejauh ini. Jangan sampai kesalahan dalam pemasaran membuat citranya buruk.

“Diapain?”

Aku menoleh pada Riri tanpa semangat

“Kita terlambat berdua. Tapi yang dihukum aku doang.”

“Emangnya disuruh apa?”

“Bikin desain videotron buat Lezcafee. Dua minggu! Bayangin!”

Tanpa sadar aku berseru, membuat beberapa pasang mata menatapku. Riri melongo, menggaruk kepalanya, lalu menggeleng-gelengkan kepala. Entah apa maksudnya. Aku menunduk, meletakkan kening di atas meja. Belum apa-apa rasanya sudah pusing sekali.

“Kenapa, Nia? Dapat tugas khusus ya?”

Pak Aksan tiba-tiba sudah ada di samping mejaku. Aku mendongak dan duduk tegak. Dengan cemas, kuceritakan tugas khusus yang harus ku selesaikan dalam waktu dua minggu.

“Yahh, mau gimana lagi? Kerjakan saja. Siapa tahu setelah ini kamu dapat promosi.”

“Ah, Bapak. Bukannya bantu saya.”

“Untuk hal lain, akan saya bantu dengan senang hati. Tapi untuk yang ini, kamu kerjakan sendiri ya. Saya bantu doa saja.”

Aku meringis. Pak Aksan berbalik, hendak kembali ke ruangannya ketika tiba-tiba aku ingat sesuatu.

“Pak, Ngomong-ngomong, Big boss kita itu adalah orang yang menabrak saya kemarin. Katanya Bapak butuh lawan sparing?”

“Hah? Apa?”

***

Pukul delapan malam, akhirnya aku bisa keluar dari kantor juga. Biasanya aku pulang jam lima sore. Tapi, gara-gara tugas khusus dari Pak Boss yang… astaga, namanya siapa coba? Bodoh banget aku. Bisa-bisanya nama bos sendiri aja nggak tau.

Setelah memasukkan motor ke dalam garasi kost-an, aku masuk dan mengunci pintu. Lelah dan penat. Otakku rasanya penuh hari ini. Gilanya, aku juga melupakan ponsel yang sejak siang tadi ada di dalam tas. Saat aku membukanya, berderet-deret pesan dari Indra masuk.

(Aku minta maaf, Nia. Tapi, ini bukan sepenuhnya salahku. Erina yang menggodaku.)

Aku tertawa getir. Kalian berdua sama saja. Sampah.

(Izinkan aku menemuimu. Aku akan jelaskan.)

(Rania, buka pesanku. Aku kangen kamu, kangen suaramu. Tapi nggak mungkin nelpon kamu di rumah. Tunggulah sampai aku masuk kerja lagi ya, Sayang.)

Huekk! Dia ini sudah gila atau gimana? Tiba-tiba saja aku merasa ilfeel padanya. Bagaimanapun, dia suami adikku saat ini.

(Satu tahun saja Rania. Setelah itu, aku akan menceraikan Erina. Kamu masih cinta sama aku kan? Kamu mau nunggu aku kan? Kita mulai lagi dari awal. Aku janji akan bikin kamu bahagia.)

Hah?

Geram, marah dan entah apa. Dengan emosi memuncak, aku mengetik balasan untuknya, tak tanggung-tanggung, dengan huruf besar semua.

(KAMU MEMANG GILA, INDRA. LELAKI BA JI NGAN! AKU BERSYUKUR GAGAL JADI ISTRIMU. MULAI SEKARANG ANGGAP SAJA KITA TIDAK PERNAH SALING KENAL!)

Seperti tengah menunggu balasanku, pesan WA-ku langsung biru seketika itu juga. Namun, balasan yang kudapat kemudian membuatku terkejut.

(Mbak jangan berani-berani menghina suamiku ya. Aku tahu mbak masih sedih dan sakit hati. Tapi, sadar diri dong, Mbak sama sekali nggak layak untuk Mas Indra. Jangan bicara seolah-olah aku terkena sial karena menikah dengannya. Mbak lah yang sial karena kulangkahi. Semoga aja Mbak nggak jadi perawan tua

Luka RaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang